Tetes hujan basahi kertas di tanganmu. Kau menatapku. Aku tertawa. menarik pelan tanganmu. Segera beranjak dari TB Sari Anggrek, seberangi jalan Permindo. Tergesa kau ikuti langkahku, menuju jalan Pattimura. Berpacu dengan hujan.
"Makan soto, yuk!"
Tak bersuara. Kuanggap kau sepakat. Kau dan aku, segera masuk ke kedai kaki lima yang khusus buka sejak sore. Dengan menu murah meriah. Tersedia berbagai mie, nasi goreng. soto serta minuman. Beberapa kali, kau pernah kuajak ke situ. Pemilik kedai, asli jawa tengah. Biasa kupanggil Bude.
"Apa kabar, Bude?"
"Hamdallah. Abang sama Mbak Nunik, udah lama gak ke sini, ya?"
"Sibuk ngurus anak, Bude!"
"Hah! Kapan nikah?"
"Belum!"
"Lah? Tadi Abang..."
"Ngurus anak calon mertua!"
"Haha..."
Perempuan usia limapuluhan. Selalu antusias, jika kau dan aku datang. Kalau sudah begitu, kendali kuserahkan padamu. Kau akan lakukan komunikasi, gunakan bahasa ibumu. Aku segera duduk. Hujan deras september, basahi Kota Padang.
Kunyalakan rokok. Mengusir udara dingin. Sudah mulai gelap. Dua perempuan beda usia, sibuk bercengkrama membelakangiku. Lakukan reuni budaya. Berbicara bahasa jawa. Sesekali kudengar tawa. Tetiba kau menghadapku. Matamu tertuju padaku.
"Mas Ngopi?"
"Iya! Kopasus!"
"Kopasus?"
"Iya."
"Oh..."
Aku tesenyum. Kau dan Bude bertukar pandang. Tertawa. Tak lama, kau bawa segelas kopi bercampur susu. Duduk di sebelahku. Kau aduk pelan.
"Ini kopasus, kan?"
"Iya! Nik gak minum?"
"Nik cicipi minuman Mas aja!"
"Lah?"
"Gak enak! Kalau minuman, Bude gak pernah mau dibayar, kan?"
Nyaris berbisik, kudengar ucapanmu. Kuusap kepalamu. Kau tersenyum. Tak lama, diantarkan dua mangkok soto. Disusul satu piring yang di tengahnya ada nasi. Dicetak setengah lingkaran.
Bude tersenyum. Kuanggukkan kepala. Pemilik kedai segera ambil posisi. Duduk di kursi dekat gerobak. Kumatikan rokokku.
"Nik gak pakai nasi?"
"Gak!"
"Nasinya, gratis lagi?"
"Nik makan soto aja!"
"Atau sotonya yang gratis?"
"Haha..."
"Awas! Kalau ambil jatah Mas!"
Kau tertawa. Aku tahu. Ancaman itu pasti gagal. Tanpa aba-aba. Dua kali, sendokmu pindahkan nasi ke mangkok soto di hadapmu.
Dua mangkok dan satu piring, sudah kosong sejak tadi. Gelas kopiku, masih bersisa setengah. Hujan belum reda. Kau menulis ulang di bukumu, teori skripsi hasil contekan kilat. Di TB Sari Anggrek tadi.
Aku berdiri. Meraih lipatan kertas di saku belakang celanaku. Hasil tulisan tanganku. Kuserahkan padamu.
"Ini! Disalin lagi, ya?"
"Mas, Ini tulisan atau..."
"Itu lukisan pemandangan!"
"Haha..."
"Kalau datang siang, ada teman Mas yang kerja di situ!"
"Jadi?"
"Iya! Mas bebas nulis. Paling diminta hati-hati, kalau bukunya disampul plastik!"
"Kasihan teman Mas!"
"Kenapa?"
"Mas paksa, kan?"
"Gak! Malah bantu carikan buku referensi!"
"Bisa gitu?"
"Salah sendiri. Temenan sama Mas!"
Aku tertawa. Kau gelengkan kepala. lanjutkan menulis. Kukira hujan takkan reda. Udara terasa semakin dingin.
"Nik! Pulang naik bis aja, yuk?"
"Tapi..."
"Hujannya bakal lama! Kalau naik bis, tinggal seberangi jalan aja!"
"Iya."
"Sekarang, mau? Biar Mas hentikan bis!"
"Terserah Mas!"
Kureguk habis kopasus, dan berdiri. Kau bersiap, membereskan bukumu. Kau terkejut. Mendengar teriakkanku.
"Budeee..."
"Hah!"
"Bisa sulap?"
"Haha..."
"Serius!"
"Bude bisanya jualan soto."
"Gak jadi aja kalau begitu!"
"Kenapa, Bang?"
"Tolong sulap. Biar hujan berhenti! Tuan putri mau..."
"Mamas..."
Plak! Plak!
Tanganmu singgah di bahuku. Suaramu hentikan kalimatku. Bude tertawa. Aku tertawa. Kau berusaha menahan tawamu. Tapi gagal.
#Nik
#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter #LoveJustaintEnough #BorntoFight #ThereisaWay #SpeakYourMind #UnforgettableMoment
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H