Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rohingya, Saya Datang

6 September 2017   07:24 Diperbarui: 6 September 2017   08:13 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KEPALAKU pusing tujuh keliling. Bagaimana tidak, pilihan antara berangkat ke Rohingya membuatku harus memutar otak. Apakah dengan sekejap langsung tiba disana dan nihil amal atau berangkat dengan perjuangan yang sangat melelahkan dan syarat makna. Kepalaku bilang mending sekejap tanpa perjuangan berat, tapi masalah kesuciaan diri belum tentu dapat terpenuhi. Hatiku bilang, mending berangkat secara rasional dan menjadikan hidup itu proses. Hati ini bilang bahwa fase ini, perjuangan berangkat ke Rohingya, adalah proses pendewasaan yang bisa jadi ini moment tepat untuk menguji kepada kesetiaan kepada Tuhan.

"Bagaimana Dang, sudah dipikirkan pilihanmu?" tanya Kakek setelah membiarkan aku berpikir sepuluh menit yang lalu.

"Belum Kek. Saya tidak tahu mana yang harus dipilih. Keduanya memiliki plus dan minus. Tapi sepertinya berangkat dengan dimensi spiritual adalah sangat sulit dan harus teruji kesucian hati ini. Agak berat Kek." Jawabku dengan beretorika.

"Hehehehe... benar Dang. Dimensi ini penuh dengan syarat yang harus ditempuh, dan tidak semua orang mampu. Hanya orang-orang pilihan untuk bisa mengikuti rumus Tuhan dalam melampaui ruang dan waktu. Hanya mereka yang terpilih untuk berangkat dalam jaringan super kilat bernama mesin waktu. Bukan kamu tidak bisa Dang, tapi perjuangannya akan lebih berat. Peercayalah." Jelas kakek tua itu beralibi.

"Baiklah kek, aku memilih yang kedua. Dimensi rasional sepertinya lebih bermanfaat." Ucapku memilih.

Tetiba, kepalaku pening dan brukkk badanku roboh serta tak sadarkan diri. Aku tak tahu apa yang dilakukan kakek tua itu. Aku tak tahu apakah aku harus istirahat di gubuk tua itu. Aku pun tak tahu apakah bisa pulang atu dimakan binatang buas penghuni hutan lebat itu. Aku pasrah. La haula wala quwwata illa billah.

*****

Terdengar suara adzan subuh memekikan telinga dari kejauhan. Aku buka mata ini, dan terkejut setengah mati. Aku lihat sekeliling mulut hutan yang penuh dengan pohon-pohon teduh. Di balik remang-remang gelapnya subuh, terdengar suara kodok bersahutan. Suara-suara binatang khas pagi pun terasa meyakinkanku bahwa saat ini, aku berada di pinggir hutan. Aku lihat tubuhku masih lengkap tanpa kurang apapun. Begitupun tasku masih nempel dipinggangku.

Di hamparan rumput yang kering aku terbaring dengan aman. Saat aku raba saku celanaku, ada secarik kertas yang menurutku bukan miliku. Dengan berhati-hati, aku baca tulisan itu. Namun tidak jelas terlihat. Tulisannya Arab tapi sepertinya bahasanya menggunakan bahasa Sunda. Tulisannya rapih dan membuat saya memutuskan untuk segera pergi dan menemukan sumber suara Adzan subuh tadi. Mudah-mudahan ada cahaya listrik yang membantu.

Di mushola kampung yang berukuran sekitar 4 X 5 Meter, aku rebahkan badan ini. Setelah sholat shubuh aku palingkan mataku untuk membaca tulisan yang belum aku baca tadi. Aku meyakini bahwa tulisan ini adalah tulisan kakek tua yang namanya pun belum sempat aku tanyakan. Ia begitu bijaksana dalam hidup. Ia begitu cerdas dalam wawasan hidup, namun ia tidak lagi ingin hidupnya dicemari oleh kehidupan dunia yang penuh dengan intrik.

Perlahan aku buka gulungan tulisan itu, dan ku coba memaknainya. "Nak, maafkan kakek hanya bisa mengantarmu di bibir hutan ini. Kakek tak kuat mengantarmu ke pesantren Kyai Faqihmu. Kaki ini terlalu rapuh untuk menggendongmu. Salam buat kyai hebat mu itu." Aku baca dalam hati dan benar saja terkaanku bahwa tulisan ini dari kakek tua itu. Sayang, aku tak bisa mengingat dimana gubuknya. Yang pasti, itu di dalam hutan yang lebat itu. Kemudian, aku putuskan untuk pulang ke pesantren.

*****

"Bagaimana, sudah kau tunaikan perintahku Dang?" pertanyaan permulaan yang meluncur dari bibir kyai karismatik itu.

"Sudah kyai. Saya baru tiba dan langsung menemui pa kyai. Takut saya lupa tidak laporan." Jawabku singkat. Seperti biasa, tatapanku ke lantai kuning serambi rumah Kyai Faqih. Aku tak berani menatapnya. Ini hal yang berbeda ketika aku mampu menatap kakek tua tadi malam.

"Ya wish.. sekarang kau sudah selesai dihukum. Ilmuku sudah kau serap, tinggal kau putuskan sendiri kelanjutannya." Lanjut Kyai Faqih yang membuatku bingung.

"Maksudnya kyai?" tanyaku terperangah.

Kyai Faqih berdiri dan menatap aku begitu tajam. Batinku merasakan itu. Ia pergi ke kamarnya dan hening sekali aku menunggu di rumahnya. Suara ribut dipondok perempuan lantai dua atas rumah kyai tak aku hiraukan. Aku menunggu penjelaasan kyai Faqih tentang nasibku selanjutnya. Aku merasa bahwa Kyai Faqih telah menyuruhku untuk pergi. Entahlah, apakah ini pengusiran jilid kedua atau aku dianggap provokator jenis baru. Entahlah, mungkin itu salah.

Beberapa lama, sekitar lima belas menit aku menunggu, Kyai Faqih baru keluar dari kamarnya. Ia menenteng sebuah kitab kecil agak sedikit tebal. Lalu dengan terbata, ia berkata:

"Dang, kau sudah lulus dari pesantren ini. Bukan Akang mengusirmu, pesantren ini rumah kedua mu. Tapi kau sudah lulus. Apa rencanamu setelah ini?"

"Maksud pa kyai? Apakah saya harus pulang secepat ini pa kyai?" tanya ku tambah penasaran.

"Iya, kau harus pergi sesuai dengan pengalaman dan janjimu kemarin dan tadi malam. Apa kau lupa dengan kata-katamu sendiri?" jawabnya. Kalimat itu memukul telak posisiku yang dalam dua hari ini selalu ingin berangkat ke Rohingya. Tapi, kata-katanya tidak jelas dan membuatku meraba-raba makananya.

Aku terdiam. Mulutku kelu untuk menjawab pertanyaan menusuk Kyai Faqih. Tidak pantas rasanya bila aku menjawab setiap pertanyaan. Biarlah aku diam dan menerima petunjuk kyai Faqih selanjutnya.

"Dang, aku bangga padamu. Pergilah ke Rohingya dimana kau merasa takdirmu mengantarkan ke sana. Bawalah kitab 'Dalail' ini sebagai bacaan harianmu. Jangan lupa minta izin Bapakmu. Sampaikan salam takdimku padanya. Bilang, bahwa anaknya hebat."

Aku sedikitpun tak paham makna kata yang terucap. Kepalaku ingin pecah. Satu sisi aku harus berangkat ke Rohingya, satu sisi aku harus meninggalkan pesaantren yang lima tahun ini tempatku berteduh. Sisi lain aku harus pulang meminta izin ayahku. Terkaanku ayah dan ibu tak mungkin mengizinkanku untuk pergi ke negeri yang jauh itu. Aku adalah anak pertama yang harus bertanggung jawab atas adik-adikku. Alasan apa yang harus aku buat untuk meyakinkan mereka.

Setelah pamit kepada Kyai Faqih dan keluarga, aku pun menemui Asep, sahabatku. Sesuai janji aku ceritakan semua perjalanan semalam dan dialog tadi pagi bersama Kyai Faqih. Asep terlihat menikamati ceritanya dan tak pernah instrupsi atau menyela ceritaku. Sambil aku masukan baju secukupnya pada tas ransel Eigerku, aku titipkan semua kitabku kepada Asep untuk menjaganya.

"Sep, saya tidak bawa barang-barang ini ke rumah. Sementara ini aku titipkan kepadamu agar terjaga. Suatu saat nanti aku akan kembali membawa kitab ini. Tolong rawat ya Sep!" pintaku ke Asep.

"Tenang aja Dang, percayakan padaku. Apa yang akan kau bawa ke Rohingya Dang?" Asep balik bertanya.

"Tidak banyak Sep, hanya baju secukupnya. Yang terpenting aku bawa hati dengan niat Lillahi ta'ala. Aung Sie bukan tujuanku Sep, walau dalam hati berharap bertemu dengannya." Terangku.

"Ya sudahlah Dang, jangan memikirkan Aung Siemu itu. Kalau saya boleh memilihkan, Astri lebih baik buat mu. Semua orang pun tahu itu. Tapi pilihanmu adalah yang terbaik bagimu, Dang."

Hatiku bergolak ketika Asep ucapkan kata "Astri". Kewalatlah aku sama pa Kyai bila aku memilihnya. Entahlah, ia begitu mulia di hadapanku. Ia tak pantas bagiku karena keilmuanku tidak sebanding dengan kecerdasannya. Ini berbeda dengan Aung Sie. Walau belum bertemu di dunia nyata, kata-katanya telah membuat hatiku pas. Retorikanya begitu menggoda untuk sebuah perjuangan Islam. Logikanya membuat aku terbuai untuk aktualisasi diri dalam menegakan Islam di tanah Myanmar.

"Sudahlah Dang. Jangan kau pikirkan. Kelulusan pesantren ini harus menjadi kabar baik bagi ayah ibumu. Mereka pasti senang kau bisa pulang. Mereka pasti bahagia, anak sulungnya bisa menyelesaikan pendidikan pesantrennya. Mereka pasti bangga padamu. Aku bangga menjadi temanmu. Selamat jalan Dang!" celoteh Asep dengan panjangnya. Ia seolah memintaku untuk cepat pulang ke rumah.

"Iya Sep Makasih. Aku akan pulang sekarang. Terimakasih untuk segalanya ya." Ucapku. Sambil melangkah, Asep mengikutiku di belakang untuk mengantar ke kantor santri di pojok selatan pondok. Kepada Kang Sandi, Kang Dendi, Kang Ujang, aku minta maaf dan minta izin untuk pulang. Air mata ini tak terasa bercucuran bertemu dengan mereka yang mengabdi dengan sepenuh hati untuk pesantren. Air mata ini juga air mata kerinduan atas mesjid yang menjulang, madrasah yang kokoh, dan asrama putra yang penuh dengan cerita. Mereka bagian kehidupanku yang tak pantas dilupakan.

Aku usap air mata ini dan aku simpan semua kenangan ini untuk diceritakan kelak pada anak-anakku. Mereka harus mengalaminya. Dunia pesantren yang Indah. Ia penuh dengan senyuman, perjuangan , tangisan dan kehangatan persaudaraan. Kemandirian dan keberaniaan adalah bonus yang bersanding dengan kedalaman ilmu Islam dalam kitab kuning yang begitu bersahaja. Ketakdiman dan ketawadhuan kyai adalah panutan yang harus mendasari kehidupanku selanjutnya.

*****

Ibuku meraung-raung atas keputusanku pergi ke Rohingya. Bapakku menatap tajam atas permintaanku untuk berangkat ke Rakhine State dimana etnis muslim Rohingya ditindas. Mereka terlihat terkejut dengan keputusan di luar nalarnya. Air mata ibu terus mengalir tanpa henti. Bola mata bapak tak henti-hentinya menatap ke langit-langit rumah.

"Nak, aku bangga padamu." Itulah kata-kata pembuka ayah yang tak disangka mengatakan  itu. Perkiraanku ayah akan marah dan tidak setuju.

"Jadi Pak, Bapak menyetujui Dadang berangkat ke Myanmar untuk membantu etnis Rohingya?" tanyaku penuh dengan selidik.

"Sebagai seorang lelaki, ayah menyetujui. Tapi sebagai seorang suami, ibumulah yang berhak untuk mengizinkanmu." Cetus ayah.

Aku tak berani mendekat ke Ibu. Raungan tangisnya membuat aku bersalah. Bukannya pulang ke rumah untuk membahagiakan, tapi malah membuat beliau menangis. Sejujurnya, aku sangat mencintai Ibuku melebihi segalanya. Ibulah yang telah menguatkan tekadku untuk berangkat ke Pesantren. Ia lah yang membesarkan hati untuk tetap setia di pesantren tanpa mengikuti tren anak muda sekarang yang kuliahan. Ibu pula yang memberikan pelukan hangat ketika pulang dan sangat menentramkan. Namun, hari ini sangat beda. Rohingya telah memisahkan kami berdua.

Tatapan matanya begitu menusuk mataku saat ia berhenti menangis. Aku tak kuasa menahan pandangannya. Aku tundukan kepala dan tak berani lagi membantah. Apapun yang Ibu katakan akan aku lakukan dan patuhi. Menyakitinya akan membuat bersalah seumur hidupku. Ia terlalu mulia untuk dibandingkan rasa cinta kepada wanita lainnya. Ia terlalu suci untuk dikotori dengan ketidak setiaan anak pada orang tuanya.

"Nak, aku bangga padamu." Itu saja yang meluncur di mulutnya. Lalu kemudian ia berangkat ke kamar dan menutup pintunya dengan pelan. Aku semakin tak paham maksudnya. Apakah ia mengizinkan atau marah atas permintaanku. Ingin rasanya aku menyusulnya ke kamar seperti usiaku yang baru sepuluh tahun. Aku merengek di kasurnya dan membuat Ibu tak kuasa menolaknya. Ciuman yang mendarat di pipiku biasanya adalah indikator persetujuannya. Tapi sekarang, itu tak mungkin aku lakukan.

"Pak, apa yang harus Dadang lakukan? Apa Ibu mengizinkan atau tidak?" tanyaku kepada Ayah yang sedang mematung melihat istrinya pergi ke kamar.

"Biarkan ibumu untuk menikmati kesedihannya. Bagi ayah, ibumu memiliki dua rasa yang tak bisa diwakili kecuali dengan menangis." Saran ayah kepadaku.

"Maksud Bapak?" selidiku lebih jauh.

"Rasa pertama karena ia rindu kepadamu dan saat ini kau pulang. Ia ingin mencurahkan rindunya padamu. Tapi kau bukan anak kecil lagi Dang. Tidak mungkin kau dicium lagi layaknya kau anak belasan tahun. Rasa kedua, ia bangga padamu nak akan keteguhan hatimu untuk agamamu. Kecerdasan akalmu untuk ilmu pesantrenmu. Ketulusanmu untuk membantu sesama muslim. Keberanianmu untuk pergi ke negeri yang jauh. Ia bangga atas keputusan hebat mu nak."

Aku tersadar. Ibu bukanlah ibu yang lemah. Ia sangat mencintai anaknya, tapi cinta atas kebaikan akan melebihi segalanya. Ia mencintai anak sulungnya, tapi mencintai Tuhan dan perintahnya adalah segalanya. Ia terlihat tak sekuat ayahku, tapi kekuatan ayahku adalah investasi ibu. Ia senantiasa menjadi bahan bakar ayah untuk mencapai segala kesuksesannya. {}

Menulis ini adalah senjata yang kuangkat untuk membela Muslim rohingya.

Bumisyafikri, 06/09/17

kunjungi: www.zakimu.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun