Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rohingya, Saya Datang

6 September 2017   07:24 Diperbarui: 6 September 2017   08:13 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dang, aku bangga padamu. Pergilah ke Rohingya dimana kau merasa takdirmu mengantarkan ke sana. Bawalah kitab 'Dalail' ini sebagai bacaan harianmu. Jangan lupa minta izin Bapakmu. Sampaikan salam takdimku padanya. Bilang, bahwa anaknya hebat."

Aku sedikitpun tak paham makna kata yang terucap. Kepalaku ingin pecah. Satu sisi aku harus berangkat ke Rohingya, satu sisi aku harus meninggalkan pesaantren yang lima tahun ini tempatku berteduh. Sisi lain aku harus pulang meminta izin ayahku. Terkaanku ayah dan ibu tak mungkin mengizinkanku untuk pergi ke negeri yang jauh itu. Aku adalah anak pertama yang harus bertanggung jawab atas adik-adikku. Alasan apa yang harus aku buat untuk meyakinkan mereka.

Setelah pamit kepada Kyai Faqih dan keluarga, aku pun menemui Asep, sahabatku. Sesuai janji aku ceritakan semua perjalanan semalam dan dialog tadi pagi bersama Kyai Faqih. Asep terlihat menikamati ceritanya dan tak pernah instrupsi atau menyela ceritaku. Sambil aku masukan baju secukupnya pada tas ransel Eigerku, aku titipkan semua kitabku kepada Asep untuk menjaganya.

"Sep, saya tidak bawa barang-barang ini ke rumah. Sementara ini aku titipkan kepadamu agar terjaga. Suatu saat nanti aku akan kembali membawa kitab ini. Tolong rawat ya Sep!" pintaku ke Asep.

"Tenang aja Dang, percayakan padaku. Apa yang akan kau bawa ke Rohingya Dang?" Asep balik bertanya.

"Tidak banyak Sep, hanya baju secukupnya. Yang terpenting aku bawa hati dengan niat Lillahi ta'ala. Aung Sie bukan tujuanku Sep, walau dalam hati berharap bertemu dengannya." Terangku.

"Ya sudahlah Dang, jangan memikirkan Aung Siemu itu. Kalau saya boleh memilihkan, Astri lebih baik buat mu. Semua orang pun tahu itu. Tapi pilihanmu adalah yang terbaik bagimu, Dang."

Hatiku bergolak ketika Asep ucapkan kata "Astri". Kewalatlah aku sama pa Kyai bila aku memilihnya. Entahlah, ia begitu mulia di hadapanku. Ia tak pantas bagiku karena keilmuanku tidak sebanding dengan kecerdasannya. Ini berbeda dengan Aung Sie. Walau belum bertemu di dunia nyata, kata-katanya telah membuat hatiku pas. Retorikanya begitu menggoda untuk sebuah perjuangan Islam. Logikanya membuat aku terbuai untuk aktualisasi diri dalam menegakan Islam di tanah Myanmar.

"Sudahlah Dang. Jangan kau pikirkan. Kelulusan pesantren ini harus menjadi kabar baik bagi ayah ibumu. Mereka pasti senang kau bisa pulang. Mereka pasti bahagia, anak sulungnya bisa menyelesaikan pendidikan pesantrennya. Mereka pasti bangga padamu. Aku bangga menjadi temanmu. Selamat jalan Dang!" celoteh Asep dengan panjangnya. Ia seolah memintaku untuk cepat pulang ke rumah.

"Iya Sep Makasih. Aku akan pulang sekarang. Terimakasih untuk segalanya ya." Ucapku. Sambil melangkah, Asep mengikutiku di belakang untuk mengantar ke kantor santri di pojok selatan pondok. Kepada Kang Sandi, Kang Dendi, Kang Ujang, aku minta maaf dan minta izin untuk pulang. Air mata ini tak terasa bercucuran bertemu dengan mereka yang mengabdi dengan sepenuh hati untuk pesantren. Air mata ini juga air mata kerinduan atas mesjid yang menjulang, madrasah yang kokoh, dan asrama putra yang penuh dengan cerita. Mereka bagian kehidupanku yang tak pantas dilupakan.

Aku usap air mata ini dan aku simpan semua kenangan ini untuk diceritakan kelak pada anak-anakku. Mereka harus mengalaminya. Dunia pesantren yang Indah. Ia penuh dengan senyuman, perjuangan , tangisan dan kehangatan persaudaraan. Kemandirian dan keberaniaan adalah bonus yang bersanding dengan kedalaman ilmu Islam dalam kitab kuning yang begitu bersahaja. Ketakdiman dan ketawadhuan kyai adalah panutan yang harus mendasari kehidupanku selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun