Mohon tunggu...
Zairiyah kaoy
Zairiyah kaoy Mohon Tunggu... Penulis - Hipnoterapis, penulis buku seberapa kenal kamu dengan dirimu, bahagia dengan pemetaan pikiran.

Manusia sulit berpikir positif mengenai orang lain ketika ia berada pada muatan emosi negatif yang sangat kuat.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Apa Dampak Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada Generasi Berikutnya?

14 September 2023   13:05 Diperbarui: 15 September 2023   11:00 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber. Ptsd in human brain, hundreds of crucial terms/shutterstock.

Trauma sering dijadikan tameng bagi para manipulator untuk melancarkan niat busuknya kepada calon korban, dengan mengatasnamakan kepedihan hati membuat orang lain menjadi tunduk dan memakluminya hingga akhir hayat.

Kendati demikian ada pula seseorang yang baik hati mengalami trauma dan ia tidak membalaskan sakit hatinya kepada orang tersebut atau kepada orang lain. ia hanya mencoba berdamai dengan dirinya sendiri dan berusaha tidak mengingatnya lagi.

Hanya saja, trauma tidak bisa hanya sekedar memaafkan tanpa melepas emosinya terlebih dahulu, semua menjadi sia-sia dan trauma itu akan datang kapan saja sesuai dengan bahan yang bisa mentrigernya.

Kita semua mempunyai trauma ketika kecil atau setelah dewasa, dari orang terdekat ataupun orang sekitar. Namun tidak semua trauma membuat orang menjadi lemah dan tidak berdaya atau berakibat merusak kehidupan orang lain karena rasa kecewa kita telah diperlakukan tidak baik oleh orang sekitar atau orang terdekat.

Rasa sakit akibat trauma dan menimbulkan dendam juga justru bisa membangkitkan semangat seseorang menjadi lebih baik di kehidupannya kelak, asalkan ia mampu merubah kebenciannya menjadi "dendam yang positif" atau membuktikan bahwa ia bisa menjadi lebih baik dari yang dikatakan oleh orang lain padanya.

Trauma memang membuat manusia enggan untuk mengulangi peristiwa yang sama atau mirip dengan yang pernah dialaminya.

Pertanyaannya, apakah trauma selalu menimbulkan hal negatif bagi dirinya dan orang lain? Siapa saja yang sangat berperan membuat luka hati tersebut? Seberapa dasyat dampak yang ditimbulkan ketika trauma ditularkan secara langsung ataupun secara genetik?

Berikut penjelasannya.

Efek Trauma dan Hal Negatif yang diciptakan

Trauma adalah keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal disebabkan oleh luka pada fisik atau psikis seseorang.

Trauma berasal dari suatu peristiwa yang sangat melekat dan melukai jiwanya hingga sulit melupakannya dan selalu muncul dengan durasi yang intens ketika "tertrigger" dengan hal serupa. Trauma selalu menciptakan emosi, bisa dengan kemarahan, kesedihan dan ketakutan penderitanya.

Ketika emosi yang dihasilkan berupa kemarahan, maka bisa menularkan kepada keturunan dan orang sekitarnya yang berujung kepada temperamental, merasa hebat dan jago hingga merendahkan orang lain atau merasa superior.

Emosi kesedihan menyebabkan seseorang mudah terserang penyakit dan menurunnya daya tahan tubuh dengan cepat. Sementara emosi ketakutan menularkan ketakutannya kepada keturunan dan orang sekitarnya dengan rasa khawatir yang sangat berlebihan dan membuat orang lain menjadi penakut juga bermental lemah.

Trauma menyebabkan seseorang menempati level energi yang rendah dan berada pada lingkaran yang terus menerus merusak pikiran, perasaan dan energinya. Seseorang yang selalu merasa sedih tentunya menjalani hidup disertai rasa putus asa dan tidak memiliki semangat dan cenderung ceroboh terhadap dirinya maupun orang lain. Selalu menyalahi dirinya sendiri hingga rasanya ia tidak ingin lagi hidup di dunia ini karena ia merasa, untuk apa ia hidup bila selalu mendapat hal yang menyakitkannya.

Sedangkan seseorang yang mengalami trauma yang mengganggu egonya sebagai makhluk hidup, hingga rasanya ia ingin menghabisi orang tersebut tetapi tidak berdaya dan emosi tersebut tersimpan di dalam sel otak dan jantungnya, pada akhirnya menyakiti tubuhnya sendiri dan juga menyakiti orang lain dengan kata-kata yang tidak semestinya. Melampiaskan kemarahannya kepada orang yang tidak bersalah dan tidak mengerti apa-apa.

Seseorang yang memiliki trauma dengan kekhawatiran atau ketakutan yang berlebih berdampak pada kegelisahan yang hampir setiap saat. Sungguh tidak nyaman rasanya dan sangat memprihatinkan.

Ketakutan ini berasal dari seseorang yang sering menakut-nakuti, dari perkataan dan perbuatannya yang mungkin semula hanya untuk bermain-main saja, tapi ternyata masuk ke dalam bawah sadarnya hingga menjadi ketakutan sungguhan. Membaca kalimat-kalimat atau menonton sesuatu yang menakutkannya, sehingga yang terbentuk adalah seseorang yang bermental lemah dan penakut.

Ketika temperamental, mental penakut dan mental mudah putus asa seolah menjadi bagian dari sifat dan kebiasaannya maka akan menjadi gen pembawa sifat kepada keturunannya di kemudian hari (epigenetic). Maka lahirlah anak-anak yang memiliki tiga sifat yang disebutkan di atas menjalani kehidupannya didominasi dengan salah satu atau justru memiliki ketiga sifat yang diturunkan oleh orang tuannya tersebut.

Pernakah kita melihat ada suatu ketakutan, temperamen atau kesedihan yang bukan milik kita tapi ada di diri anak-anak kita? Malah terkadang kita bingung sendiri kenapa anak memiliki sifat yang melebihi sifat asli kita sendiri.

Ini akibat dari post traumatic stress disorder (PTSD) yang tidak diselesaikan dengan baik dari dalam diri kita sendiri hingga nol. Kita cenderung mengabaikan hal tersebut seolah-olah itu merupakan hal biasa dan tidak berefek apapun kepada orang lain dan hanya kita yang merasakannya.

Kita mungkin sering berkata "cukuplah saya yang merasakan, semoga anak cucu saya tidak merasakan hal yang sama dengan yang saya alami" tapi tanpa sadar kita telah menurunkannya secara genetik walaupun mungkin sekuat tenaga untuk tidak menularkan secara verbal ataupun perilaku kepada mereka yang kita sayangi.

Siapa yang Sangat Berperan Menyebarkan Trauma?

Peran terbesar penyebaran trauma atau pencipta trauma adalah figur otoritas, bisa disebut juga orang tua, guru, atasan dan sebagainya.

Seseorang yang memiliki masalah dengan masa lalunya dan memilih menyimpan masalah tersebut selamanya tanpa berniat menyembuhkannya hingga tuntas tentu saja sedikit banyaknya akan melepaskan traumanya kepada orang sekitarnya, persis dengan apa yang tersimpan di bawah sadarnya.

Lalu orang yang tersakiti tersebut menyimpan dendam, kebencian dan kesedihan atas apa yang tidak ia lakukan atau kesalahan kecil yang seolah tidak terampuni yang dilakukan orang lain padanya menjadi bencana besar baginya.

Namun apakah trauma yang dialami dan menyebabkan orang lain juga menjadi luka hati atau mengalami hal menyakitkan sama seperti kita, bisa dimaklumi dan dianggap biasa?

Tidak demikian. Menyiksa secara verbal dan non verbal sama saja dengan menularkan penyakit, semena-mena kepada siapa saja.

Tentunya tidak ada yang mau ditularkan penyakit fisik maupun psikis apalagi sampai terbawa secara genetik. Kita tidak akan menyadarinya bila kita tidak mau untuk sadar dan mengenali diri dan permasalahan kita sendiri.

Dampak Seperti Apa yang Akan Terlihat Ketika Trauma Ditularkan Secara Genetik

Sebelum seseorang menikah perlu saling mengetahui latar belakang kesehatan fisik maupun psikis calon pasangan kita agar tidak menjadi penyesalan di kemudian hari.

Namun hal ini memang tidak mudah karena bisa menyinggung perasaan calon pasangan atau mungkin ada rasa khawatir bila melakukan hal ini justru akan ditinggalkan dan tidak jadi menikah lalu mengulang mengenal orang baru lagi.

Pada akhirnya pasrah dengan keadaan yang ada dan melanjutkan rencana menikah tanpa berpikir lagi.

Jarang ada yang jujur kepada pasangan atas apa yang pernah ia alami di kehidupan sebelumnya dan akhirnya menjadi gelap dan menghilangkan sejarah dengan dalih "tidak ingin mengingat atau mengenang hal yang menyakitkan tersebut". Padahal tidak dikenang juga mau tidak mau memang hal itu sudah menempel di memori bawah sadar.

Apa yang pernah dialami tentu saja meninggalkan kenangan di memori otak manusia. Pada akhirnya menjadi bagian dari karakter yang akan diturunkan kepada generasi berikutnya dan begitu seterusnya.

Kita tentu pernah melihat seseorang yang melakukan KDRT seorang suami kepada istrinya atau sebaliknya. Apa yang pernah terjadi di kehidupan sebelumnya hingga bisa terjadi hal yang tidak perlu terjadi?

Seseorang anak yang membawa gen orangtua pemarah atau temperamental menikah dengan orang yang membawa gen sering mendapatkan penganiayaan. Akhirnya kekerasan seolah-olah tidak pernah berhenti, terjadi perceraian dan menikah lagi selalu mendapatkan hal yang sama secara berulang dari pasangan barunya.

Ketika kedua orang tua yang membawa gen kekerasan dan kesedihan akibat trauma orang tua sebelumnya. Lalu melakukan kekerasan di depan anak-anaknya dan menimbulkan trauma baru lagi yang bertimpa-timpa dari kedua orang tua yang tidak menyadari bahwa gen yang terbawa sudah dari beberapa generasi sebelumnya. Dan kemudian menularkan lagi kepada anak-anaknya begitu seterusnya hingga anak-anaknya menjadi seorang psikopat.

Lelah hati sudah pasti dirasakan ketika seseorang membawa gen trauma dari kedua orang tuanya dan terkadang membuat ia menjadi putus asa dan sulit menembus semua keinginannya di dunia ini karena 90 persen bawah sadarnya dikendalikan oleh trauma dari kedua orang tuanya dan seolah-olah harus dilanjutkan oleh anak-anaknya di kemudian hari.

Sangat memprihatinkan bila kita melihat mereka yang cenderung mendapatkan penganiayaan tanpa sebab yang jelas dan prinsip. Mereka juga bingung mengapa hal itu bisa terjadi di dalam kehidupannya dan ingin keluar dari lingkaran tersebut tetapi tidak mengerti harus memulainya dari mana.

Temuilah orang yang bisa dipercaya atau profesional dalam menangani hal ini, tuntaskan hingga tidak bersisa, bersama pasangan, juga anak-anak supaya tuntas dan tidak lagi menularkan pada generasi berikutnya.

Kenali, sadari, dan bertekad untuk sembuh adalah solusi terbaik untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Kesembuhan seseorang karena ia berniat untuk mengobatinya hingga tuntas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun