Trauma berasal dari suatu peristiwa yang sangat melekat dan melukai jiwanya hingga sulit melupakannya dan selalu muncul dengan durasi yang intens ketika "tertrigger" dengan hal serupa. Trauma selalu menciptakan emosi, bisa dengan kemarahan, kesedihan dan ketakutan penderitanya.
Ketika emosi yang dihasilkan berupa kemarahan, maka bisa menularkan kepada keturunan dan orang sekitarnya yang berujung kepada temperamental, merasa hebat dan jago hingga merendahkan orang lain atau merasa superior.
Emosi kesedihan menyebabkan seseorang mudah terserang penyakit dan menurunnya daya tahan tubuh dengan cepat. Sementara emosi ketakutan menularkan ketakutannya kepada keturunan dan orang sekitarnya dengan rasa khawatir yang sangat berlebihan dan membuat orang lain menjadi penakut juga bermental lemah.
Trauma menyebabkan seseorang menempati level energi yang rendah dan berada pada lingkaran yang terus menerus merusak pikiran, perasaan dan energinya. Seseorang yang selalu merasa sedih tentunya menjalani hidup disertai rasa putus asa dan tidak memiliki semangat dan cenderung ceroboh terhadap dirinya maupun orang lain. Selalu menyalahi dirinya sendiri hingga rasanya ia tidak ingin lagi hidup di dunia ini karena ia merasa, untuk apa ia hidup bila selalu mendapat hal yang menyakitkannya.
Sedangkan seseorang yang mengalami trauma yang mengganggu egonya sebagai makhluk hidup, hingga rasanya ia ingin menghabisi orang tersebut tetapi tidak berdaya dan emosi tersebut tersimpan di dalam sel otak dan jantungnya, pada akhirnya menyakiti tubuhnya sendiri dan juga menyakiti orang lain dengan kata-kata yang tidak semestinya. Melampiaskan kemarahannya kepada orang yang tidak bersalah dan tidak mengerti apa-apa.
Seseorang yang memiliki trauma dengan kekhawatiran atau ketakutan yang berlebih berdampak pada kegelisahan yang hampir setiap saat. Sungguh tidak nyaman rasanya dan sangat memprihatinkan.
Ketakutan ini berasal dari seseorang yang sering menakut-nakuti, dari perkataan dan perbuatannya yang mungkin semula hanya untuk bermain-main saja, tapi ternyata masuk ke dalam bawah sadarnya hingga menjadi ketakutan sungguhan. Membaca kalimat-kalimat atau menonton sesuatu yang menakutkannya, sehingga yang terbentuk adalah seseorang yang bermental lemah dan penakut.
Ketika temperamental, mental penakut dan mental mudah putus asa seolah menjadi bagian dari sifat dan kebiasaannya maka akan menjadi gen pembawa sifat kepada keturunannya di kemudian hari (epigenetic). Maka lahirlah anak-anak yang memiliki tiga sifat yang disebutkan di atas menjalani kehidupannya didominasi dengan salah satu atau justru memiliki ketiga sifat yang diturunkan oleh orang tuannya tersebut.
Pernakah kita melihat ada suatu ketakutan, temperamen atau kesedihan yang bukan milik kita tapi ada di diri anak-anak kita? Malah terkadang kita bingung sendiri kenapa anak memiliki sifat yang melebihi sifat asli kita sendiri.
Ini akibat dari post traumatic stress disorder (PTSD) yang tidak diselesaikan dengan baik dari dalam diri kita sendiri hingga nol. Kita cenderung mengabaikan hal tersebut seolah-olah itu merupakan hal biasa dan tidak berefek apapun kepada orang lain dan hanya kita yang merasakannya.
Kita mungkin sering berkata "cukuplah saya yang merasakan, semoga anak cucu saya tidak merasakan hal yang sama dengan yang saya alami" tapi tanpa sadar kita telah menurunkannya secara genetik walaupun mungkin sekuat tenaga untuk tidak menularkan secara verbal ataupun perilaku kepada mereka yang kita sayangi.