Mohon tunggu...
Jay Z. Pai
Jay Z. Pai Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menulis saja

suka musik dan jalan - jalan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Cerita di Sela Banjir dan Perilaku Manusia

15 Maret 2022   10:15 Diperbarui: 16 Maret 2022   03:14 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hujan (oceanicpropertiesllc.com)

Kali ini, hujan hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam untuk merendam Kota Manado, yang disusul dengan tanah longsor di beberapa titik rawan. 

Sejauh ini memang belum ada berita korban jiwa. Namun, setidaknya lewat sejumlah video yang beredar di medsos, bisa dipastikan warga terdampak bencana mengalami kerugian material yang cukup parah. 

"Banjir kali ini lebih parah dari minggu sebelumnya," ucap seorang warga.  

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba listrik penduduk dipadamkan PLN. Mungkin karena lokasi belakang kantor PLN Sario mengalami kebanjiran sehingga pemadaman perlu dilakukan. Wajar, memang daerah ini menjadi salah satu titik banjir yang cukup parah.

Setelah pemadaman dilakukan, seketika Manado seperti kota mati. Hanya ada lampu kendaraan yang lalu lalang di jalanan, sisanya gelap gulita. Tambah lagi awan mendung dengan hujan yang masih saja turun, membuat situasi semakin mencemaskan.

Orang membutuhkan penerangan cahaya, itu pasti, apalagi di saat bencana banjir seperti ini, tapi PLN akan berpikir dua kali untuk hal itu. 

Pasalnya, membiarkan mesin energi listrik tetap menyala sementara lokasi belakang kantor menuju tenggelam adalah langkah berisiko bagi PLN.

Saya tinggal tepat di depan pusat konsumsi barang dan jasa. Jika Anda pernah mengunjungi Manado Town Square (Mantos), Manado Trade Center (MTC) atau Megamall -- untuk menyebut beberapa -- berarti Anda pernah melewati rumah saya. Terakhir kawasan ini cukup viral di medsos karena peristiwa gelombang laut yang tinggi.

Pemadaman listrik terjadi cukup lama. Umumnya, yang dipikirkan lebih dulu ialah segera mencari lilin atau sumber cahaya lain, tapi saya yakin, bagi 'generasi merunduk' yang setiap waktu hidup dengan telepon genggam tentu bukan itu. Yang pertama muncul dikepala mereka adalah menjaga handphone tetap menyala.  

Begitu pula saya, berhubung hujan mulai berhenti, secepatnya saya menyalakan mesin motor dan pergi mencari api, ehh maksudnya mencari lokasi sumber daya, untuk apa? 

Seperti yang saya bilang, untuk menjaga handphone tetap menyala. Waktu itu dipikiran hanya terlintas satu tempat, di mana lagi kalau bukan warung kopi.

Fix, pergi ke warung kopi bukan untuk ngopi tapi mengisi daya handphone mungkin alasan yang cukup masuk akal. 

Sudah 15 menit keliling, warung kopi yang saya temui semuanya tutup. 

Saya coba ke wilayah Manado Utara lewat jembatan Soekarno (jembatan yang menghubungkan pusat kota dengan wilayah utara Manado), namun saya tidak menemukan apa-apa selain gelap gulita.

Saya lupa ini pemadaman total, artinya semua wilayah di Manado tentu mengalami mati lampu (baca: listrik padam). 

Kalaupun ada yang buka, mungkin ia bertahan dengan bantuan energi dari genset atau sejenisnya. 

Tapi kepalan tanggung, keinginan mengisi daya handphone sudah di ubun-ubun. Layar sudah terkembang, pantang pulang sebelum menang. Ahhhh

Dengan semangat 45 motor terus dipacu, akhirnya saya menemukannya juga. Warung kopi itu berada tepat di pinggiran jalan. Persis sekitar 100 meter dari jembatan Megawati. Namanya 'Warkop 90'.

Ngomong-ngomong, jika kita berdiri tepat di jembatan Megawati dan memandang ke arah laut maka kita akan melihat pula jembatan Soekarno yang saya maksud, lengkap dengan pernak pernik tiang pancang dan lampu jalan.

Lahh, ada Soekarno, ada pula Megawati. Mengapa para mantan presiden ada di sini. Bagaimana ceritanya? Jelas, itu hanya jembatan dengan nama, tidak perlu berlebihan.

Tetapi begitulah Manado, kita akan menemukan berupa nama dan simbol, seperti Tugu Lilin, God Bless Park (GBK), Gedung Religi dll, meskipun seringkali kehilangan makna atau substansi. 

Substansi pencanangan Manado sebagai kota do'a oleh pemerintah kota. Substansi do'a adalah harapan. 

Harapannya, Manado menjadi kota untuk semua kita, menjadi kota yang melayani kita semua, bukan hanya segelintir elit atau kelompok tertentu.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Terpaku pada bentuk (simbol) lupalah makna. Semoga bukan hanya sekedar simbol. Mungkin lain waktu saya akan coba mengulas bagaimana perebutan ruang makna atas kota di bawah bayang-bayang perang simbol (simbol war).

Ahh, bicara apa sihh. Oke, kita kembali ke warung kopi dulu.

*****

Seperti prediksi saya, Warung Kopi 90 bertahan dengan penerangan dari bantuan genset, makanya masih buka. 

Tanpa basa-basi saya langsung megeluarkan charger dan mencari colokan, sampai lupa memesan kopi. 

Tapi ini sudah malam, jika memesan kopi nanti susah  tidur. Oke, malam ini jangan kopi. Pesan teh hangat saja kalau begitu.

Belum lama saya duduk, orang-orang mulai berdatangan dengan tujuan yang sama yaitu mengisi daya handphone masing-masing. 

Bahkan ada yang membawa terminal colokan sendiri. Memang kebutuhan untuk menjaga handphone tetap menyala rasanya seperti sama dengan kebutuhan untuk makan.

Maksudnya begini.

Sekarang, handphone bukan lagi kebutuhan sekunder, tetapi telah menjadi kebutuhan primer. Seperti kebutuhan untuk makan misalnya, dengan makan Anda bertahan hidup dan eksis. 

Posisi handphone pun begitu. Semacam versi plesetan dari digtum decartes, pokonya, jika aku (punya) handphone maka aku ada. 

Saya punya pengalaman berada di daerah tanpa akses jaringan sama sekali. 

Pertama di desa Jiko Belanga, Bolaang Mongondow Timur. Kedua di desa Tobayagan Selatan, Bolaang Mongondow Selatan. 

Kedua daerah ini berada jauh dari ibu kota kabupaten. Orang-orang di sana kebanyakan tidak punya handphone, buat apa punya handphone jika jaringan pun tak ada. Kalaupun ada, mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh, atau malah mendaki bukit, mereka percaya di tempat tinggi jaringan mudah di dapat.

Bagi warga di sana kehidupan seperti itu biasa saja, itu 'normal'. Kata normal tentu dimaknai berbeda oleh mereka.

Jika dibandingkan dengan penduduk urban yang sehari-hari hidup dengan akses jaringan dan layanan internet. Mereka akan berpikir dua kali untuk berlama-lama di sana. Kehidupan tanpa akses jaringan dan layanan internet bahkan akan dianggap tidak 'normal'.

Tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu jaringan, telepon genggam dan layanan internet. Ketiga hal ini  memberikan perubahan perilaku sosial yang cukup fundamental dalam kehidupan zaman kiwari.

Ini bermula saat dunia mulai mengenalkan telepon pintar atau smartphone. Mulanya handphone atau telepon genggam 'zaman old' hanya berfungsi untuk menelepon dan mengirim pesan singkat (sms).

Nah, pada smartphone tidak hanya itu.

Smartphone dilengkapi dengan fitur-fitur terbaru dan fasilitas layanan internet, seperti yang ada ditangan Anda saat ini. 

Dengannya, kita bisa mengakses apa saja dan bertemu dengan siapa saja. Adanya fitur video call misalnya, bisa membuat Anda ngobrol sambil tatap muka. Hal yang tidak bisa ditemukan pada jenis handphone zaman old.

Selain itu, aplikasi sosial media berupa WhatssApp, Facebook, dan instagram juga turut memunculkan fenomena dunia baru atau apa yang sering kita sebut sebagai dunia maya. 

Dalam gawai berukuran telapak tangan manusia dewasa itu, kita bisa melakukan dan mengetahui apa saja. Seketika dunia bisa dilipat dan berada dalam genggaman kita.

Tanpa kita sadari kemudahan-kemudahan semacam itu turut menciptakan ketergantungan. Ketergantungan akan informasi dan memberikan informasi. 

Kita menjadi objek yang mengonsumsi informasi sekaligus subyek yang memberikan bahkan, mereproduksi informasi. Hal ini terpola setiap hari dan menjadi kebiasaan.

Kita tidak hanya membutuhkan handphone untuk sekedar menelepon atau mengirim pesan singkat. Kebiasaan perilaku seperti di atas akhirnya mendorong kita untuk membutuhkan sesuatu yang lebih dari teleponan dan sms-an,  yaitu kebutuhan akan akses layanan internet. Sehingga kuota internet lebih penting daripada pulsa biasa. 

Pada konteks ini, sebagus apapun smartphone yang Anda miliki, tanpa kuota internet, barang itu tidak berarti apa-apa.

Sampai di sini hal ini mungkin terasa biasa saja. Manusia 'modern' mengalami ketergantungan informasi itu fenomena biasa. Tetapi bagaimana jika hasrat untuk memenuhi kebutuhan informasi malah mengendalikan manusia? Bukan sebaliknya. Atau bagaimana jika teknologi informasi menjadi kendali atas diri manusia: di mana manusia kehilangan independensi atas pilihan-pilihannya sendiri.

Kalaupun ada pilihan, pilihan tersebut sudah disediakan oleh sistem yang berada di luar kendali manusia. 

Sejenis independensi setengah hati, atau dalam istilah Heidegger ia disebut forced freedom: kita punya independensi memilih tapi pilihan kita sudah disediakan.

Anggaplah media sosial sebagai sistem yang berada di luar kendali manusia, yang menyediakan berbagai informasi apapun yang dibutuhkan manusia, dan sebagai konsumen informasi, manusia menggunakannya sebagai dasar perilaku hidupnya. Di mana manusia berpikir dan bertindak berdasarkan apa yang dilihat, dibaca dan dimaknai dari media sosial.

Persoalannya, apa yang dimaknai itu belum tentu benar. Apalagi, sebagaimana kita ketahui hari ini, kebenaran di media sosial sudah bergeser dari kualitas menjadi kuantitas. Maksudnya, ukuran kebenaran bukan lagi didasari oleh validitas data, melainkan oleh banyaknya viewers, like, subscribe, dan komentar.

Artinya, perubahan perilaku sosial manusia bisa dikendalikan oleh sistem di luar dirinya (medsos), yang belum tentu benar. Ini yang rumit.

*****

Tak terasa hari sudah larut, saya mendapat kabar listrik di rumah sudah menyala, tanda bahwa situasi sudah mulai kembali stabil. 

Secepatnya saya menyalakan mesin motor, dan langsung tancap gas kembali pulang dengan daya handphone yang terisi penuh.

Lumayan lah yahh. hehehe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun