Maksudnya begini.
Sekarang, handphone bukan lagi kebutuhan sekunder, tetapi telah menjadi kebutuhan primer. Seperti kebutuhan untuk makan misalnya, dengan makan Anda bertahan hidup dan eksis.Â
Posisi handphone pun begitu. Semacam versi plesetan dari digtum decartes, pokonya, jika aku (punya) handphone maka aku ada.Â
Saya punya pengalaman berada di daerah tanpa akses jaringan sama sekali.Â
Pertama di desa Jiko Belanga, Bolaang Mongondow Timur. Kedua di desa Tobayagan Selatan, Bolaang Mongondow Selatan.Â
Kedua daerah ini berada jauh dari ibu kota kabupaten. Orang-orang di sana kebanyakan tidak punya handphone, buat apa punya handphone jika jaringan pun tak ada. Kalaupun ada, mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh, atau malah mendaki bukit, mereka percaya di tempat tinggi jaringan mudah di dapat.
Bagi warga di sana kehidupan seperti itu biasa saja, itu 'normal'. Kata normal tentu dimaknai berbeda oleh mereka.
Jika dibandingkan dengan penduduk urban yang sehari-hari hidup dengan akses jaringan dan layanan internet. Mereka akan berpikir dua kali untuk berlama-lama di sana. Kehidupan tanpa akses jaringan dan layanan internet bahkan akan dianggap tidak 'normal'.
Tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu jaringan, telepon genggam dan layanan internet. Ketiga hal ini  memberikan perubahan perilaku sosial yang cukup fundamental dalam kehidupan zaman kiwari.
Ini bermula saat dunia mulai mengenalkan telepon pintar atau smartphone. Mulanya handphone atau telepon genggam 'zaman old' hanya berfungsi untuk menelepon dan mengirim pesan singkat (sms).
Nah, pada smartphone tidak hanya itu.