Kita harus berhenti agar memahami makna bergerak, sebagaimana harus bermukim agar memahami makna bepergian. (F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian).
Saya sengaja memulai refleksi ini dengan kutipan dalam buku Heidegger dan Mistik Keseharian yang di tulis oleh F. Budi Hardiman. Sebab pada paragraf-paragraf berikutnya kita mungkin akan menemukan relasi kutipan itu dengan isi refleksi ini.
Untuk paragraf awal ini saya akan mulai merefleksikan bagaimana suatu aturan hadir sebagai ketakutan. Ketakutan-ketakutan yang muncul dalam rutinitas pekerjaan yang banal.
Baik, langsung saja.
Begini, sudah berapa banyak aturan yang dibuat oleh negara, perusahaan, instansi layanan Pendidikan, atau organisasi yang mungkin sementara Anda geluti saat ini. Puluhan? atau bahkan ratusan? Lalu bagaimana?, jika persoalannya efektivitas, jawabannya adalah mungkin.
Maksudnya, aturan mungkin saja efektif pada titik tertentu tetapi mungkin saja tidak efektif pada titik tertentu. Ukurannya dilihat dari sejauh mana hal itu mencapai target yang ditetapkan.
Namun catatan ini tidak akan mengulas tentang efektivitas suatu aturan. Melainkan coba membicarakan motif dibalik kepatuhan.
Kita tau sejak awal aturan dikeluarkan untuk satu alasan: penertiban!. Itulah target sebenarnya. Bagi Anda yang mengikuti aturan maka akan di cap teladan, patuh dan seterusnya. Sebaliknya, bagi yang tidak mengikuti aturan maka akan di cap tidak patuh dan keras kepala.
Selain itu, hal lain yang tidak bisa dilupakan adalah bahwa aturan selalu diikuti dengan dua kelahiran setalahnya, kelahiran pertama bernama penghargaan (reward), kelahiran kedua bernama sanksi (punishment).
Bagi yang tidak patuh terhadap aturan akan diberi sanksi (punishment). Sanksinya bisa bermacam-macam, dalam organisasi misalnya, sanksi dari pelanggaran bisa berupa teguran ringan, teguran keras, bahkan yang paling ekstrem ialah pemecatan. Tergantung ukuran pelanggaran yang dilakukan: ringan atau berat. Sebaliknya, bagi mereka yang patuh maka akan diberi pengharagaan (reward).
Pertanyaanya, apakah kepatuhan itu dilakukan atas dasar kesadaran atau karena ketakutan. Perlu diingat, patuh karena sadar itu berbeda dengan patuh karena takut. Dalam ketakutan, orang-orang akan berkata 'daripada saya di pecat lebih baik saya ikuti aturan itu'. Sebagaimana dalam moralitas agama, orang akan berkata 'lebih baik saya bertobat daripada dosa dan masuk neraka'.
Pernyataan jenis ini sering Anda dapati bukan(?). Artinya, ketakutan akan sanksi dapat mendorong munculnya kepatuhan pada seseorang. Lalu apa itu ketakutan?
Ketakutan
Anda mungkin pernah mengalami mimpi buruk, tiba-tiba Anda terbangun dengan kondisi sekujur tubuh keringat dingin, nafas tersengal dan jantung berdegup kencang. Setelah itu Anda kemudian berdoa agar hal itu segera berakhir.
Sigmund freud menyamakan ketakutan dengan ketegangan. Menurutnya, ketegangan terjadi karena adanya konflik antara ego (di dalam diri) dan super ego (di luar diri).
Dalam kasus mimpi buruk sedikit berbeda, sebelum Anda sadar bahwa itu hanyalah mimpi, Anda mungkin sempat bertanya apakah itu hanya mimpi atau benar-benar kenyataan.
Situasi itu memunculkan ketegangan. Dalam hal ini, ketegangan antara mimpi (imajinasi) dan kenyataan (real) itulah ketakutan. Siapapun tentu tidak ingin dihantui mimpi buruk. Tetapi itu terjadi. Mimpi buruk menghantui hampir setiap kita.
Sebenarnya, ketegangan tersebut mirip dengan perasaan terancam. Misalnya, sebagai pekerja, Anda atau teman Anda, mungkin pernah melanggar aturan disiplin kerja organisasi, segera setelah pelanggaran itu Anda lalu dipanggil menghadap atasan, dalam perjalanan menuju ruangan atasan bayangan sanksi mulai bermain dikepala: apakah hanya surat teguran atau malah surat pemecatan. Situasi ini membuat Anda merasa terancam. Anda lalu tegang bahkan ketakutan.
Dalam lembaga atau organisasi yang sedang kita geluti, rasa terancam muncul dari aturan. Sehingga adanya aturan secara tidak langsung, membuat kita merasa dibayang-bayangi oleh perasaan terancam. Terancam oleh adanya sanksi dan ketakutan terhadap aturan.
Pada konteks ini, pekerja yang ketakutan akan aturan akan melihat tempat kerja bukan sebagai tempat kerja, melainkan sebagai pengadilan dengan dirinya sebagai tersangka. Yang jika sekali waktu terbukti bersalah karena melanggar, maka statusnya berubah menjadi terdakwa. dan untuk selanjutnya siap menjalani hukuman (sanksi).
Bagi orang yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan, tentu kehilangan sebuah pekerjaan adalah nama lain dari kematian. Karena baginya, pekerjaan adalah sumber kehidupan utama. Sehingga kebutuhan akan pekerjaan seperti kebutuhan akan makanan. Dan umumnya manusia butuh makan agar tetap hidup.
Namun bisa saja sanksi yang di terima hanya sekadar teguran bukan pemecatan, sehingga pekerja tidak kehilangan pekerjaan yang berarti kematian. Benar, tapi ni bukan soal ringan atau berat sanksi yang di terima.
Lebih daripada itu, ini soal bagaimana suatu aturan menjadi momok yang menakutkan. Sehingga satu-satunya cara yang tersisa untuk keluar dari rasa keterancaman ialah dengan mematuhi aturan. Disinilah kemungkinan suatu aturan dipatuhi karena ketakutan.
Berbeda dengan kesadaran, orang yang sadar akan melihat pekerjaan sebagai tanggung jawab. Dan keaktifan diri dalam organisasi sebagai pelaksanaan komitmen.
Dia tidak bekerja dalam bayang-bayang aturan sebagaimana orang dalam ketakutan. Sehingga untuk tipikal orang yang seperti ini rasanya aturan tidak lagi dibutuhkan. Bukan karena aturan itu tidak perlu, tetapi aturan bukan lagi menjadi alasan utama disiplin kerja dan keaktifan diri.
Dalam ketakutan, orang bekerja karena arahan aturan. Sementara kesadaran akan menuntun orang bekerja sesuai potensi yang ia miliki. Ia sadar akan kemampuan diri, bukan tergantung semata-mata pada instruksi.
Artinya, bekerja dalam ketakutan turut membuat orang lupa, dan tidak sadar pada potensi diri. termasuk pada kemungkinan-kemungkinan inovasi. Sebab yang ada di kepala hanyalah satu pertanyaan besar: bagaimana menghindari mimpi buruk bernama sanksi.
Namun untuk sampai pada kesadaran jenis di atas, diperlukan momen menuju kesadaran. Lalu apa kesadaran itu? Bagaimana momen menuju kesadaran itu?
Dalam bukunya Sein Un Zeit (Ada dan Waktu), Martin Heidegger mengatakan bahwa kesadaran adalah posisi keterlemparan Dasein (manusia) ke-dalam-dunia (in der welt sein) setelah Dasein (manusia) mengalami momen tertentu.
Siapapun pernah mengalami sakit kepala. Dalam pengalaman sakit kepala, reaksi pertama kita adalah segera melakukan sesuatu untuk meredekannya, misalnya dengan segera membeli obat pereda sakit kepala.
Saat itu, kita merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal, yang tidak normal, yang akhirnya membuat kita sadar bahwa ada bagian tubuh kita yang sakit. Bagian tubuh kita yang bernama kepala.
Sebelum kesakitan itu datang, mungkin semua berjalan normal. Kita berpikir, bergerak kemana-mana, dan menjalani rutinitas keseharian pada umumnya. Tapi ketika kepala kita sakit, jangankan berpikir, untuk tidur pun sulit.
Reaksi pertama yang kita lakukan untuk meredakan sakit kepala itulah momen kesadaran kita. Momen dimana Dasein mengalami keterlemparan ke dalam dunia (in der welt sein).Â
Dengan demikian, sebagaimana konsep Aku ada bersama (mitsein) tubuhku itu berbeda dengan Aku memiliki tubuhku. Aku ada bersama (mitsein) tubuhku merupakan Aku yang sadar bahwa kepala adalah bagian dari tubuhku. Sedang Aku adalah (memiliki) tubuhku, adalah Aku yang tidak sadar bahwa kepala adalah bagian dari tubuhku.
Yang pertama adalah posisi keterlemparan dasein ke dalam dunia (in der welt sein), dimana dasein telah mengalami kesadaran. Sedang yang kedua adalah posisi dimana dasein masih tenggelam dalam rutinitas keseharian yang normal, dimana dasein belum mengalami kesadaran. Seperti contoh pengalaman sakit kepala di atas.
Dalam pekerjaan dan aktifitas organisasi hampir ditemukan hal yang persis. Rutinitas datang ke kantor pagi hari, membuat jadwal, menyusun laporan bulanan, pulang kantor kemudian terima gaji akhir bulan yang dilakukan setiap hari, tanpa sadar telah membuat kita tenggelam dalam rutinitas keseharian.
Tapi rutinitas yang dijalani ini bukan dalam konsep Aku ada bersama (mitsein) pekerjaan, akan tetapi berada pada konsep Aku adalah (memiliki) pekerjaan. Alih-alih sadar akan hal ini, pekerja yang tidak sadar justru tenggelam dalam rutinitas keseharian secara terus menerus.
Sementara, untuk keluar dari kolam rutinitas keseharian, kita membutuhkan momen kesadaran. Pertanyaanya momen seperti apa yang diperlukan agar seorang pekerja yang tenggelam dalam keseharian bisa menemukan kesadaran.
Dalam hal ini saya meminjam istilah F. Budi Hardiman, apa yang dia sebut sebagai 'jeda eksistensial'. Tapi jangan disalahpami terlebih dahulu. Jeda eksistensial yang saya maksud disini bukan dalam arti sebagai pekerja kemudian kita berhenti bekerja, pengertian itu terlalu dangkal.
Jeda eksistensial adalah suatu momen dimana kita merenungkan keseharian termasuk rutinitas pekerjaan yang kita geluti. Mungkin dimulai dari pertanyaan dasar semisal; untuk apa bekerja (?), atau kenapa saya memilih pekerjaan ini, bukan pekerjaan yang itu (?). Dalam pekerjaan apapun pasti memiliki jeda, ia bisa berbentuk apapun. Jeda itu kemudian digunakan untuk melakukan permenungan.
Inti dari jeda eksistensial yang saya maksudkan sebenarnya ialah permenungan. Lewat permenungan, setidaknya bagi saya, kesadaran bisa ditemukan. Termasuk kesadaran dalam rutinitas pekerjaan. Jadi, untuk sadar kita perlu permenungan dan permenungan membutuhkan momen jeda eksistensial. Apapun yang dilakukan dalam jeda eksistensial asalkan mengandung nilai permenungan itulah momen menuju kesadaran.
Dalam sebuah pesan singkat yang belum lama lewat, seseorang pernah bilang kepada saya bahwa membaca buku bisa membuka wawasannya, sepertinya lewat membaca dia mampu melihat dunia lebih dari biasanya. Barangkali dia menemukan sesuatu dalam permenungan setelah membaca buku. Mungkin membaca merupakan jeda eksistensial baginya.
Ada banyak momen yang dilewati begitu saja dalam hidup pekerja. Beberapa kawan menggunakannya untuk istirahat makan siang, sekedar ngobrol, dan menghabiskan dua batang rokok. Namun karena dilalui tanpa permenungan-permenungan yang dalam atas rutinitas keseharian, maka momen itu kehilangan makna. Dan hanya menjadi sekedar aktifitas menghilangkan penat.
Dalam Sein Un Zeit (Ada dan Waktu), Martin Heidegger kembali mengingatkan bahwa Dasein selalu tenggelam dalam keseharian sekaligus menemukan kesadaran. Sadar sekaligus tenggelam. Dalam rutinitas pekerjaan berarti bekerja sekaligus merenung. Ibarat seorang yang menyelam di kolam air keseharian, lalu untuk sekali waktu ia naik ke permukaan sejenak menghirup udara.
Walaupun menghindari rutinitas pekerjaan itu sulit bagi pekerja sebagaimana peringatan Heidegger di atas. Tapi lewat jeda eksistensial seorang pekerja bisa menemukan kesadaran. Dia bisa memiliki waktu untuk setidaknya menghirup udara 'kesadaran' sebelum kembali tenggelam.
Sedangkan momen yang dilewati tanpa permenungan bukan bagian dari jeda eksistensial yang saya maksud. Justru sebaliknya, itu adalah upaya bunuh diri dan tenggelam ke dasar kolam keseharian selama-lamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H