Sebelum kesakitan itu datang, mungkin semua berjalan normal. Kita berpikir, bergerak kemana-mana, dan menjalani rutinitas keseharian pada umumnya. Tapi ketika kepala kita sakit, jangankan berpikir, untuk tidur pun sulit.
Reaksi pertama yang kita lakukan untuk meredakan sakit kepala itulah momen kesadaran kita. Momen dimana Dasein mengalami keterlemparan ke dalam dunia (in der welt sein).Â
Dengan demikian, sebagaimana konsep Aku ada bersama (mitsein) tubuhku itu berbeda dengan Aku memiliki tubuhku. Aku ada bersama (mitsein) tubuhku merupakan Aku yang sadar bahwa kepala adalah bagian dari tubuhku. Sedang Aku adalah (memiliki) tubuhku, adalah Aku yang tidak sadar bahwa kepala adalah bagian dari tubuhku.
Yang pertama adalah posisi keterlemparan dasein ke dalam dunia (in der welt sein), dimana dasein telah mengalami kesadaran. Sedang yang kedua adalah posisi dimana dasein masih tenggelam dalam rutinitas keseharian yang normal, dimana dasein belum mengalami kesadaran. Seperti contoh pengalaman sakit kepala di atas.
Dalam pekerjaan dan aktifitas organisasi hampir ditemukan hal yang persis. Rutinitas datang ke kantor pagi hari, membuat jadwal, menyusun laporan bulanan, pulang kantor kemudian terima gaji akhir bulan yang dilakukan setiap hari, tanpa sadar telah membuat kita tenggelam dalam rutinitas keseharian.
Tapi rutinitas yang dijalani ini bukan dalam konsep Aku ada bersama (mitsein) pekerjaan, akan tetapi berada pada konsep Aku adalah (memiliki) pekerjaan. Alih-alih sadar akan hal ini, pekerja yang tidak sadar justru tenggelam dalam rutinitas keseharian secara terus menerus.
Sementara, untuk keluar dari kolam rutinitas keseharian, kita membutuhkan momen kesadaran. Pertanyaanya momen seperti apa yang diperlukan agar seorang pekerja yang tenggelam dalam keseharian bisa menemukan kesadaran.
Dalam hal ini saya meminjam istilah F. Budi Hardiman, apa yang dia sebut sebagai 'jeda eksistensial'. Tapi jangan disalahpami terlebih dahulu. Jeda eksistensial yang saya maksud disini bukan dalam arti sebagai pekerja kemudian kita berhenti bekerja, pengertian itu terlalu dangkal.
Jeda eksistensial adalah suatu momen dimana kita merenungkan keseharian termasuk rutinitas pekerjaan yang kita geluti. Mungkin dimulai dari pertanyaan dasar semisal; untuk apa bekerja (?), atau kenapa saya memilih pekerjaan ini, bukan pekerjaan yang itu (?). Dalam pekerjaan apapun pasti memiliki jeda, ia bisa berbentuk apapun. Jeda itu kemudian digunakan untuk melakukan permenungan.
Inti dari jeda eksistensial yang saya maksudkan sebenarnya ialah permenungan. Lewat permenungan, setidaknya bagi saya, kesadaran bisa ditemukan. Termasuk kesadaran dalam rutinitas pekerjaan. Jadi, untuk sadar kita perlu permenungan dan permenungan membutuhkan momen jeda eksistensial. Apapun yang dilakukan dalam jeda eksistensial asalkan mengandung nilai permenungan itulah momen menuju kesadaran.
Dalam sebuah pesan singkat yang belum lama lewat, seseorang pernah bilang kepada saya bahwa membaca buku bisa membuka wawasannya, sepertinya lewat membaca dia mampu melihat dunia lebih dari biasanya. Barangkali dia menemukan sesuatu dalam permenungan setelah membaca buku. Mungkin membaca merupakan jeda eksistensial baginya.