''Iya. Hati-hati, yaa....,'' hanya itu yang kudengar sebelum aku mematikan Hp dengan dada berdegup kencang. Perasaanku campur aduk, kalut, kecewa, jengkel, dan mungkin marah!
Kubanting pintu mobil, ingin sesegera mungkin menjauh dari kafe Ballezza. Sekilas kulihat Mawardi juga sudah memasuki kafe itu. Tetapi aku sudah tak perduli lagi. Kutelepon segera Mawardi dan juga teman-temanku yang lainnya, agar segera memindahkan lokasi nongkrong.Â
Quad-Ro Cafe menjadi kesepakatan kami kali ini.
* * *
Aku seakan tak percaya, Fatmia bisa mempermainkan perasaanku. Aku tak akan marah sama dia, cuma saja hatiku sangat kecewa mendapati kenyataan bahwa dia yang begitu lincah menggemaskan, begitu manis di hadapanku, ternyata punya setumpuk agenda, termasuk berhubungan spesial sama Acim. Hubungan yang bisa membuat aku panas dan blingsatan!
Fatmia, si 'Murai Kecil' yang aku senangi dan sayangi setulus hati. Fatmia, Fatmia.... betapa aku ingin mempersembahkan kasih sayang yang nyaris sempurna kepadamu. Tapi kenapa begitu teganya kau jalan sama seseorang yang selama ini aku anggap sebagai sahabat? Betul, aku tak berhak mengatur hidupmu, sebab aku hanyalah sesosok jiwa yang kadang hadir dan terlalu sering lenyap di hatimu, tergantung kebutuhanmu, kan? Betul, aku belum punya hak melarang kamu ini -- itu, tapi untuk merespon sebuah kebaikan dan janji muluk-muluk yang disodorkan Acim kepadamu, aku sungguh tak ikhlas!***Â
(Cerpen ini saya tulis sembari duduk setengah harian di warkop Kopizone, Makassar. Dimuat di Majalah STORY Jakarta Edisi 3 tgl 25 September 2009)
ZT -Batulicin, 2 Oktober 2019