Busway jurusan Manggarai telah merapat. Mereka segera beranjak. Berlalu begitu saja. Tanpa bekas. Tanpa jejak.
Hujan makin lebat. Ngotot ke gedung seberang, pasti basah kuyup. Dari lantai 16 di atas sana, saya biasa memperhatikan ritme di halte ini dengan jelas. Jadi, lewat handphone saya putuskan menghungi teman saya yang berkuasa di lantai 16 itu, yang kekuasaannya juga meliputi seluruh wilayah Indonesia. Syukurlah, seperti biasanya, beliau langsung mengangkat handphone-nya, "Halo, Pak? Di mana posisi, Bapak?”
“Saya di jalan, Herul. Menuju Jakarta, dari Garut,” ungkapnya.
“Oh, naik kereta?” tanya saya.
“Enggak. Naik bus. Saya sejak kemarin di Garut.”
“Coba bapak kasih tahu saya, kan saya bisa ikut bos temani bapak ini.”
“Susahlah, Rul. Kita rombongan ini bos!”
“Wah... saya pikir bapak ada di kantor. Saya di halte bus ini, depan kantornya, Bos. Hujan lebat lagi.”
“Aihh... besok aja kita ketemu, Rul,” tutupnya.
“Oke, Pak.”
Setelah itu saya menghubungi salah satu teman saya di lantai 18 gedung itu. Namanya Cipta. Dia seorang Kepala Bagian, pejabat eselon tiga. Sekali saya hubungan, handphone-nya tersambung. Tapi tak diangkat. Berikutnya, tersambung lagi. Tetap tak diangkat. Betikutnya lagi, dia masih enggan mengangkatnya. Saya pikir, dia sedang sibuk jadi tak melihat panggilan saya. Atau teleponnya tertinggal di mobil, jadi tak mungkin dia angkat? Tapi tiga hari belakangan ini, saya selalu meneleponnya. Selalu tersambung, tapi tetap dia tak angkat. Saya menunggu dia telepon balik, eh... tidak juga. Mungkin dia sakit kali yah? Entahlah