Naik di halte Kemayoran menuju Kota. Di halte Kota, jalan sedikit, menunggu sejenak, lalu naik ke busway jurusan Blok M. Di sini nikmat, langsung dapat tempat duduk di jejeran kursi terbelakang, menghadap ke depan, persis di bawah hembusan AC. Tak sampai di Blok, hanya transit di Tosari. Biasanya di sini saya turun, setelah melihat dari jauh Mal Grand Indonesia. Jalan agak jauh juga untuk sampai di Thamrin City, tempat Luna bekerja di salah satu toko penjual busana muslimah. Tapi kali ini saya mau ke Kuningan. Tujuan saya, ke kantor teman saya yang sudah jadi bos dibawah sedikit dari bigboss.
Saya bertanya pada petugas berseragam merah hitam, “Kalau mau ke Kuningan depan pasar Festival, ambil jurusan apa, Mas?”
“Naik lagi satu kali yang ke Blok M, turun di halte depan. Dukuh Atas,” jawabnya.
“Lalu?”
“Naik lagi jurusan Ragunan.”
“Oke, terima kasih.” Saya segera naik ke busway merah oranye yang sudah bersandar di bibir halte.
Tak sempat duduk lantaran penuh sesak, saya sudah turun lagi. Halte Dukuh Atas, jalan menanjak, belok, belok lagi, lalu belok lagi. Terus mutar balik. Heran saya di buatnya. Kenapa ada halte yang begitu ribet. Kenapa tidak dibangun saja halte yang sederhana dan tak meliuk-liuk seperti ini? Seperti halte-halte bus di Singapura. Berapa miliar duit dipakai membangun halte serumit ini?
Pemborosan!
Jujur, halte seribet ini kadang membuat orang malas naik busway. Perlu di sederhanakan, demi kenyamanan masyarakat. Saya lihat begitu banyak halte busway yang serupa dengan di Dukuh Atas ini. Coba seragam saja kayak halte di Monas. Atau beberapa halte sepanjang Kuningan, kan bisa mengasyikkan. Tentu menyenangkan.
Agak jauh juga jalan kaki mencari busway jurusan Ragunan. Saya pasti sudah ngos-ngosan jika seandainya saya tak terbiasa berenang 1000 meter tiap pagi. Dan, saya sempat selfie di halte Dukuh Atas.
Saya tak antri begitu lama. Justru ada empat atau lima bus warna biru yang berderet di depan saya, menanti giliran jalan. Saya ingat, tadi di halte Kemayoran, hampir satu jam saya menunggu busway. Begitu lama. Yang datang bukan lagi yang bus gandeng, tapi yang seukuran metromini. Berdesak-desakan pula. Ini sungguh tak adil! Pengoperasian bus Trans Jakarta tak merata dan cenderung pilih kasih. Oh, kepada siapa kami mengadu? Siapa yang bertanggungjawab? Ohh...! Apa karena saya tinggal di Kemayoran hingga jatah busway yang lewat sana sangat terbatas dan dikasih yang jelek-jelek? Ngedumel hati saya.
Mungkin hanya tiga halte dilewait hingga saya sudah sampai di tujuan. Halte Gelora Sumantri Brojonegoro. Saya nggak ngerti ada hubungan apa dengan mantan menteri keuangan yang berbadan subur itu? Jangan dipikirin, ah! Yang saya perhatikan begitu saya menjejakkan kaki di lantai plat besi halte adalah gedung berwarna cokelat di seberang sana. Di atasnya ada semacam bulatan mirip kubah masjid. Namanya Gedung Sentra Mulia. Lantai 16 atau 18 tujuan saya. Ada beberapa kawan di sana yang semoga sudi menerima saya sore begini.
Namun begitu, saya langsung tertahan.
Sontak hujan turun begitu derasnya, yang memaku saya di halte ini. Memang sejak dari bundaran HI tadi, saya lihat awan tebal kehitaman bergayut manja, siap jatuh ke pelukan bumi. Untung ada beberapa tempat duduk stainless steel memanjang ukuran empat orang. Di situ sudah ada dua gadis manis, dan ehh... yang satu cantik sekali, sedang duduk dan asyik ngobrol sembari menunggu busway jurusan Manggarai. Mungkin mereka mahasiswi Universitas Bakrie yang kampusnya dekat sini, pikir saya.
“Permisi, saya bisa duduk di sini?” tanya saya santun.
“Bisa,” jawab cewek yang cantik sekali. Dia memakai sepatu kets Converse warna putih ukuran pendek. Kenapa saya langsung perhatikan sepatunya? Sebab saya pernah punya sepatu begitu tapi yang ukuran tiga perempat.
Gadis itu bergeser sedikit. Saya duduk sambil memeluk ransel merah maron milik saya. Begitu rapat dengan gadis itu. Begitu wangi ia dengan aroma rose essential yang berhembus bersama serpihan gerimis, menyapa penciuman saya. Sungguh, saya merasa sangat familiar dengan keharuman yang seolah-olah melingkupi ruang halte yang sangat terbuka ini. Hujan yang makin deras mungkin kalah pamor sama pesona kedua gadis disamping saya ini. Itupula yang bikin saya tak tenang, untuk segera mengambil inisiatif berinteraksi lagi dengan mereka.
“Pakai Bvlgari ya, Dek?” tanya saya berusaha sok akrab.
Si Cantik mengangguk.
Si Manis menjawab, “Iya. Kok bapak tahu?”
“Isteri saya juga pakai Bvlgari,” sahut saya.
“Ohh.” Kedua gadis itu saling memandang.
Busway jurusan Manggarai telah merapat. Mereka segera beranjak. Berlalu begitu saja. Tanpa bekas. Tanpa jejak.
Hujan makin lebat. Ngotot ke gedung seberang, pasti basah kuyup. Dari lantai 16 di atas sana, saya biasa memperhatikan ritme di halte ini dengan jelas. Jadi, lewat handphone saya putuskan menghungi teman saya yang berkuasa di lantai 16 itu, yang kekuasaannya juga meliputi seluruh wilayah Indonesia. Syukurlah, seperti biasanya, beliau langsung mengangkat handphone-nya, "Halo, Pak? Di mana posisi, Bapak?”
“Saya di jalan, Herul. Menuju Jakarta, dari Garut,” ungkapnya.
“Oh, naik kereta?” tanya saya.
“Enggak. Naik bus. Saya sejak kemarin di Garut.”
“Coba bapak kasih tahu saya, kan saya bisa ikut bos temani bapak ini.”
“Susahlah, Rul. Kita rombongan ini bos!”
“Wah... saya pikir bapak ada di kantor. Saya di halte bus ini, depan kantornya, Bos. Hujan lebat lagi.”
“Aihh... besok aja kita ketemu, Rul,” tutupnya.
“Oke, Pak.”
Setelah itu saya menghubungi salah satu teman saya di lantai 18 gedung itu. Namanya Cipta. Dia seorang Kepala Bagian, pejabat eselon tiga. Sekali saya hubungan, handphone-nya tersambung. Tapi tak diangkat. Berikutnya, tersambung lagi. Tetap tak diangkat. Betikutnya lagi, dia masih enggan mengangkatnya. Saya pikir, dia sedang sibuk jadi tak melihat panggilan saya. Atau teleponnya tertinggal di mobil, jadi tak mungkin dia angkat? Tapi tiga hari belakangan ini, saya selalu meneleponnya. Selalu tersambung, tapi tetap dia tak angkat. Saya menunggu dia telepon balik, eh... tidak juga. Mungkin dia sakit kali yah? Entahlah
Dulu, waktu dia masih Cipta masih menjabat Kepala Seksi --jabatan dibawah Kepala Bagian-- dia rajin telepon saya. Dia selalu panggil saya ke kantornya. Selalu mengajak saya ngopi di Mal dekat kantornya. Tentu bersama dengan pimpinannya, yang juga teman saya itu, yang kini berada dalam perlananan ke Jakarta
Sekarang? Hehehe...menghubunginya saja lewat handphone begitu susahnya. Begitulah si Cipta ini. Saya sabar sajalah!
Sembari memelihara sabar, saya menanti busway. Kali ini saya akan kembali ke jalur yang telah saya lewat tadi. Lalu saya bertanya ke petugas di loket tiket, “Busway jurusan Thamrin City yang mana, Mbak?”
Dia menggeleng, “Nggak ada, Mas. Kalau mau ke Thamcit, naik yang dari Ragunan. Turun di Dukuh Atas. Lanjut lagi, naik yang dari Blok M, turun di Tosari. Tinggal jalan kaki aja, Pak,” jelasnya.
Saya menepuk jidat sendiri. Bodoh sekali pertanyaan saya barusan. Saya juga sudah tahu! batin saya dongkol. Kedongkolan yang membuat saya tak peduli lagi, hingga saya nyaris lupa bahwa saya telah sukses duduk di atas busway jurusan Monas, di dekat seorang pemuda dekil dengan bau badan yang tak sedap.
Saya turun di halte Sarinah, ketika hujan masih tetap mengguyur bumi. Mungkin segelas cokelat hangat di Mc Cafe, akan jadi sebuah kenikmatan tersendiri bagi saya sembari menanti sang kekasih pulang dari Thamrin City. Di situ saya akan menelponnya, bahwa saya menunggu di lantai dua Mc Cafe.
Namun begitu tiba di Mc Cafe, hati saya tersentak. Rupanya Luna sudah berada di situ bersama seseorang yang saya kenal baik. Seorang yang membuat dada saya tiba-tiba bergetar. Dia bernama Cipta Sirapin, pejabat kepala bagian di kantor yang tadi akan saya datangi di kawasan Kuningan.
Sialan, kini betul-betul tak ada busway jurusan Thamrin City.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H