Diskresi berlebih terjadi ketika pejabat pemerintah diberikan kewenangan yang sangat luas tanpa batasan yang jelas. Dalam kasus e-KTP, Irman dan Sugiharto sebagai pejabat Kementerian Dalam Negeri, memiliki keleluasaan besar dalam membuat keputusan.Â
Mereka tidak hanya mengatur spesifikasi proyek, tetapi juga menentukan kontraktor yang akan menang. Kewenangan ini digunakan untuk mengatur pembagian keuntungan ilegal dengan konsorsium pemenang tender.
Misalnya, salah satu modus yang dilakukan adalah penggelembungan harga (mark-up) untuk perangkat teknologi dalam proyek e-KTP. Harga perangkat teknologi seperti server, software, dan alat pencetak data penduduk dinaikkan hingga dua kali lipat dari harga sebenarnya.Â
Perangkat yang seharusnya bisa didapatkan dengan harga Rp1 triliun, digelembungkan menjadi Rp2 triliun. Selisihnya kemudian dibagi-bagikan kepada pejabat yang terlibat, termasuk anggota DPR yang "menyetujui" proyek ini.
Diskresi juga terlihat dari kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan. Tidak ada laporan rinci atau keterlibatan publik dalam proses evaluasi proyek. Hal ini menciptakan celah besar untuk korupsi karena tidak ada mekanisme untuk memverifikasi keputusan yang diambil
3. Minim Akuntabilitas
Lemahnya sistem pengawasan dari lembaga internal seperti Inspektorat Jenderal maupun eksternal seperti BPK menjadi faktor kunci. Proyek yang bernilai besar seperti e-KTP seharusnya diawasi secara ketat, namun praktik korupsi berjalan tanpa hambatan hingga audit dilakukan.
Minimnya akuntabilitas terlihat dalam beberapa aspek:
- Pengawasan Internal yang Lemah: Inspektorat Jenderal di Kementerian Dalam Negeri seharusnya berfungsi sebagai pengawas utama untuk mencegah penyimpangan anggaran. Namun, mereka gagal mendeteksi adanya mark-up harga dan penunjukan langsung konsorsium. Lemahnya pengawasan internal ini memperlihatkan bahwa sistem akuntabilitas di internal pemerintahan masih jauh dari ideal.
- Tidak Efektifnya Peran DPR: Meskipun DPR terlibat dalam pengawasan anggaran, banyak anggotanya justru menjadi bagian dari skema korupsi. Mereka menerima suap dari proyek ini, sehingga fungsi pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
- Minimnya Keterlibatan Publik: Akuntabilitas juga berkaitan dengan keterbukaan kepada masyarakat. Dalam proyek e-KTP, informasi tentang proses tender dan pelaksanaan proyek tidak diumumkan secara terbuka. Hal ini membuat masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memantau atau memberikan kritik.
Minimnya akuntabilitas ini memperkuat rumus Klitgaard, yaitu bahwa korupsi tumbuh subur di lingkungan yang kekuasaan terpusat pada segelintir orang, dengan diskresi tinggi, dan pengawasan yang lemah.
Analisis Teori GONE (Jack Bologna)
Teori GONE memberikan perspektif yang berbeda dengan menekankan pada motivasi dan peluang individu untuk melakukan korupsi. Empat elemen utama, yaitu Greed (Keserakahan), Opportunity (Kesempatan), Need (Kebutuhan), dan Exposure (Peluang untuk Terbongkar), saling terkait dalam menjelaskan dinamika kasus e-KTP.Â