Introduction
Buku yang membahas hukum perkawinan di Indonesia sangat banyak namun, buku ini memuat kajian yang membahas perkembangan konseptual Hukum Perdata Islam Indonesia mulai dari segi Fiqh, Undang-Undang, dan juga Kompilasi Hukum Islam. Fokus kajian buku ini adalah untuk melihat adanya perkembangan dan pergeseran hukum islam. Penjelasan buku ini mengenai Hukum Perdata Islam di Indonesia lebih terperinci sesuai dengan rentang nya dari masa ke masa. Pemikiran yang tertulis dari buku ini juga mengambil dari berbagai perspektif dari Fiqh, Undang-Undang maupun Kompilasi Hukum Islam sehingga buku ini dapat menjawab isu isu yang terjadi dengan jelas. Pembahasa buku ini sangat luas mulai dari pernikahan, pembatalan pernikahan, pencatatan pernikahan, poligami, perceraian, permasalahan dalam pernikahan hingga harta dalam pernikahan juga di deskripsikan dengan terperinci di buku ini.
Pada pemerintahan orde baru muncul beberapa produk-produk mengenai hukum Islam:
1.Undang-Undang Perkawinan
Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disahkan sehingga hukum Islam memasuki fase baru yang disebut dengan fase taknin. Banyak sekali ketentuan fikih Islam tentang perkawinan yang ditransformasikan ke dalam undang-undang. Berkaitan dengan perkembangan hukum Islam dalam masa ini tidak ada yang signifikan dalam kaitannya dengan political will pemerintah. Perkembangan hukum Islam yang semakin ketara adalah secara kelembagaan dan produk-produk pemikiran pada era akomodatif.
2.Peradilan agama
Pada masa itu Menteri Agama Munawir zazali membawa RUU Pengadilan Agama ke sidang DPR, terjadi pro kontra yang berakhir setelah RUU-PA tersebut disahkan menjadi undang-undang nomor 7 tahun 1989.
Terjadi persoalan krusial yang dihadapi yaitu berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Hal ini terjadi disebabkan tidak adanya kitab materi hukum Islam yang sama. Berasal dari realitas tersebut muncul keinginan untuk menyusun kitab hukum Islam dalam bentuk kompilasi untuk kebutuhan adanya keseragaman referensi keputusan hukum di peradilan agama di Indonesia. Dengan adanya kompilasi hukum Islam itu Indonesia tidak akan menemukan lagi pluralisme keputusan pengadilan agama karena kesamaan kitab yang dijadikan rujukan para hakim di pengadilan agama.
Prinsip Perkawinan dalam Undang-Undang no 1 tahun 1974Â
Dianalisis lebih lanjut jadi definisi di atas secara eksplisit terdapat beberapa hal yang pokok
1.Perkawinan tidak lagi dilihat dari hubungan jasmani tetapi merupakan hubungan batin hal ini didefinisikan dengan kata bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.Tujuan dari perkawinan dinyatakan dengan kata bahagia di mana perkawinan dimaksudkan agar setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan dapat memperoleh kebahagiaan.
3.Perkawinan terjadi hanya sekali seumur hidup hal ini dilihatkan dengan penggunaan kata kekal. Pencantuman kata kekal menegaskan bahwa pintu perceraian telah ditutup dibuktikan dengan prinsip perkawinan yaitu mempersulit adanya perceraian.
Prinsip perkawinan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan yaitu :
1.Undang-undang perkawinan menampung di dalamnya segala unsur-unsur ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
2.Terpenuhinya aspirasi wanita yang menuntut adanya emansipasi di samping perkembangan sosial ekonomi pengetahuan teknologi yang telah membawa implikasi mobilitas sosial di segala pemikiran.
3.Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal Hal ini dapat dielaborasikan menjadi tiga hal pertama Suami istri saling membantu serta saling melengkapi kedua masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dengan saling membantu ketiga keluarga bahagia yang sejahtera secara spiritual dan material.
4.Perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Perkawinan juga harus memenuhi administratif pemerintahan dalam bentuk pencatatan.
5.Undang-undang perkawinan menganut asas monogami.
6.Perkawinan dilakukan oleh pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.
7.Kedudukan suami istri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga maupun pergaulan masyarakat.
Rukun dan Syarat Perkawinan
Di dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bab 2 pasal 6 ditemukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum setahun harus mendapat izin kedua orang.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orangtua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pembatalan dan pencegahan Perkawinan
 Di dalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-Jaziry ada menyatakan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, Adapun nikah batil ialah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah al-fasid dan batil adalah sama-sama tidak sah. Dalam terminologi undang-undang perkawinan nikah alfasid dan al-batil dapat digunakan untuk pembatalan dan bukan pada pencegahan. Bedanya pencegahan itu lebih tepat digunakan sebelum perkawinan berlangsung Adapun pembatalan mengesankan perkawinan telah berlangsung dan ditemukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan baik syarat maupun rukun.
 Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pencegahan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 13 yang bunyinya: Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaskud di dalam ayat di atas mengacu kepada dua hal; syarat administratif dan syarat materiil.5 Syarat administratif berhubungan dengan administrasi perkawinan sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian yang membahas tata cara perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan yang akan dibahas pada bagian lain.
 Putusnya Perkawinan dan Tata Cara Perceraian
 Perkawinan itu harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud. Namun sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di perjalanan. Perkawinan harus putus di tengah jalan. Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak.
Iddah dan Masalahnya
 'Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara bahasa, mengandung pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada wanita. Adapun secara istilah, "idah" mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.
Rujuk
 Rujuk secara bahasa bermakna kembali atau pulang. Dalam istilah fikih, rujuk berarti meneruskan atau mengekalkan kembali hubungan perkawinan antara pasangan suami istri yang sebelum itu dikhawatirkan dapat terputus karena dijatuhkannya talak raj'i oleh suami. Rujuk merupakan hak suami yang telah ditetapkan Allah Swt.
Harta dalam Perkawinan
 Perkawinan menimbulkan akibat hukum terhadap harta benda yang dihasilkan di atau selama perkawinan berlangsung. Pada saat yang sama, persoalan harta ini juga acap kali menjadi masalah yang serius ketika terjadai perceraian antara suami dan istri. Harta yang ada di dalam perkawinan itu dapat dibagi yaitu; 1). Harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan. 2). Harta yang diperoleh suami atau istri secara perorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan. 3). Harta yang diperoleh suami dan istri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta pencaharian. 4). Harta yang diperoleh suami-istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan.
Kesimpulan
Pengantar Hukum Perdata Islam Penjelasan mengenai konsep dasar hukum perdata Islam, sumber-sumber hukum, dan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan perdata dalam Islam.Aspek-aspek Penting Hukum Perdata Islam Diskusi tentang pernikahan dalam konteks hukum perdata Islam di Indonesia.Perspektif Hukum Islam dan Hukum fiqh Perbandingan antara hukum perdata Islam dengan hukum fiqh yang berlaku secara umum. Penerapan Hukum Perdata Islam di Indonesia Tinjauan terhadap implementasi hukum perdata Islam dalam sistem hukum Indonesia, termasuk pengadilan agama dan proses penyelesaian sengketa.Tantangan dan Perkembangan Terbaru Pembahasan tentang tantangan dan perkembangan terbaru dalam konteks hukum perdata Islam di Indonesia, termasuk isu-isu kontemporer dan perubahan legislasi. Buku ini juga membahas pemikiran-pemikiran ulama serta pendekatan-pendekatan modern dalam menginterpretasikan dan mengaplikasikan hukum perdata. Pembahasan buku ini mulai dari sejarah masuk nya islam, pernikahan, rukun dan syarat pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, pembatalan dan pencegahan pernikahan, talak cerai dan rujuk, masa iddah, asal usul anak, poligami, nikah beda agama, dan harta bersama. Semua bab diatas dibahas dengan tiga bentuk perspekstif yaitu, hukum islam, Undang-Undang no 1 tahun 1974, dan perspektif KHI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H