Ku baca berulang kalimat di layar monitor handphone-ku ini. Harta bersama.
"Ya Allah, tak cukupkah aku tak diberi nafkah selama ini?"
Aku terhenyak lagi ketika muncul pesan dari suamiku itu. Ternyata itu yang dia inginkan dariku.
Entah kenapa yang dia utamakan adalah harta bersama. Kenapa tidak pada pasal sebelumnya. Pasal kewajiban seorang suami kepada istri.Â
"Kamu juga tidak menjadi ibu yang baik untuk anakku.. Sementara dia masuk ke dalam tunjangan yang melekat pada gajimu..".
Ya, Allah. Harta bersama yang dibahas hanya untuk kepentingannya dan anaknya. Hatiku semakin tercabik.Â
Aku saja tak tahu wujud gajinya. Yang ku tahu gajinya habis untuk dia dan anaknya dari pernikahannya terdahulu.
Tentang anaknya, apakah seorang ibu tiri harus serta merta mengiyakan keinginan suami untuk anaknya. Memanjakan.Â
Aku juga ingin mengikuti program hamil. Itu saja aku tak dibantu oleh seorang yang katanya adalah suamiku. Aku mengalah demi anaknya. Tetapi ternyata dia menginginkan aku memberi lebih untuk anaknya.Â
Yang ku sesalkan, dia sama sekali tak mengajak berkomunikasi dengan ibu kandung anaknya. Padahal aku sudah berusaha menyadarkannya.Â
Kebutuhan anaknya adalah kasih sayang dari ibu dan bapaknya. Termasuk pendidikan dan biayanya. Tak serta merta semua harus dipenuhi ibu tirinya, kan?