Mohon tunggu...
Zahrotul Mutoharoh
Zahrotul Mutoharoh Mohon Tunggu... Guru - Semua orang adalah guruku

Guru pertamaku adalah ibu dan bapakku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanya Seorang Perempuan

4 Desember 2021   07:48 Diperbarui: 4 Desember 2021   07:58 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Berhati-hatilah untuk mengucapkan tiga hal ini, mas..".

Ucapku saat itu. Ya, tiga hal yang bisa membuat runyam sebuah hubungan. Menikah, cerai dan rujuk. Apalagi ketika diucapkan oleh seorang suami kepada istri. Bukan seorang laki-laki kepada calon istri ataupun kekasih hati yang belum halal baginya.

Tak sembarangan aku mengucapkan kata-kata itu. Aku tak mau ketiga hal itu keluar dari mulut seorang laki-laki yang telah memgucapkan ijab qabul. Berjanji kepada Allah melalui kedua orangtuaku. Bapakku tepatnya.

Pada awal pernikahan pastinya sulit menyatukan dua isi kepala. Rentan. Itu yang ku dengar dari orang-orang. Dan ternyata benar adanya.

***

Dan ketiga hal ini pun ternyata sering keluar dari mulutnya. Aku kira setelah dia gagal berumah tangga, dia akan belajar dari masa lalunya. Belajar agar tak gagal lagi.

"Kita sudah tak sejalan, dik.. Aku ingin lepas..".

Kalimat itu mudah diucapkannya. Hanya melalui pesan di nomor whatsapp. Tak ku sangka semudah itu. 

Aku terdiam. Lelah hati dan pikiranku. Ku biarkan hatiku merasakan sakitnya melalui tangisku. Tangis di doa-doaku. Tak ku balas pesan itu.

***

"Kamu tak memahami arti pernikahan berdasar UU Pernikahan, dik.. Seharusnya pengelolaan rumah tangga berdasarkan harta bersama..".

Ku baca berulang kalimat di layar monitor handphone-ku ini. Harta bersama.

"Ya Allah, tak cukupkah aku tak diberi nafkah selama ini?"

Aku terhenyak lagi ketika muncul pesan dari suamiku itu. Ternyata itu yang dia inginkan dariku.

Entah kenapa yang dia utamakan adalah harta bersama. Kenapa tidak pada pasal sebelumnya. Pasal kewajiban seorang suami kepada istri. 

"Kamu juga tidak menjadi ibu yang baik untuk anakku.. Sementara dia masuk ke dalam tunjangan yang melekat pada gajimu..".

Ya, Allah. Harta bersama yang dibahas hanya untuk kepentingannya dan anaknya. Hatiku semakin tercabik. 

Aku saja tak tahu wujud gajinya. Yang ku tahu gajinya habis untuk dia dan anaknya dari pernikahannya terdahulu.

Tentang anaknya, apakah seorang ibu tiri harus serta merta mengiyakan keinginan suami untuk anaknya. Memanjakan. 

Aku juga ingin mengikuti program hamil. Itu saja aku tak dibantu oleh seorang yang katanya adalah suamiku. Aku mengalah demi anaknya. Tetapi ternyata dia menginginkan aku memberi lebih untuk anaknya. 

Yang ku sesalkan, dia sama sekali tak mengajak berkomunikasi dengan ibu kandung anaknya. Padahal aku sudah berusaha menyadarkannya. 

Kebutuhan anaknya adalah kasih sayang dari ibu dan bapaknya. Termasuk pendidikan dan biayanya. Tak serta merta semua harus dipenuhi ibu tirinya, kan?

"Dia tidak pernah masuk dalam gaji saya..".

Hanya itu yang ku balas. Dan keinginan dia yang ingin menceraikanku juga ku balas hari itu juga. Ku persilakan untuk melakukannya.

Aku hanyalah seorang perempuan yang telah diijinkan bapak untuk dia nikahi. Dalam pernikahan, tanggungjawab bapak beralih kepada suami. Bukan malah terbalik. 

Dan aku hanyalah seorang perempuan yang tak ingin selalu disakiti. Kata cerai. Kata tak berniat cerai. Berkali diucapkan.

Perempuan bukanlah barang mainan. Apalagi yang sudah diikat dalam pernikahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun