Kalau ada yang bisa dipersalahkan dari pernikahanku denganmu adalah aku. Setidaknya itu menurutmu dan keluargamu. Tanpa melihat apa kewajibanmu kepadaku.
Aku mengenalmu lewat temanmu, yang kebetulan istrinya adalah temanku. Teman yang sebenarnya tidak begitu akrab, tapi aku mengenalnya.
Perjumpaanku denganmu adalah hal di luar dugaanku. Dan mungkin juga di luar dugaan orang-orang lain di sekitarku. Keluargaku dan teman-temanku.
Kamu yang seorang duda dan dengan satu anak. Dan aku yang masih single. Gadis. Perawan. Sudah mapan dengan pekerjaanku. Pasti semua tak menyangka aku menikah denganmu.
Hingga akhirnya kamu berani datang ke rumahku bersama keluarga besarmu. Melamarku.Â
Ku terima lamaran itu karena ku nilai kamu akan dapat membimbingku dan mengayomiku setelah menikah. Dan juga melaksanakan kewajibanmu sebagai seorang imam untukku. Tidak hanya untuk anakmu. Anak dari pernikahanmu yang gagal dahulu.
***
Hingga akhirnya pernikahan itu tiba. Aku dengan bahagianya menyambut hari pernikahan ini. Ku sambut dengan senyumku. Dan harapan besar untuk abadi.
Hingga hari ketiga kamu menjemput anakmu untuk ke rumah orangtuaku. Seperti kesepakatan awal denganmu. Karena orangtuaku sudah sepuh. Bahkan ibuku stroke. Jadi tugasku untuk menemani mereka. Dan anakmu ikut orangtuamu dan sekali-kali ke rumah orangtuaku, untuk tinggal bersama.
Segalanya mulai terbuka. Kekuranganmu dan kekuranganku. Semua seperti sulit ku rasakan, apalagi ternyata kamu menginginkan anakmu selalu tinggal bersama di rumah orangtuaku. Tidak seperti kesepakatan awal.
Bukan masalah sebenarnya untukku. Tetapi segala keriuhan dan kengeyelanmu ketika tinggal di rumah orangtuaku, yang membuatku kesal. Tetapi selalu ku sembuyikan darimu.
Lama-lama aku sering uring-uringan dengan sikapmu kepada anakmu. Kamu begitu memanjakannya. Apapun seperti ingin kamu penuhi. Padahal kamu dan aku hanya orang yang biasa-biasa saja. Untuk biaya makan saja masih kesulitan. Sementara gajiku juga untuk membantu ibu, bapak dan saudara-saudaraku.
Dan apalagi aku yang dibiasakan selalu rekasa atau prihatin terlebih dahulu, tentu tak setuju dengan sikapmu. Kamu selalu membiarkan anakmu sesuai keinginannya. Jarang belajar. Bahkan kamu seperti membela anakmu yang lebih sering memegang handphone daripada belajar.Â
Oh iya, kami tinggal di rumah orangtuaku karena kamu juga tidak punya rumah untuk tinggal bersama. Dan tidak mungkin menyewakan rumah untuk tinggal bersama. Karena sebenarnya menyediakan tempat tinggal itu adalah kewajibanmu, bukan kewajibanku.
"Aku hanya ingin sekali-kali pergi bersama kamu, mas.. Kalau tidak bisa ya sekali-kali berangkat kerja barengan, aku mbonceng kamu..", pintaku saat itu.
Tetapi lagi-lagi tanggapanmu di luar dugaanku. Karena menurutmu ada anak yang harus diajak berangkat dan pulangnya. Itu benar. Tapi tak seharusnya selalu seperti itu kan? Aku kecewa tentu saja.
***
Hingga akhirnya kamu selalu ingin dimengerti. Kamu dan anakmu tepatnya. Sementara aku hanya harus mengerti kalian. Bahagia hanya untuk kamu berdua saja.
"Aku ingin Neno besok bisa menjadi seperti kakeknya, dik..".
Harapanmu begitu besar kepada anakmu untuk seperti kakeknya yang seorang tentara. Dan selalu itu yang kamu bahas ketika duduk bersamaku. Stres aku memikirkan jalan pikiranmu. Mengapa yang kamu pikirkan sudah terlalu jauh untuk anakmu, sementara yang untukku seperti tak ada.
Keinginanku untuk mendapatkan keturunanpun seperti kau abaikan. Karena ku lihat kamu lebih fokus kepada anakmu. Aku tak ingin menyalahkan anakmu. Tetapi hanya menginginkan pengertianmu. Pernikahan ini bukan hanya sekedar masa depanmu dan anakmu. Tetapi juga masa depanku denganmu.
Hatiku sedih tak karuan. Seharusnya awal pernikahan ku rasakan bahagia. Seperti pernikahan orang lain. Selalu bersama kemanapun pergi.
Tetapi kamu selalu merasa ku bebani hanya dengan permintaanku itu. Bahkan kewajibanmu untuk menafkahiku tak pernah ku minta. Dan kamu juga tak pernah memberi. Karena kamu selalu meminta pengertianku bahwa kamu harus membiayai anakmu.
***
"Kita sudah tak sejalan, dik.. Biarkan saya maju ke Pengadilan Agama.. Dik Nia selama ini juga tak melaksanakan kewajiban sebagai seorang ibu untuk anak saya.. Juga kewajiban sebagai seorang istri untuk saya..".
Pesan whatsapp itu sangat menyentakku. Akhirnya penilaianmu tentang aku, kamu nilai buruk semua.
"Hai, apakah kamu ingat kewajibanmu sebagai seorang suami untukku?", jeritku dalam hati.
Dua kali ku menerima pesan yang artinya hampir sama. Cerai. Di pertengahan tahun pertama pernikahan kami. Dan di pertengahan tahun kedua. Bahkan kata-kata dan kalimat yang menjurus ingin sendiri saja. Tentu lebih banyak ku dengar. Sementara waktu itu aku selalu mengingatkanmu untuk tidak mudah mengucapkan itu.
Pada akhirnya kamu dan keluargamu seperti hanya menginginkan aku untuk membantumu dan anakmu meraih cita-citamu. Aku kau abaikan.Â
Bukankah pernikahan itu saling? Tidak hanya keinginan dari sebelah pihak?
Sungguh, aku tak mempermasalahkan anakmu hadir di hidupku. Segala hal ku coba untuk menyadarkanmu untuk melibatkan ibu kandung dari anakmu untuk tumbuh kembang dan pendidikan anakmu. Tak layak kamu dan keluargamu menjauhkan anakmu dari ibu kandungnya. Tugasku untuk menyadarkanmu.
Tetapi sekali lagi ternyata memang benar kata orang. Baik buruk ibu tiri akan tetap dinilai buruk oleh orang lain. Dan itu terjadi. Tak mengertikah kamu, aku tak ingin anakmu tak mengenal ibu kandungnya. Dan hanya selalu menginginkan aku untuk menggantikan ibunya.
"Silakan maju..".
Pesan itu ku balas beberapa minggu setelah ku terima. Jika penilaianmu hanya karena kebutuhanmu dan anakmu, aku angkat tangan. Menyerah setelah kedua kalinya kamu menginginkan untuk menceraikanku. Dan semua tingkahlakumu yang menunjukkan kepadaku ingin pergi dariku.
Meskipun kamu akhirnya mengatakan ingin kembali untuk merajut kembali impian bersama, tetapi rasanya aku tak ingin mempercayaimu. Bisa saja jika tetap bersama, nanti kamu akan mudah mengucapkan kata-kata itu lagi. Aku tak ingin mendengar lagi.
Jika ini yang terbaik, biarkan aku sendiri. Lanjutkan apa yang kamu ucapkan. Dan seperti yang kamu ucapkan. Ingin hidup sendiri lagi.
#untuk seorang wanita yang kuat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI