Sahabat sejati selalu menemani satu sama lain selama bertahun-tahun. Saat awal tak kenal lambat laun terasa seperti saudara, hubungan yang begitu erat. Suka dan duka dilalui bersama tanpa batas, hingga takdir menghentikannya secara tiba-tiba. Mau tak mau, siap tak siap kita harus menerima apa yang terjadi.
Satu tahun setelah kejadian yang ditimpa tiga sahabat ini selalu menjadi trauma hebat hingga terkena gangguan mental dari salah satu sahabat itu. Rasa takut nan gelisah terjadi setiap memori itu terputar ulang di otaknya. Tak kala dia juga merindukan dua sahabatnya yang telah berpulang sembari memandang foto mereka bertiga sejak sekolah menengah pertama sampai sekolah menengah atas.
***
Lorong panjang dan gelap menyelimuti pandangan seorang anak lelaki yang sedang berlari. Hanya beberapa lilin kecil menemani kegelapan. Tak jauh darinya ada sesosok yang membututi di belakang.
Byur byur byur…
Benturan kaki dengan genangan air menciptakan suara bising sepanjang lorong. Genangan air setinggi betis memperlambat kecepatannya saat berlari, kekuatan mulai berkurang. Perlahan ia menghentikan langkah kaki, napasnya terengah-engah sembari membalikkan badan. Sosok yang mengejarnya berada tepat di depan mata. Dengan kecepatan kilat sosok tersebut mencekeram leher anak lelaki itu lalu mengangkatnya hanya dengan satu tangan.
“SESIAPA YANG MELANGGAR HARUS MATI!” ucap sosok itu dengan suara serak. Bola mata hitam dan pupil mata berwarna putih disertai cairan kental hitam yang menetes deras menatap tajam. Tak banyak waktu dia mengeluarkan pisau kecil dari saku belakang. Karena genggaman leher yang kuat anak itu tidak mampu melawan, harapan untuk bertahan sudah tidak ada. Pisau kecil diposisi siap menancap bagian perut anak itu.
JLEB!
“GAAH!” teriakan dari anak lelaki yang terbangun dari mimpi buruknya tengah duduk di bangku kelas sebelas. Beberapa siswa manatap keheranan pada anak itu. Dia merasa jantung berdetak kencang, napas tak terkendali, keringat dingin mulai bercucuran, itu adalah mimpi terburuk dalam hidupnya.
“Ivan, kenapa kamu? Ngagetin aja” tanya seorang anak yang duduk sebangku dengannya. Tatapan peduli terlihat dari matanya walau tangan dia sedang memegang ponsel.
“Gapapa Arya, cuma mimpi buruk ” jawab Ivan masih dengan napas terengah-engah. Mendadak anak lelaki lain menepuk bahu Ivan yang datang tanpa diundang.
“Makanya, kalo tidur baca doa dulu dong!”
“HAH! Samudera kaget aku!” balas Ivan dengan kesal.
“Ha ha ha…, ya maaf lah. Lagian kamu tadi ada guru kok malah tidur? Masih jam 09.30 udah ngantuk aja” tanya Samudera dengan tertawa sambil berjalan menghampiri bangku depan meja Ivan.
“Tidurku kurang semalam, baru bisa tidur pas tengah malam” jawab Ivan sembari memakai kacamata.
“Eh! Tadi kamu bilang ada guru masuk kelas?” lanjut Ivan bertanya.
“Iya. Pak Ega ke kelas cuma ngasih surat penerimaan rapot besok lusa. Nih punyamu” jawab Arya sembari meyodorkan surat. Tatapannya terus menghadap ponsel seperti orang yang tidak mau diganggu saat dia asik sendiri. Waktu terus berjalan, rasanya hening tanpa canda tawa dari sesesorang. Bingung memilih topik, Ivan dan Samudera senyap tak mengeluarkan sepatah kata.
“Teman-teman, sejak kapan Lawang Sewu ada bunker? Bunker itu apa?” tanya Arya memulai topik sembari memperlihatkan postingan kepada dua sahabatnya.
“Udah ada dari lama. Bunker itu semacam ruang atau bangunan pertahanan, tempatnya biasa di bawah tanah. Dulu itu tempat pengaturan gedung kereta api pas jaman Belanda tapi, setelah Jepang datang malah dipake buat penjara pribumi, orang Belanda, juga orang tionghoa. Beberapa tahun lalu bunker-nya masih bisa dikunjungi wisatawan tapi, sekarang sudah dilarang. Mungkin pernah terjadi sesuatu di sana” jawab Ivan panjang lebar. Dia selalu semangat bila ada yang menanyakan sesuatu mengenai sejarah terutama sejarah kelam karena dia ahlinya.
“Pasti itu tempat angker! Aku pernah melihat di tv ada yang uji nyali di sana dan terekam penampakan. Kita kapan nih mau kesana?” balas Samudera dengan semangat, kalau sudah masuk cerita horor dia paling terdepan.
“Kau gila? Sudah kubilang ruangan itu dilarang dimasuki”
“Memangnya kamu tidak penasaran? Aku tahu, anak penyuka sejarah sepertimu pasti ingin ke tempat-tempat bersifat kelam”
“Woah, tebakanmu benar”
“Hmm, aku setuju dengan Samudera. Aku juga ingin membuktikan apakah ada sesuatu disana. Kita liburan ke sana saja besok, saat masuk ke ruang bawah tanah kita menyelinap saja. Lumayan kan kalo terekam sesuatu bisa dijadiin bahan konten” saran nakal Arya sambil berbisik.
“Tapi kalo….” kata Ivan dengan ragu.
“Kamu ni Ivan gak usah jadi penakut gitu lah. Kalo kamu gak mau ikut ya sudah aku dan Samudera aja yang pergi” ucap Arya mengejek dan kekeh ingin pergi.
“Ya udah deh, aku ikut” jawab Ivan agak terpaksa.
“Nah gitu dong!” balas Arya dan Samudera serempak.
***
Penerimaan rapot sudah dilakukan seminggu yang lalu. Mereka bahagia dengan nilai yang mereka peroleh dan tidak mempermasalahkan, walau nilainya tak jauh dari KKM sekolah. Bagi mereka nilai hanya sebuah angka, yang terpenting dilakukan dengan jujur dan berusaha semampunya.
“Weh bro! kapan nih kita yang jalan? ” tanya Arya memulai percakapan di group chat.
“Kalo besok gimana? Udah gabut banget di rumah, gak ada kerjaan” balas Samudera.
“Oke aku setuju”
“Iya. Kita sekalian jalan-jalan aja di Semarang” saran Ivan.
“Ide yang bagus. Besok berangkat jam 10.00 pagi, oke?”
“Oke, siap” persetujuan Ivan dan Samudera.
***
Arya, Ivan, dan Samudera memulai petualangan ke Semarang dengan penuh semangat. Perlu memakan waktu lama untuk sampai ke sana. Petualangan mereka dimulai saat sampai di Kota Lama Semarang, dilanjutan ke Taman Saloka. Kenangan mereka dilalui dengan canda tawa sehingga terasa menyenangkan, tak lupa mengabadikannya dengan kamera milik Arya. Karena mereka terlalu lama di Taman Saloka, tak disadari bahwa hari mulai gelap. Sesuai janji yang sudah dinanti-nanti petualangan ini diakhiri mengunjungi Lawang Sewu. Petulangan menantang akan segera dimulai.
“Akhirnya kita sampai di Lawang Sewu. Keinginanku terwujud juga” ucap Ivan dengan rasa lega.
“Sudah kuduga kau akan senang. Ayo beli tiket dulu” balas Samudera tiba-tiba.
Selama perjalanan Arya dan Samudera sibuk menyiapkan kamera dan alat penerang, sedangkan Ivan hanya mengandalkan senter dari ponselnya. Setelah membeli tiket mereka mulai mengelilingi Lawang Sewu yang luasnya tak terbayangkan dipikiran mereka. Mereka berjalan mengelilingi tanpa dipandu karena tak mau mengeluarkan uang sebesar Rp100.000 hanya untuk membayar pemandu wisata.
“Kira-kira dimana pintu ruang bawah tanahnya?” tanya Samudera pada kedua sahabatnya.
“Entahlah, tempat ini lebih luas dari yang kukira. Kita sudah berjalan terus 30 menit tapi gak ketemu-ketemu” jawab Arya yang tampaknya mau menyerah.
“Temen-temen, lihat itu” ucap Ivan berdiri mematung sembari menunjuk arah suatu sudut ruangan.
Arya dan Samudera menghentikan langkah lalu menoleh kearah yang ditunjuk Ivan. Mereka bertiga merasa terpanggil dengan sudut ruangan tersebut. Tidak disangka mereka menemukannya secara ajaib. Mereka hanya perlu menunggu waktu untuk bisa masuk ke dalamnya. Sepuluh menit berlalu, suasana terjadi sesuai yang mereka inginkan.
“Kondisi sekitar sudah aman? Sudah hampir 5 menit tak ada orang lalu lalang” tanya Arya
“Sebentar aku cek pintu luar dulu” jawab Samudera. Setelah memeriksa area pintu luar ruangan dia kembali ke tempat semula.
“Sudah aman” ucap Samudera berbisik dan mengacungkan ibu jari.
“Setelah ini kita jangan bicara sampai kita berjalan cukup jauh” saran Arya berbisik.
“Kenapa?” tanya Ivan bingung.
“Ya biar gak ketahuan lah. Gimana sih kamu?” jawab Samudera agak kesal.
Ivan hanya bisa tersenyum malu. Mereka mulai berjalan memasuki ruang bawah tanah dengan perlahan-lahan tanpa menciptakan suara, tangga yang licin membuat langkah mereka menjadi lambat. Kaki Arya mulai menyentuh lantai dan ternyata ada genangan air setinggi mata kaki di seluruh lantai ruangan. Saking jernihnya air genangan itu mereka sampai tidak mengetahuinya. Beberapa langkah berjalan sudah ada belokan pertama, alat penerang dan kamera mulai diaktifkan. Langkah demi langkah dilanjutkan sepelan mungkin agar tidak menciptakan suara air yang menggema walau sekarang sepatu mereka sudah basah kuyup. Perjalanan terus maju genangan air pun semakin naik, sudah setinggi betis mereka. Sepanjang lorong hanya beberapa lampu kecil yang menyala. Samudera memeriksa jam tangannya, menunjukan bahwa sudah lebih dari lima menit mereka berjalan tanpa bicara sepatah kata pun.
“Kau bilang disini ada penjara? Dimana?” tanya Samudera pada Ivan yang akhirnya mengeluarkan pertanyaan.
“Ada kok di sepanjang lorong ini, aku pernah melihat fotonya. Mungkin tak lama lagi”
Secara tiba-tiba, Samudera menemukan sebuah mulut pintu ke ruangan lain. Dia mengarahkan lampu sorotnya ke arah tersebut sembari berjalan lalu berhenti sejenak.
“Apakah ini penjara yang kau maksud?” tanya Samudera lagi. Arya ikut menghampiri.
“Iya! Aku baru ingat, ini namanya penjara jongkok. Penyiksaan penjara ini lebih sadis daripada penjara berdiri,” jelas Ivan.
“Tapi kok bentuknya kotak-kotak gini?” tanya Arya penasaran.
“Mereka yang ditahan harus dalam posisi jongkok lalu tubuh mereka direndam air setinggi leher mereka. Dibiarkan selama mungkin sampai waktunya tiba.”
“Weish, ngeri. Tidak salah kami menyebutmu anak sejarah” ucap Arya memuji.
Arya membalikkan badannya dan pandangannya tertuju pada benda yang terendam genangan. Dia penasaran karena tak bisa melihat dengan jelas, Arya mengeluarkan ponsel untuk meyalakan senter. Dia mengambil benda itu, ternyata sebuah pisau kecil antik yang sudah berkarat. Sebagai kenang-kenangan Arya menyimpan di saku belakang. Dua sahabatnya ternyata mengamati sejak tadi.
Mereka pun melanjutkan perjalanan dan menemukan banyak ruangan penjara jongkok, penjara berdiri, dan juga ada tempat khusus pemenggalan kepala. Perjalanan yang begitu jauh dan tampaknya sudah hampir sampai di ujung lorong. Sepertinya tidak ada sesuatu yang perlu ditakuti dari tempat ini.
Kricik kricik kricik…
Suara seperti rantai mendadak terdengar dari arah lorong depan. Karena bingung, mereka menghentikan langkah dan menunggu apa yang selanjutnya terjadi. Akan tetapi, suara itu tetap terdengar juga seperti mendekati mereka bertiga. Dari mulut pintu lorong, persis di depan mereka yang jaraknya hanya beberapa langkah, ada sesosok muncul. Ternyata suara rantai itu berasal darinya. Betapa kaget mereka karena hanya Arya, Ivan, dan Samudera yang masuk ke dalam lorong. Jantung mulai berdetak hebat. Sosok itu memakai baju wanita ala noni Belanda yang kusut, model rambutnya seperti konde, tetapi lebih acak-acakan. Masing-masing tangannya tergantung rantai berkarat. Matanya, yang secara deras mengeluarkan cairan kental berwarna hitam, menatap tajam pada mereka. Arya segera mengangkat kameranya, memulai dokumentasi sosok itu.
Cekrek!
“AARGH AAARGH!”
Sosok itu menjerit kesakitan. Sepertinya dia sensitif dengan flash kamera. Arya melakukannya sekali lagi. Sosok itu menjerit lebih keras. Karena sudah geram, sosok itu menyerang balik pada Arya. Dengan kecepatan kilat dia masuk ke tubuh Arya. Kamera di tangannya lepas dan tercebur dalam air.
“AKH AKH KELUAAAR!!” teriak Arya tak bisa mengontrol diri. Langkahnya maju mundur tidak jelas.
Ivan dan Samudera berpikir cepat harus berbuat apa. Tak pakai lama Samudera menangkap Arya lalu menahan badannya.
“CEPAT! FOTO DIA PAKE KAMERA!” perintah Samudera.
Ivan menuruti ucapan Samudera. Ternyata dia salah besar, perbuatannya malah memperburuk keadaan. Arya menjerit kesakitan, suaranya bercampuran dengan suara perempuan. Samudera melepaskan badan Arya lalu mendekati Ivan. Bola mata Arya berubah menjadi warna hitam, dia telah dirasuki.
“IVAN, LARII!” ucap Samudera sembari berlari mendahului Ivan.
Arya pun mengejar mereka yang terus berlari meski pandangan terhalang gelapnya lorong. Genangan air semakin memperlambat pelarian mereka. Setelah beberapa lama tenaga pun mulai terkuras. Ivan menghentikan langkah karena tak kuat lagi. Napasnya terengah-engah sembari membalikkan badan. Ternyata Arya sudah berada tepat di depan matanya. Dengan kecepatan tak terduga, Arya mencengkeram leher Ivan dengan satu tangan. Entah dapat kekuatan dari mana Arya mengangkatnya lalu menghentakkan punggung Ivan ke dinding dengan keras. Ivan merasa pernah mengalami kejadian ini, tetapi entah di mana.
“SESIAPA YANG MELANGGAR HARUS MATI!” teriak Arya hingga menggemakan satu lorong.
Ivan langsung teringat pada mimpi buruknya, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan benar saja, Arya mengeluarkan pisau antik yang ia temukan tadi, memposisikan mata pisau pada bagian perut Ivan yang siap menancap. Kejadian ini sangat persis dengan mimpi Ivan. Dia tak mau mati sekarang. Pisau itu hendak mendarat, dengan cepat Ivan menghentikan tujuan mata pisau itu. Mendadak rasa takut dan panik terlukis di wajahnya. Ivan salah perhitungan, pisau berkarat itu malah menancap di tangannya hingga menembus punggung tangan. Dia hanya bisa diam tak mampu berteriak.
“Arya sadarlah…, ini aku” ucap Ivan sambil merintih kesakitan.
Arya tak menggubris ucapan Ivan. Tangan Ivan ber gemetar dan meneteskan cairan berwarna merah. Rasa sakit yang tidak terbayangkan mulai terasa. Arya menarik kembali pisau kecilnya lalu bersiap melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Tepat waktu, Samudera menendang tubuh Arya hingga terdorong agak jauh. Ivan pun terjatuh hingga celananya basah kuyup.
“Ivan, bertahanlah!” ucap Samudera khawatir. Ivan menjawab dengan anggukan.
Arya tiba-tiba bangkit seraya berkata, “Beraninya kau. Kau akan mati di sini!”
“Ivan, beri aku kameranya!” ucap Samudera memerintah sambil mengulurkan tangannya.
“Kau lah yang akan mati!” balas Samudera yakin. Dia maju beberapa langkah dalam posisi kuda-kuda untuk memotret Arya dengan flash kamera.
Cekrek! cekrek!
“AKH AAARGH”
Samudera terus memotret tanpa henti walau Arya sudah berteriak kesakitan. Sekuat tenaga Arya menahan rasa sakit. Tak tahan dengan kekesalannya, Arya maju menghampiri Samudera. Dia tidak peduli dan terus memotret. Arya berlari mendorong Samudera hingga terjatuh sampai sekujur tubuhnya mendarat di genangan air. Arya di posisi siap melakukan sesuatu dengan pisau kecilnya. Pandangan Samudera menatap Arya tersenyum lebar yang tampak mengerikan. Arya mengangkat pisau kecilnya dan menggenggam erat-erat. Hantaman mata pisau mendarat di perut Samudera sekuat tenaga.
JLEB!
“GAAAGH!” teriakan Samudera penuh rasa sakit.
Mata pisau terus ditancapkan berulang-ulang. Samudera terus berteriak kesakitan hingga tak mampu melawan. Tidak disangka Arya tertawa puas dengan apa yang dilakukannya. Darah dan organ yang tercabik-cabik bercucuran dimana-mana sampai menodai badan Arya hingga pakaian Ivan. Genangan air merah muncul menghampiri posisi Ivan. Adegan berdarah terus berlanjut. Ivan terus mematung dengan mata terbelalak tak bisa berbuat apa-apa, dia benar-benar tak menyangka apa yang terjadi pada kedua sahabatnya. Arya mengangkat pisaunya untuk terakhir kali.
JREGS!
Mata pisau mendarat tepat pada leher Samudera, air mancur merah mengalir deras. Ivan syok berat dengan apa yang dilihatnya barusan. Keadaan Ivan masih mematung bersandar di dinding. Dia tak tahu apa yang seharusnya dilakukan, dia merasa ingin mengeluarkan isi perutnya. Ivan berusaha melemaskan otot-ototnya untuk kabur dari tempat itu. Dia akhirnya bangkit perlahan-lahan, saat ingin berjalan telinganya mendengar sesuatu.
“Ivan…Ivan.” Itu suara normal Arya.
“Tolong…” lanjut Arya dengan suara lemas dan napasnya terengah-engah.
Ivan membalikkan badan dan ternyata Arya sudah kembali ke dirinya semula dengan posisi berlutut. Tepat di belakang Arya muncul sosok wanita tadi.
“Kumohon maafkan kami. Kami tidak bermaksud mengganggumu. Kumohon lepaskan kami juga,” ucap Ivan memohon dengan sangat.
Sosok itu hanya diam tak membalas ucapan Ivan. Dia menunduk untuk lebih dekat dengan Arya. Kedua tangan kasarnya yang dirantai menyentuh kepala dan pipi sebelah kiri Arya. Kondisi menegang, Arya tidak bisa berbuat apa-apa.
KREK!
Suara leher yang diputar 180 derajat membelalakkan mata Ivan untuk kedua kalinya. Ivan merasa lemas tidak mampu berdiri, dirinya menangis tersedu-sedu setelah kehilangan dua sahabatnya.
“Kau boleh pergi” jawab sosok itu akhirnya menjawab permintaan Ivan.
“Kau akan kulepaskan setelah hitungan ketiga. Larilah sejauh mungin, aku bisa muncul dimana saja” tawaran sosok wanita itu dengan suara serak.
“Satu…”
Hitungan dimulai. Dengan cepat Ivan bangkit dan lari sejauh mungkin.
“Dua…”
Ivan menambah kecepatan berlari.
“Tiga… AKHA HAHAHA! KYA HAHAHA!”
Hitungan berakhir ditambah suara tertawa paling mengerikan. Ivan hampir sampai pintu keluar. Ternyata pintu terkunci rapat.
“SIAPAPUN TOLONG BUKA PINTUNYA!!” teriak Ivan sambil menggedor-gedor pintu.
“TOLONG!” pandangan Ivan mulai kabur dan wajahnya memucat, sudah beberapa banyak dia kehabisan darah.
“Ketemu…” bisik sosok itu kemudian mendorong Ivan dari anak tangga hingga jatuh ke genangan air.
Sosok wanita itu bersiap melakukan hal yang sama kepada Samudera. Belum sempat melakukannya cahaya terang dari pintu keluar mengusir sosok wanita itu.
***
Ivan terbangun di ranjang rumah sakit. Keadaannya diinfus dan salah satu tangan diperban. Ibunda Ivan berada tepat di samping ranjang, ia senang buah hatinya telah bangun dari tidur panjang. Ibunda Ivan memberitahu bahwa Ivan sudah lima hari tak sadarkan diri.
“Dimana Arya dan Samudera, Ibu?” tanya Ivan merindukan sahabatnya.
“Mereka sudah tenang sayang. Kamu gak usah khawatir,” jawab Ibunda menenangkan Ivan.
Ivan tiba-tiba teringat semua yang terjadi. Dia meneteskan air mata, tak menyangka akan kehilangan kedua sahabatnya secara mengenaskan. Beberapa hari setelahnya, Ivan dipersilahkan pulang dan disarankan untuk menghindari stres berlebih. Setelah tragedi itu Ivan dikucilkan beberapa temannya karena adanya fitnah Ivan membunuh Arya dan Samudera. Karena hal itu Ivan terkena gangguan pikiran dan mental hingga menjadi pemurung juga lebih memilih menyendiri. Ivan hanya perlu mengendalikan diri untuk memperbaiki dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H