Judul : HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni)
Penulis : Dr. H.A.Sukris Sarmadi, S.Ag.MH
Penerbit : Aswaja Pressindo
ISBN 10: 602-18665-4-1 Â Â Â Â ISBN 13: 978-602-18665-4-2
Ukuran Buku : 14.5 x 21 cm
Halaman : vi + 156 Halaman
Buku HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni) terbitan Aswaja Pressindo merupakan hasil karya yang ditulis oleh Dr. H.A.Sukris Sarmadi, S.Ag.MH bertujuan menguraikan tentang hukum waris Islam di Indonesia dilihat dari perbandingan kompilasi hukum Islam dan fiqh Sunny. Selain itu penulisan buku ini menjadi sumber bacaan bagi seseorang yang ingin mengetahui tentang kewarisan secara lebih spesifik.
Studi hukum Islam sebagai kajian normatif agama. Hal ini muncul dikarenakan studi hukum waris berkaitan dengan teks normatif berupa Alquran dan as-sunnah. Historistik dan praktik pembagian waris Islam di pengadilan agama. Hukum waris Islam muncul bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia.
Ruang lingkup kewarisan ada dalam pasal 171 kompilasi hukum Islam yang membahas tentang hukum kewarisan, pewaris, ahli waris, harta peninggalan, harta warisan, wasiat, hibah, anak angkat, dan Baitul mal. Tujuan dari adanya hukum waris yaitu agar keberadaan mengenai harta tersebut dapat dibagi sesuai dengan haknya masing-masing.
Dalam penetapan para ahli waris terdiri dari dua sebab memperoleh kewarisan yakni nasabiyah( perkawinan) dan sababiyah(kekerabatan). Sebelum melakukan pembagian warisan kewajiban ahli waris yaitu mengurus dan menyelesaikan sampai memakamkan jenazah, menyelesaikan utang-utang atau pengobatan, menyelesaikan wasiat pewaris kemudian membagikan harta warisan kepada ahli waris yang berhak.
Dalam hukum kewarisan terdapat 5 prinsip filosofis hukum kewarisan Islam yang disepakati para ahli hukum Islam yaitu :
1. Asas ijabari (mengikat atau memaksa ) yaitu peralihan harta seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut Ketetapan Allah.
2. Asas bilateral yaitu sistem pembagian waris bukan berdasarkan garis keturunan sepihak seperti garis bapak atau garis Ibu namun kedua belah pihak(ibu bapak).
3. Asas Individual Yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi pada setiap ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Jadi masing-masing orang memiliki bagian sesuai hak masing masing.
4. Asas keadilan berimbang yaitu jumlah nilai bagian yang diperoleh ahli waris seimbang dengan hak dan kewajibannya.
5. Asas peristiwa kematian yaitu  suatu peristiwa kematian yang dianggap sebagai sebab masa berlakunya hukum kewarisan jika meninggalkan sejumlah harta waris dan memiliki ahli waris.
Fiqih Islam sini membagi kelompok nasabiyah menjadi 4 yaitu :
a. Ashabu al-furud nasabiyah (10 golongan yang mendapat waris)
b. Ashabah nasabiyah (kelompok yang tidak memperoleh bagian tertentu tetapi mendapat bagian pada sisa  waris)
c. Kelompok nasabah yang memperoleh bagian tertentu sekaligus memperoleh bagian sisa.
d. Kelompok nasabiyah yang lebih jauh tidak termasuk bagian tertentu dan sisa.
Sedangkan dalam ketentuan fiqh sunny mengklasifikasikannya menjadi 3 kelompok yaitu :
a. Kelompok sebagai orang-orang yang memperoleh bagian waris ( fard ) tertentu.
b. Kelompok ashabah nasabiyah yakni yang memperoleh bagian tak tertentu.
c. Kelompok yang menerima bagian berdasarkan pengganti atau menggantikan kedudukan hak waris dari orang tuanya dengan penerima saham tidak boleh yang sederajat dengan yang digantikan.
Penghalang memperoleh warisan, yaitu gugurnya hak seorang ahli waris untuk memperoleh harta warisan dikarenakan adanya sebab-sebab khusus walaupun dalam statusnya ia merupakan ahli waris seperti anak terhadap orang tuanya maupun sebaliknya.
Praktik pembagian warisan para ahli waris
1. Anak laki-laki (ashabah), alam KHI ashabah berarti orang yang berhak menghabiskan sisa harta sedangkan dalam fiqih Islam Sunni salah satunya adalah anak laki-laki langsung pewaris. Dasarnya yaitu ada dalam QS. an-nisa ayat 11.
2. Anak perempuan (nasabiyah). Golongan ini mendapat bagian jika anak tunggal, mendapat bagian jika dua orang atau lebih ( semua saudaranya perempuan ), dan mendapatkan sisa baik sendiri atau ada anak laki-laki yang menjadi kannya untuk bersama-sama menghabiskan harta. Dalam madzab sunni istilah anak dalam ayat tersebut dipahami sebagai anak laki-laki bukan perempuan yang berarti anak perempuan tidak dapat menghijab nuqsan kepada ayah pewaris.
3. Ayah (ashabul furuddin nasabiyah), yaitu merupakan leluhur  pewaris langsung. Ayah mendapatkan bagian bila pewaris tidak ada anak dan mendapat jika ada anak. Dalam teori masa kini ayah mendapat bagian ushubah ketika tidak ada anak laki-laki dan jika ada anak perempuan saja ayah mendapat bagian ditambah ushubah.
4. Ibu (nasabiyah), mendapatkan bagian jika far'u waris laki-laki maupun perempuan berdasarkan Pasal 178 ayat 1 dan Q.S al-Nis 11. Mendapat  jika tidak ada far'u waris laki-laki / perempuan
5. Suami (duda) dan istri (janda). Termasuk ke dalam ahli waris sababiyah dan termasuk dari kelompok Ashab Al furud yang memiliki bagian tertentu.
Bagian suami yaitu mendapat bagian apabila pewaris tidak meninggalkan anak (laki-laki maupun perempuan), dan mendapatkan bagian apabila pewaris meninggalkan anak. Bagian istri yaitu mendapatkan bagian apabila tidak meninggalkan anak (laki-laki maupun perempuan), dan mendapat bagian jika pewaris meninggalkan anak. Dasarnya ada dalam KHI Â pasal 180 dan QS. an-nisa ayat 12.
6. Peran cucu pancar laki-laki dan perempuan dan ahli waris pengganti. Â Termasuk ke dalam ahli waris golongan assabiyah dan memiliki bagian tertentu jika cara perempuan sebagai asobah jika ia pancar laki-laki. Berdasarkan pasal 185 khi kedudukan mereka merupakan ahli waris pengganti sesuai dengan kedudukan orang tua masing-masing.
7. Para saudara-saudari. Terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan sekandung seayah atau seibu. Mereka termasuk dalam golongan ashabul Al furud yang memiliki bagian tertentu dan merupakan ahli waris nasabiyah menyamping.
- Saudara perempuan kandung atau saudara perempuan seayah mendapat bagian apabila mereka sendiri tanpa ada saudara laki-laki.
- Saudara perempuan kandung atau seayah memperoleh bagian 2/3 apabila dua orang atau lebih tanpa ada saudara laki-laki.
- Saudara perempuan kandung mendapatkan usuba ketika bersamanya saudara laki-laki kandung.
- Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapatkan bagian 1/6 dan apabila mereka dua orang atau lebih mereka mendapatkan bagian .
8. Kakek dan nenek. Dalam khi kakak nenek tidak dijelaskan secara rinci kecuali menyebutkannya sebagai orang yang memiliki peluang menjadi ahli waris, seperti yang dijelaskan dalam pasal 174 :
1 Kelompok-kelompok ahli waris yairu menurut hubungan darah dan hubungan perkawinan.
2 Apabila semua ahli waris ada maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah , ibu, janda dan duda.
Dalam sistem kewarisan mazhab sunni dijelaskan bahwa kakek dibagi menjadi dua yakni kakek shahih dan kakek ghoirul shahih. Di sini kakek sahih memperoleh apabila pewaris meninggalkan waris lelaki, kakek shahih memperoleh bagian ushubah jika pewaris mempunyai far'u perempuan, kakek shahih memperoleh bagian ushubah apabila pewaris tidak meninggalkan far'u waris laki-laki / perempuan, nenek shahihah mendapatkan bagian baik ketika ada far'u ataupun tidak ada, nenek-nenek solehah yang berkumpul satu pihak dari jurusan ayah dan satu pihak dari jurusan ibu seperti ibunya ayah dan ibunya ibu pewaris akan berbagi sama rata dari perolehan .
Wasiat dan Hibah
Wasiat merupakan pemberian suatu benda dari pewaris  yang diberikan kepada orang atau lembaga dan hal itu berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Menurut fiqih mazhab Sunni yang dijelaskan oleh syekh Zainuddin Abdul Aziz halo malaikat mendefinisikannya sebagai perbuatan pemberian hak kepada orang lain secara sukarela di waktu hidupnya yang dilaksanakan sesudah matinya.
Rukun dan syarat wasiat menurut mazhab fiqih Sunni yaitu adanya pewasiat, adanya orang yang menerima wasiat dengan syarat orang tersebut bukan ahli warisnya, adanya sesuatu yang diwasiatkan, adanya lafal perwasiatan atau bukti terjadinya perwasiatan.
Hibah dalam pasal 171 huruf g yaitu pemberian suatu benda secara sukarela tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Berdasarkan pasal tersebut hibah merupakan pemberian dan bukan pinjaman seperti orang yang mengizinkan untuk mempergunakan atau memanfaatkan suatu benda tertentu.
Rukun hibah dan syaratnya::
a. Adanya penghibah dengan syarat berumur 21 tahun, berakal, dan tidak ada unsur paksaan.
b. Adanya penerima hibah dengan syarat ia dapat memilikinya.
c. Adanya harta yang dihibahkan dengan syarat harta tersebut bernilai sehingga dapat memberikan kebaikan dan manfaat kepada orang lain, harta tersebut milik si penghibah, dan maksimal dari seluruh harta.
d. Adanya lafal yang mengatakan penghibahannya dengan disaksikan dua orang saksi.
Telah dijelaskan dalam buku memiliki isi yang sangat lengkap serta mudah untuk dipahami bagi orang awam tentang masalah kewarisan. Di dalamnya juga memiliki pengertian serta contoh serta secara lengkap dan terperinci. Penulis berkeinginan memaparkan secara jelas,lengkap, dan terperinci. Hal ini dapat dilihat dari daftar isi yang penulis cantumkan. . Selain itu perbandingan dari fiqih mazhab Sunni menambahkan wawasan dan memiliki perbandingan hukum-hukum. Terdapat beberapa istilah yang kurang jelas namun pada akhirnya juga terdapat penjelasan.
Para pembaca akan mendapatkan informasi informasi yang lengkap, akan tetapi pembaca dibuat agar berusaha untuk memahami isi serta istilah tentang kewarisan. Buku ini merupakan buku sangat layak dibaca dan dijadikan referensi oleh mahasiswa, dosen, pelajar, dll, agar dapat menjadi rujukan dalam menjawab soal soal mengenai waris.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI