"Baiklah, kalau itu maumu." Akhirnya dia memutuskan yang membuatku lega.
"Eh, tunggu!" Mas Walid setengah berteriak kala aku berbalik badan hendak meninggalkannya.
"Ada apa, Mas?"
Dia tak menjawab, tetapi langsung jongkok dan melepas sepatuku. Mas Walid mengganti sepatuku dengan sandal miliknya.
"Jangan pakai sepatu yang haknya copot sebelah." Selepas memakaikanku sandal yang tentunya besar di kakiku, dia berlalu begitu saja.
***
Malam ini aku pulang kerja diberi tumpangan oleh Pak Tohir. Aku paham dari mimik wajahnya, Pak Tohir begitu marah denganku. Dia tak bersuara sampai setengah kami perjalanan pulang.
"Kenapa kamu kerja seenaknya saja." Tiba-tiba suara berat Pak Tohir mengawali percakapan di mobil.
"Maafkan saya, Pak. Besok-besok saya janji enggak akan mengecewakan Bapak lagi." Aku menatapnya penuh sendu seraya mengacungkan kedua jari: jari telunjuk dan tengah.
Otot-otot Pak Tohir yang tadinya menegang sepertinya kini mulai mengendur. "Baiklah. Aku maafkan kamu lantaran kamu pacar Walid."
"Terima kasih, Pak. Ngomong-ngomong, Bapak tahu Mas Walid dari mana?"
"Aku itu langganan karpetnya. Sampai-sampai sering diberi diskon olehnya. Kamu beruntung dapat Walid, Yati. Jadi, jangan sia-siakan dia. Dia itu sangat patuh kepada orang tuanya. Apalagi saat abahnya meninggal. Dia sangat menyayangi uminya. Semua yang uminya mau pasti dikabulkannya. Hanya ...."