"Stop! Meskipun kamu janda beranak satu, tapi kamulah yang pertama berada dalam hatiku. Jadi, tolong jangan sebut itu lagi." Nadanya memelan pada kalimat terakhir. Wajahnya memelas. Responsku hanya mengangguk pelan.
***
Untung saja Mas Walid mengantarku tepat waktu. Hanya butuh beberapa menit untuk membersihkan diri, lalu bersiap untuk kerja dengan Pak Tohir. Kali ini klien Pak Tohir yang menggunakan jasaku untuk melayaninya di tempat karaoke. Maka dari itu aku harus siap. Jika ada keluhan darinya, pasti Pak Tohir memperingatkanku dengan tegas. Hal ini sudah diwanti-wanti oleh Pak Tohir.
"Kamu sudah siap malam ini, Yati?" Â tanya Pak Tohir dengan mimik sedikit menggoda.
"Sudah, Pak."
"Kamu manis sekali malam ini. Ayok, saya antar." Pak Tohir tahu aku tak punya kendaraan apa pun di sini. Makanya setiap aku hendak bekerja dia selalu menawarkan diri untuk naik ke mobilnya.
"Saya sendiri saja, Pak naik oplet."
"Oke, kalau begitu. Saya duluan. Nanti di sana temui aku dulu, ya."
Para pelanggan di karaoke memesan pelayan melalui Pak Tohir, makanya sebelum bekerja aku harus menjumpai Pak Tohir terlebih dahulu untuk memastikan klien mana yang memesan jasaku.
"Baik, Pak."
Aku menghela napas berat. Ya Allah, sampai kapan aku harus bekerja dengan Pak Tohir seperti ini. Setiap hendak bekerja di tempat karaoke aku selalu berdoa supaya dilindungi oleh Allah. Dilindungi dari tangan-tangan lelaki jahil yang gila nafsu belaka.
Tak lama oplet pun lewat. Beruntungnya di dalam belum ramai akan penumpang, jadi tempat duduk pun masih banyak yang kosong. Jarak antara indekos dengan tempat karaoke tak begitu jauh, sehingga tak perlu lama, aku segera turun. Tanganku baru mau membayar ke sopirnya, tiba-tiba ada yang memanggil dari dalam.
"Mbak! Mbak! Itu uangnya jatuh."