Setelah puas dengan argumennya, tampaknya amarah Mas Walid sedikit mereda. Namun, aku masih belum berani membuka suara lagi. Kondisi seperti ini tak mungkin aku rusak dengan pertanyaan-pertanyaan yang memantik amarahnya lagi.
"Kamu mau makan apa?" tanya Mas Walid membuka percakapan kami.
"Terserah Mas saja."
"Ya, sudah kita makan sate Madura saja. Aku tahu tempat yang enak." Senyum Mas Walid mulai timbul.
"Jangan, deh, Mas." Aku memang tak begitu suka sate. Kalau dipaksa malah bisa muntah.
"Kalau nasi goreng?" tawarnya lagi.
"Aku sudah bosen, Mas."
Tiba-tiba kecepatan mobil dipercepat begitu saja. Aku sampai kaget. Jantung rasanya mau copot. Aku menahan napas sebentar. Tanganku mencengkeram erat.
"Mas, jangan ngebut." Lama kelamaan aku jadi takut. Akan tetapi, Mas Walid tak menghiraukanku.