"Ke mana, Mas?"
"Ikut saja. Aku orang baik, kok. Tenang saja nanti aku antar kamu ke sini lagi dengan selamat." Senyumnya, MasyaAllah. Hatiku leleh kembali. Wajahnya kian memesona.
"Tapi ...."
"Sudah, enggak usah tapi-tapi. Kamu begitu saja sudah cukup cantik, kok. Ayok."
Tanpa menunggu jawaban dariku, Mas Walid dengan sigap membukakan pintu mobil untukku. Dia menunggu sampai aku masuk ke mobilnya. Tak ada alasan lagi untuk menolak. Entah ini dengan terpaksa atau senang hati. Rasanya campur-campur.
"Sebenarnya kita mau ke mana, Mas?"
Aku membuka percakapan di dalam mobil. Sekilas Mas Walid menoleh kepadaku. Namun, tak langsung dijawab pertanyaanku.
"Ke rumah ibuku." Jawabannya datar dan santai. Berbeda denganku. Aku ternganga. Ini apa-apaan. Kenapa hidupku penuh dengan kejutan-kejutan yang sukses membuat jantungku bekerja lebih kencang. Aku jadi ingat insiden di rumah sakit. Bagaimana kalau ibu Mas Walid tahu kalau wanita yang dicari di rumah sakit itu aku?
"Tenang saja. Ibu enggak tahu kalau kemarin yang di rumah sakit itu kamu, Yati. Ibu sudah lama menginginkan menantu. Selama ini baru kamulah satu-satunya yang bisa membuat hatiku bergetar," lanjutnya, seakan sudah tahu isi otakku.
Mendengar penjelasan Mas Walid, aku sedikit lega. Udara di dalam mobil aku raup sebanyak-banyaknya, lalu kuembuskan pelan.
***
"Maaf sebelumnya, kata Walid Yati sudah pernah menikah, ya?" tanya seorang wanita yang dipanggil Mas Walid dengan Umi Rohmah seusai beberapa menit kami berbincang di rumah beliau.