"Saya sudah kenyang menikmati indahnya ciptaan Tuhan di hadapanku ini." Sorot matanya tajam memandangku. Aku mencoba mengalihkan rasa canggungku dengan melihat ke kanan dan ke kiri. Mana tahu ada orang lain. Namun, ternyata kosong.
"Maksud, Mas Tresno?"
"Ah, ya sudah jangan pikirkan. Anggap saja kamu tak mendengar apa-apa tadi."
Setelah mendengar penjelasannya, aku sedikit lega. Semoga saja Mas Tresno tak menaruh harapan padaku. Memang Mas Tresno itu hitam manis. Akan tetapi, tak sedikit pun ada rasa untuknya di hatiku. Aku kembali menikmati nasi goreng yang tinggal separuh.
"Aku tahu kamu pasti lagi ada masalah. Apalagi saat si bos karpet itu datang ke sini. Aku perhatikan kamu makin murung. Kalau tidak keberatan cerita saja supaya beban lebih ringan. Tapi, kalau tidak berkenan, ya, tak masalah," lanjutnya lagi.
"Hidupku terlalu rumit, Mas. Susah mau bercerita dari mana. Lambat laun mungkin Mas Tresno akan tahu sendiri. Maaf, ya, Mas saya tak sanggup bercerita lagi." Mas Tresnk seakan maklum dengan kondisiku. Aku segera menghabiskan makanan di piring, lalu pamit pulang.
***
Baru saja mau masuk ke gerbang indekos, tiba-tiba dari depan ada mobil yang klakson. Siapa itu? Beberapa jenak aku baru ingat. Itu, kan, mobil Mas Walid. Aku sempat mengingat-ingat nomor mobilnya saat hujan kala itu. Benar dugaanku. Seorang berpakaian perlente keluar dari mobil hitam itu.
"Mas Walid, kenapa ke sini?"
"Aku tadi dari warung, katanya kamu tinggal di sini, ya, aku samperin. Kamu enggak suka? Ya, sudah aku balik."
"Eh, bukan begitu, Mas. Aku suka, kok." Mas Walid sukses membuatku tak enak hati.
"Nah, ini dia jawaban yang aku mau. Yok, ikut aku," ajaknya.