Mohon tunggu...
Zahra Wardah
Zahra Wardah Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga yang hobi menulis

Selain menulis dan ngeblog (coretanzahrawardahblogspot.com), Zahra Wardah juga menekuni di dunia Layouter, Youtuber: Cerita Keren. Silakan singgah. Semoga harimu menyenangkan. Aamiin.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cerbung Wanita Malam dari Desa (Bab 3)

17 Juni 2023   07:10 Diperbarui: 17 Juni 2023   07:16 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pixabay.com/fractals99

Bab 3: Berhasil Lolos

Benar. Aku pun mengeluarkan ponsel dari tas. Nama Mas Tresno kucari. Setelah ketemu, segera kutekan layar untuk memanggil. Saat sambungan telepon masih berbunyi 'tut', hujan tiba-tiba reda. Kemudian, kugagalkan menelepon Mas Tresno. Ponsel kumasukkan kembali dalam tas.


"Terima kasih, Kak." Aku segera berlalu setelah membayar belanjaan di keranjang.


Aku berlari kencang supaya tak bertemu hujan lebat kembali. Air sisa-sisa hujan pun membasahi rok celana yang kukenakan. Saat sampai di depan kamar indekos, hujan turun lagi. Aku menghela napas, lega.


"Alhamdulillah. Sampai kos dengan selamat."


Dengan napas masih memburu, aku bermonolog. Tanpa kusadari di depan kamar sudah berdiri Pak Tohir. Aku terkejut bukan main. Kayak hantu jailangkung saja. Datang tak diundang.


"Halo, Yati." Tangannya melambai, genit berikut dengan kedipan satu matanya.


"Ya Allah. Sejak kapan Bapak di sini? Jantungku serasa mau copot."


"Sudah sejak tadi. Aku sengaja menunggumu."


Pak Tohir mendekatiku. Tangannya hampir saja menyentuh daguku. Untungnya segera kutangkis. Meski berstatus seorang janda, aku juga punya harga diri. Tak mau sembarang orang menyentuhku.


"Ada perlu apa, Pak?" tanyaku ketus.


"Aku hanya ingin memastikan. Tejo sudah memberitahu kamu, to? Nanti malam dandan yang cantik, ya. Hadiah yang kuberikan sudah dicoba?"


"Belum. Nanti saya kembalikan saja hadiah dari Bapak. Terima kasih. Lebih baik saya tinggal di luar saja. Daripada di sini jadi budak nafsu semata."


"Dasar tidak tahu diri. Kamu tidak mau bertemu dengan anakmu?" Kali ini suara Pak Tohir meninggi. Tampak jelas di raut wajahnya bahwa dia amat marah. Pintu kamarku ditendangnya, lalu berlalu dengan meninggalkanku sendiri.


Mendengar kata 'anak' aku tak berdaya. Tubuhku tiba-tiba lemas. Aku luruh ke lantas setelah masuk ke kamar indekos. Apakah Pak Tohir tahu keberadaan Aisyah? Kenapa dia menyebut soal anak? Entahlah. Aku jadi pusing dan tiba-tiba sekeliling berubah menjadi gelap.


***
Suara dering ponsel di tas membangunkanku. Aku tersadar dari pingsan. Dengan mata masih berat, kuambil ponsel. Mataku terbelalak seketika saat membaca nama yang muncul di layar ponsel.


"Mas Tresno. Waduh, bagaimana ini," lirihku sambil menggaruk kepala yang tak gatal.


Dengan mengucap basmalah aku mengangkat panggilan itu.


"Ada apa, Mas?" tanyaku setelah mengucap salam terlebih dahulu.


"Loh, seharusnya saya yang tanya. Kemarin nomor ini menelepon saya. Ada apa? Oh, ya ini dengan Mbak siapa?"


"Maaf saya belum memperkenalkan diri. Saya yang beli nasi goreng kemarin malam. Panggil saja saya Yati. Dan sekali lagi maaf kemarin salah pencet nomor Mas Tresno."


Aku malu kalau terus terang. Lebih tepatnya gengsi dan jaga harga diri.


"Iya, saya ingat. Saya menyelipkan kertas yang berisi nomor saya. Berarti Mbak Yati menyimpan nomor saya di HP Mbak, ya. Terima kasih, Mbak." Dari ujung telepon terdengar suara tertawa di tahan.


Aku tak menjawab. Hanya senyum sedikit. Entah terdengar atau tidak oleh Mas Tresno. Beberapa detik tak ada yang bersuara di antara kami. Aku memutuskan untuk mengakhiri percakapan di telepon.


"Tunggu dulu, Mbak."


"Ada apa, Mas?" Sebenarnya aku agak sungkan jika harus berlama-lama bercakap dengan Mas Tresno. Namun, rasa penasaran mampu mengikis rasa itu. Mana tahu dapat voucer makan nasi goreng gratis, kan, lumayan. Eh, dasar pikiranku ini.


"Anu ...."


Lama tak ada lanjutan suara Mas Tresno.


"Kenapa, Mas?" Kali ini rasa penasaranku semakin tinggi.


"Enggak. Malam ini ada menu baru nasi goreng spesial, loh di warung saya. Mbak mau pesan? Nanti biar saya antar ke kos Mbk Yati. Kan, dekat."


Aku mendesah. Aku pikir ada semacam bonus gratis makan. Ternyata dia lagi promo menu barunya. Belum sampai aku menjawab pertanyaan Mas Tresno, tiba-tiba pintu kamarku ada yang gedor. Nah, kesempatan ini untuk mengakhiri percakapan dengan Mas Tresno.


"Oke. Boleh kapan-kapan aku telepon lagi, Mbak?" tanyanya setelah aku ingin mengakhiri percakapan.


"Hemmm ... boleh." Akhirnya aku pun menutup telepon sebelum Mas Tresno bicara yang lain lagi.


Suara gedoran pintu semakin kencang. Aku paham itu suara Mas Tejo. Kulirik jam di ponsel, ternyata sudah jam 8 malam. Ya, ampun bagaimana ini? Tubuhku rasanya kurang enak.


"Iya, sebentar." Dengan hati-hati aku membuka pintu kamar.


"Apa ini? Kamu belum siap? Jam berapa sekarang?" cerocos Mas Tejo. Ternyata dia menunggu di depan kamarku bersama Pak Tohir.


"Aku sakit, Mas. Rasanya meriang."


"Jangan bohong!" Mas Tejo hampir saja menamparku. Akan tetapi, Pak Tohir mencegahnya.


"Kamu beneran sakit, Yati?" Suara Pak Tohir seperti dibuat selembut mungkin. Aku jadi muak. Rasanya ingin muntah saja di sini.
Aku mengangguk pelan. Pak Tohir menghela napas panjang. Tampaknya ada amarah yang berusaha diredam.


"Ya, sudah kamu istirahat dulu malam ini. Untuk kamu Tejo, jangan seenaknya saja melukai dan memukul Yati. Selamat istirahat, Yati."


Pak Tohir memberi isyarat kepada Mas Tejo untuk segera meninggalkanku. Akhirnya kali ini aku bisa lolos dari mereka berdua. Entah besok-besok aku bisa lolos atau tidak. Ini semua demi bisa bertemu dengan Aisyah.


***
Pagi ini terasa cerah. Tubuhku pun sudah terasa segar. Setelah semalam berpikir keras, aku merasa perlu mencari kerja di sini. Uangku semakin menipis, padahal aku sudah berhemat semampuku. Kuputuskan pergi ke warung Mas Tresno. Mana tahu dia butuh karyawan atau setidaknya dia bisa membantuku untuk cari pekerjaan.


Jam masih menuju ke angka 8. Suasana indekos masih sepi sekali. Ini kesempatan untuk cepat keluar indekos. Tak ada orang yang mengetahui. Alhamdulillah akhirnya aku bisa melewati gerbang indekos tanda halangan. Rasanya seperti kabur dari penjara saja.
Sampai di depan warung Mas Tresno tampak sepi dan masih tutup. Mungkin nanti agak siang baru dibuka. Dengan mantap aku ketuk rumahnya yang berada tepat di samping warung. Tak perlu menunggu lama, Mas Tresno pun muncul dari dalam.


"Mbak Yati. Silakan masuk dulu."


"Iya. Terima kasih, Mas."


Aku berjalan mengekor Mas Tresno masuk ke ruang tamu rumahnya. Sepi. Ruang tamunya cukup luas. Tak ada yang istimewa di sana. Namun, ada satu yang menarik perhatianku. Foto pernikahan. Oh, berarti Mas Tresno sudah punya istri.


"Itu foto pernikahan adik saya. Sayangnya kedua pengantin itu sudah meninggal kecelakaan."


Tiba-tiba Mas Tresno bercerita sendiri, seakan tahu isi otakku yang sedang memperhatikan foto itu.


"Oh, begitu ya, Mas." Aku canggung, bingung mau berkata apa.


"Ngomong-ngomong ada perlu apa ke sini, Mbak? Saya mungkin sebentar lagi baru buka warung."


"Begini, Mas. Sejujurnya ...."


"Iya?" Tampang Mas Tresno penuh tanya, penasaran.


"Anu ... boleh saya ikut kerja di warung Mas Tresno? Atau kalau tidak Mas Tresno bisa mencarikan saya kerjaan?"


***

Terima kasih, Teman-Teman sudah menikmati karya sederhana saya. Kalian juga bisa langsung ke youtube: Cerita Keren untuk cerita-cerita saya lainnya. Semoga harim menyenangkan.

Karya: Zahra Wardah
Ilustrasi: pixabay.com/fractals99
Source: coretanzahrawardah.blogspot.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun