"Ada perlu apa, Pak?" tanyaku ketus.
"Aku hanya ingin memastikan. Tejo sudah memberitahu kamu, to? Nanti malam dandan yang cantik, ya. Hadiah yang kuberikan sudah dicoba?"
"Belum. Nanti saya kembalikan saja hadiah dari Bapak. Terima kasih. Lebih baik saya tinggal di luar saja. Daripada di sini jadi budak nafsu semata."
"Dasar tidak tahu diri. Kamu tidak mau bertemu dengan anakmu?" Kali ini suara Pak Tohir meninggi. Tampak jelas di raut wajahnya bahwa dia amat marah. Pintu kamarku ditendangnya, lalu berlalu dengan meninggalkanku sendiri.
Mendengar kata 'anak' aku tak berdaya. Tubuhku tiba-tiba lemas. Aku luruh ke lantas setelah masuk ke kamar indekos. Apakah Pak Tohir tahu keberadaan Aisyah? Kenapa dia menyebut soal anak? Entahlah. Aku jadi pusing dan tiba-tiba sekeliling berubah menjadi gelap.
***
Suara dering ponsel di tas membangunkanku. Aku tersadar dari pingsan. Dengan mata masih berat, kuambil ponsel. Mataku terbelalak seketika saat membaca nama yang muncul di layar ponsel.
"Mas Tresno. Waduh, bagaimana ini," lirihku sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
Dengan mengucap basmalah aku mengangkat panggilan itu.
"Ada apa, Mas?" tanyaku setelah mengucap salam terlebih dahulu.
"Loh, seharusnya saya yang tanya. Kemarin nomor ini menelepon saya. Ada apa? Oh, ya ini dengan Mbak siapa?"
"Maaf saya belum memperkenalkan diri. Saya yang beli nasi goreng kemarin malam. Panggil saja saya Yati. Dan sekali lagi maaf kemarin salah pencet nomor Mas Tresno."