Mohon tunggu...
Zaenal Arifin
Zaenal Arifin Mohon Tunggu... Guru - Kawula Alit

Guru matematika SMP di Banyuwangi, Jawa Timur. Sedang masa belajar menulis. Menulis apa saja. Apa saja ditulis. Siap menerima kritikan. Email: zaenal.math@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nasib Gus

7 Agustus 2020   20:38 Diperbarui: 7 Agustus 2020   20:49 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber gambar: fiqih purnama.wordpress.com

Ini cerita tentang seorang Gus. Asli Gus putra kiai. Bukan Agus, Bagus, atau I Gusti dari Bali.

Beliau sudah beranjak dewasa. Tetapi tidak bisa serta merta meninggalkan hobinya sejak kecil, mancing ikan di kali.

Setelah boyong dari pesantren, berangsur-angsur jadwal pengajian dipasrahkan pada beliau. Ingin menolak, merasa belum pantas, tapi abah-nya bersikeras. Akhirnya, sami'na wa atha'na.

Berat hati dilakukan amanah abah beliau. Ada beban cukup besar harus disandang, sebagai calon kiai, menjaga muru'ah atau kehormatan dan harga diri.

Salah satu yang super berat. Tak melakukan hal yang dianggap tidak perlu oleh abah, mancing ikan.

Lainnya insya Allah bisa. Pacaran bisa dihindari, minuman keras dapat ditolak. Bersarung dan bersongkok, gampang.

Mancing??? Berat.

Sepertinya tak bisa tidak.

Ini hobi saya. Toh sekadar mancing. Bisakah tidak melakukan. Padahal beliau sangat suka.

Syahdan, segala strategi dilakukan. Yang penting bisa mancing. Bagaimana caranya agar abah, umi, dan para santri tidak mengetahui. Termasuk masyarakat sekitar pesantren.

"Mau ditaruh dimana wajahku, jika mereka tahu." Gumam beliau dalam hati.

"Gus, kok mancing? Gak pantas." Pertanyaan atau anggapan itulah yang menghantui beliau.

Bakda ngaji. Ya, setelah ngaji lah waktu yang bisa dipakai. Malam hari, setelah pukul 21.00, baru bisa keluar pesantren.

Pancing ditaruh di rumah orang yang tak mengenalnya. Keluar pesantren tetap bersarung dan bersongkok. Ganti pakaian dekat rumah tempat peralatan pancing dititipkan.

Pakaian biasa dengan topi setengah menutupi wajah. Menyusuri sungai mencari spot yang optimal.

"Sepanjang sungai, kok banyak yang mancing. Nanti mereka mengenalku. Malu. Ditaruh dimana harga diriku?" Otak beliau penuh pikiran tersebut.

"Nich, ketemu!" Pikirnya girang, suatu saat.

Tempat cocok untuk melemparkan kail. Beliau pun duduk dan mengeluarkan segala peralatan.

"Dapat!" Teriak beliau suatu ketika.

"Yak, dapat!" Teriak Gus untuk kedua kali. Seakan tak bisa menahan rasa. Maklum sudah ngempet mancing lama. Lama dan lama banget.

Malam semakin larut. Entah jam berapa. Pun sudah berapa kali beliau teriak kegirangan.

Gus tak membawa HP. Menghilangkan jejak. Khawatir diketahui abah dan umi. Hening, hening sekali.

Hanya nafas beliau yang terdengar jelas.

"Kroosak!!!"

Suara keras terdengar dekat beliau. Seperti ada benda besar jatuh dari ketinggian.

Bulu kuduk beliau berdiri, jantungnya berdegup sangat kencang. Tangan gemetaran, keringat dingin mulai bercucuran.

"Guus, manciing?!" Suara besar, berat masuk gendang telinga. Bulu-bulu telinga seketika berdiri.

"Iii..ya." Jawab beliau ketakutan.

Celananya terasa hangat. Ada air tak bisa ditahan. Memaksa keluar tanpa kendali.

Beliau terkenal berani dengan makhluk kayangan. Gendruwo, kuntilanak, wewe gombel, demit, apapun namanya tak ada di kamus hidupnya.

Tapi tidak malam ini.

Malam ini begitu berbeda. Ketakutan merasuki lahir batinnya.

Tubuhnya kaku, ia paksakan menoleh ke sumber suara.

Bayangan putih, tinggi, besar, terlihat samar. Bau harumnya semerbak menusuk hidung.

"Mancing opo Le?" Suara tanya dari arah bayangan.

Nadanya sudah berbeda. Ada tawa tertahan. Gus tak segera menjawab. Sepertinya beliau mengenal suara ini.

"Seperti suara abah." Pikirnya.

"Waduh! Bagaimana ini?" Kebingungan.

Beliau tak bisa berkutik. Tertangkap basah. Oleh abah-nya sendiri.

"Abah! Abah!" Panggil beliau memastikan.

Ada rasa takut memuncak di ubun-ubun. Membayangkan takjir yang akan dialami. Malu bertubi-tubi, kala dilakukan di depan santri.

"Ajur, ajur, mumur." Batinnya ambyar.

"Ayo cepat pulang!" Perintah abah, begitu berwibawa.

Secepat kilat, peralatan mancing dikemasi. Meskipun hatinya berat. Penasaran ukuran ikan yang makan umpan terakhir. Tapi apa mau dikata. Sudah kepergok abah.

Sesampai di pesantren, mandi basah sebasah-basahnya. Sekalian mencuci pakaian yang kotor. Tak lupa ia niatkan mandi taubat. Atas segala salah dan khilaf yang telah dikerjakan.

Abah sudah menunggu di ruang makan keluarga. Di meja, dua gelas kopi hangat siap minum. Singkong goreng sore tadi masih tersisa.

Gus, kimpoh di bawah kaki abah. Ada penyesalan, ingin mohon maaf sebesar-sebesarnya. Walau tak terucap.

Kali ini, abah memperlihatkan senyum khasnya. Tak ada guratan marah sedikitpun.

"Sini Le, duduk dekat abah." Kata abah pada anak sulungnya.

"Pernahkah abah melarang Kamu mancing?" Pertanyaan abah pendek.

Anak yang ditanya hanya geleng kepala.

Seingat Gus belum pernah abah melarang mancing. Sejak kecil. Hanya wanti-wanti, untuk hati-hati. Tidak lupa waktu.

"Abah, tidak melarang Kamu mancing. Sama sekali. Meskipun Kamu sudah dewasa." Kali ini penekanan kalimatnya begitu berbeda.

"Gini lho. Setiap sesuatu ada ukurannya. Kamu faham apa yang abah maksud. Kamu sudah di pesantren lama, hingga lulus. Tentu bisa berpikir, kapan waktu mancing yang tepat. Tidak perlu terlalu malam."

"Inggih Bah." Jawab Gus singkat.

"Diminum kopinya." Abah menyilahkan Gus minum.

"Kamu boleh mancing saat libur ngaji. Tidak perlu larut malam. Tidak baik. Mengajak santri, satu atau dua juga boleh." Abah meneruskan nasehatnya.

"Inggih Bah." Insya Allah, kalau begitu.

"Tidak perlu sembunyi-sembunyi. Kamu sudah dewasa, tentu tahu ukurannya." Kata abah menegaskan.

Malam larut itu ditutup dengan pertanyaan ringan abah. Tentang hasil mancing putranya.

Gurauan abah, mengomentari putra sulungnya yang ketakutan. Hingga terkencing-kencing menambah hangat suasana. Gerrrrrr....

Suasana yang lama tidak dirasakan. Rasa takzim, mendekati takut menjadi hijab mereka berdua. Malam itu sirna. Kedekatan ayah dan anak terlihat.

Dari balik pintu kamar, umi memperhatikan dengan senyum bahagia. Tak ingin merusak suasana, umi pun mengurungkan niat untuk bergabung. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun