Secepat kilat, peralatan mancing dikemasi. Meskipun hatinya berat. Penasaran ukuran ikan yang makan umpan terakhir. Tapi apa mau dikata. Sudah kepergok abah.
Sesampai di pesantren, mandi basah sebasah-basahnya. Sekalian mencuci pakaian yang kotor. Tak lupa ia niatkan mandi taubat. Atas segala salah dan khilaf yang telah dikerjakan.
Abah sudah menunggu di ruang makan keluarga. Di meja, dua gelas kopi hangat siap minum. Singkong goreng sore tadi masih tersisa.
Gus, kimpoh di bawah kaki abah. Ada penyesalan, ingin mohon maaf sebesar-sebesarnya. Walau tak terucap.
Kali ini, abah memperlihatkan senyum khasnya. Tak ada guratan marah sedikitpun.
"Sini Le, duduk dekat abah." Kata abah pada anak sulungnya.
"Pernahkah abah melarang Kamu mancing?" Pertanyaan abah pendek.
Anak yang ditanya hanya geleng kepala.
Seingat Gus belum pernah abah melarang mancing. Sejak kecil. Hanya wanti-wanti, untuk hati-hati. Tidak lupa waktu.
"Abah, tidak melarang Kamu mancing. Sama sekali. Meskipun Kamu sudah dewasa." Kali ini penekanan kalimatnya begitu berbeda.
"Gini lho. Setiap sesuatu ada ukurannya. Kamu faham apa yang abah maksud. Kamu sudah di pesantren lama, hingga lulus. Tentu bisa berpikir, kapan waktu mancing yang tepat. Tidak perlu terlalu malam."