Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Anies-Muhaimin, Ganjar-Mahfud, Prabowo-Gibran dan Desain Politik

4 November 2023   09:21 Diperbarui: 4 November 2023   09:28 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tiga Pasang Kandidat Pada Pilpres 2024. Sumber Foto Kompas.com

Kurang lebih tiga bulan lagi pemilu 2024 dilaksanakan. Rakyat yang punya hak suara akan memberikan vote. Harapannya, dapat melahirkan pemimpin dan pejabat amanah. Agar nasib bangsa selama lima tahun kedepan menjadi lebih baik.

Untuk pertama kalinya, pemilu kali ini berlangsung guna menentukan dua posisi sekaligus. Yaitu pileg buat anggota legislatif. Dan pilpres sebagai ajang mencari pengganti pasangan Jokowi-Makruf.

Kini sudah ada tiga kandidat capres cawapres yang mendaftar ke KPU. Dan nantinya bakal bertarung merebut suara para pemilih pada pilpres 2024. Saya urutkan berdasar momentum waktu terbentuknya pasangan.

Masing-masing adalah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, terkenal dengan istilah Amin. Ganjar Pranowo-Mahfud MD, saya sebut saja Gama. Terakhir pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, saya singkat PSG.

Menarik untuk diulas tentang model terwujudnya ketiga pasang tersebut. Mengapa, karena saya melihat ada peristiwa yang tidak biasa, jika dibanding proses terbentuknya pasangan capres-cawapres pada 2014 dan 2019 lalu.

Pada pilpres 2024 kali ini, terdapat pasangan yang lahir melalui fenomena tidak linier atau keluar dari pakem. Bahkan bisa dikatakan jauh panggang dari api. Alias mustahil bisa terjadi.

IDEALISME DAN KEPENTINGAN

Tentu kita sepakat, bahwa pilpres bukanlah sebuah ajang main-main. Disamping berhubungan dengan nasib ratusan juta rakyat Indonesia, biaya dan konsekwensi yang ditimbulkan sungguh luar biasa dahsyat.

Saya kutip dari berbagai sumber, untuk biaya pilpres 2024 KPU perlu dana hingga 70-an triliun lebih. Lalu secara konsekwensi, akan terjadi persaingan ketat antar anak bangsa. Yang kalau tidak dikelola dengan baik bisa membawa perpecahan.

Melihat itu, para pihak yang terlibat dalam pilpres terutama pasangan kandidat dan pendukung, harusnya membawa idealisme positif. Yang salah satunya adalah melahirkan ketenangan dan menjaga perasaan rakyat.

Namun, ada pihak yang malah mengedepankan kepentingan. Akibatnya, proses menuju pilpres yang diharapkan berjalan konstitusionable, justru menjadi kocar-kacir, untuk tidak mengatakan diacak-acak.

Tak dapat dipungkiri, para kandidat yang jika kelak terpilih bisa menjadi seorang pemimpin, memang memiliki nilai-nilai pribadi. Yang kemudian membentuk landasan menuju cita-cita. Baik bagi diri sendiri maupun buat anggota keluarga.

Namun demikian, bagi seorang pemimpin yang menjunjung tinggi etika serta moral sosial, dan itu seharusnya yang terjadi, tentu akan mengalirkan nilai-nilai pribadinya buat kemaslahatan bangsa dan negara.

Maka meskipun ada nilai-nilai pribadi, tapi kalau dijadikan landasan menggerakkan kepentingan, saya yakin muaranya tetap terarah pada kebaikan. Bukan keburukan, apalagi hingga kegelisahan dan kerusakan. 

Silahkan punya kepentingan. Tapi harus buat rakyat. Bukan kelompok tertentu. Apalagi cuma demi keluarga sendiri. Ini tentu saja sangat menyedihkan. Anda tahu, itulah yang terjadi pada proses kandidasi pasangan pada pilpres kali ini.

PERTIMBANGAN MENENTUKAN KANDIDAT

Tapi biarlah itu berjalan. Karena sudah menjadi keputusan yang harus kita terima. Sikap terbaik kita sebagai pemilik suara saat ini adalah mengambil langkah-langkah pencegahan. Agar kedepan, kerusakan tidak semakin parah terjadi.

Caranya, pikirkan betul-betul saat masuk ke bilik suara. Siapa kira-kira di antara ketiga kandidat yang tidak membawa potensi bisa merusak kepentingan rakyat. Jangan sembarangan kasih vote.

Flash back kebelakang sejenak, kita ketahui bahwa terbentuknya pasangan kandidat yang kemudian mendaftar ke KPU beberapa waktu lalu itu, memiliki tata urutan momentum yang sama. Namun ada pula yang berbeda.

Dulu, yang pertama kali di deklarasikan sebagai capres adalah Anies Baswedan oleh Partai Nasdem. Lalu kedua di susul Prabowo Subianto dari Gerindra. Dan yang ketiga Ganjar Pranowo jagoan PDIP.

Ketika deklarasi berpasangan dengan figur cawapres, Amin merupakan kandidat yang pertama kali diumumkan ke publik. Untuk Prabowo dan Ganjar posisinya terbalik dibanding saat keduanya diputuskan jadi capres. Gama deklarasi pada urutan kedua. Lalu PSG ketiga atau terakhir.

Proses tata urutan waktu deklarasi berpasangan yang tidak linier dibanding saat pengumuman capres tersebut, saya nilai disebabkan adanya tarik menarik yang begitu kuat di lingkungan partai pengusung masing-masing.

Anda tahu, tarik menarik yang saya maksud muncul karena pertarungan antara idealisme dan kepentingan. Ya benar. Ada pihak yang rupanya tak mau mengalah. Hasilnya, terdapat pasangan yang mencerminkan idealisme.

Dan sebaliknya bisa ditebak, ada pula yang cuma mengedepankan kepentingan. Pasangan siapakah itu..? Tak tahulah saya. Meskipun sebenarnya bisa saja saya jawab. Tapi lebih baik saya simpan dalam hati.

Hanya saja, proses terjadinya penentuan capres oleh partai pengusung, lalu di ikuti pemilihan cawapres yang akan saya gambarkan berikut ini, bisa menjadi pertimbangan anda sekalian. Termasuk nanti ketika hendak mencoblos.

Pertama pasangan Amin. Menurut saya, ini pasangan yang sungguh sangat mengejutkan. Bahkan hampir membuat pengurus, tokoh dan konstituen masing-masing partai pengusung shock dan tak percaya.

Lha bagaimana tidak. Dulu, Nasdem yang merupakan partai pemerintah dan kawan sangat dekat Jokowi dan PDIP, secara tiba-tiba memilih Anies Baswedan sebagai capres. Padahal, Anies merupakan “musuh bebuyutan” Jokowi dan PDIP.

Bergabungnya PKB ke Nasdem, yang kemudian mendorong Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjadi cawapres Anies, tak kalah mengejutkannya dibanding saat Nasdem mendeklarasikan Anies. Terutama dikalangan Nahdliyin. Mengapa, karena Anies kadung teridentifikasi berkawan dengan “musuh” NU.

Kedua, pasangan PSG. Ini pasangan juga mirip dengan kondisi kelahiran Amin. Memang benar substansi masalahnya berbeda. Tapi tak urung juga membuat terkejut dan shock lawan politik PSG.

Dari awal, Prabowo dan Jokowi di satu sisi, dan PDIP pada sisi lain adalah kawan yang sangat dekat. Tapi kini, dalam ajang pilpres 2024, Prabowo-Jokowi justru berkolaborasi menjadi lawan politik PDIP.

Saya yakin, kondisi tersebut membuat para petinggi PDIP, terutama Megawati sebagai “pemilik” tunggal, menjadi gerah. Bahkan mungkin marah besar. Meskipun tentu saja tidak akan ditunjukkan ke publik.

Lha bagaimana tidak. Sejak “kecil” di openi oleh PDIP jadi Wali Kota Solo, lalu dinaikkan karirnya menjabat Gubernur DKI, terus dibela-belain sebagai presiden dua periode, tiba-tiba merestuai anaknya menjadi cawapres Prabowo lawan elektoral Ganjar Pranowo. Apa bukan khianat namanya..?

Terakhir atau yang ketiga pasangan Gama. Kalau yang ini, saya pandang merupakan kandidat yang prosesnya landai. Artinya memang linier secara karir politik dan sebelumnya telah menjadi prediksi banyak orang akan terwujud.

Lepas dari polemik internal sebelumnya tentang naiknya Ganjar Pranowo jadi capres, Ganjar memang murni lahir dari PDIP. Makanya sangat wajar, kalau kemudian didapuk jadi capres oleh Ibu Megawati.

Soal terpilihnya Pak Mahfud sebagai cawapres juga bukan sesuatu yang mengejutkan. Dari awal sudah banyak tokoh, baik di internal maupun eksternal PDIP, yang usul agar Bu Mega memilih Pak Mahfud untuk mendampingi Ganjar.

Elektabilitas putra asli Madura “murid” Gus Dur itu juga bukan kaleng-kaleng. Hasil survei beberapa lembaga kredibel menunjukkan keterpilihan Pak Mahfud ada di papan atas. Jadi tak keliru poros koalisi PDIP mendukung Pak Mahfud.

Itulah sekelumit gambaran proses terjadinya pasangan kandidat hingga kemudian mendaftar ke KPU. Lepas dari soal menang atau kalah, rupanya faktor yang dijadikan penentu mencari pasangan tidak melulu karena hasil survei.

Latar belakang sebagai tokoh yang punya jabatan politik, macam Muhaimin Iskandar cawapres Anies, dan adanya beking kuat seperti Gibran pasangan Prabowo, juga sangat diperhitungkan. Anda tahu sendiri kan, hasil survei keduanya sebelum jadi cawapres, berada di papan bawah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun