Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengesahkan permohonan nikah beda agama antara RA dan EDS. Melalui penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya juga diminta mencatat pernikahan tersebut agar dapat diterbitkan akta perkawinan.Â
Humas PN Surabaya Suparno membenarkan pengesahan nikah beda agama antara RA dan EDS. Sebelumnya, keinginan mereka mendapat legalitas sebagai suami istri ditolak oleh Dinas Dukcapil Kota Surabaya.
Beberapa pertimbangan hakim saat mengeluarkan penetapan beda agama antara lain perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan.Â
Sementara itu, pembentukan suatu rumah tangga melalui perkawinan adalah merupakan hak asasi para pemohon sebagai warga negara serta hak asasi para pemohon untuk tetap mempertahankan agamanya masing-masing. (disarikan dari Kompas.com, 21/06/2022).
Lepas dari soal agama, legalitas sebuah pernikahan sangat penting. Sebagai tanda resmi, bahwa rumah tangga seorang pria-wanita sudah tercatat dalam adminduk (administrasi kependudukan). Punya catatan demikian tentu merupakan kelebihan tersendiri.Â
Secara administrasi, memiliki kepastian dan jaminan hukum. Fungsinya, agar urusan suami istri beserta anak keturunan kelak, bisa berjalan lancar tanpa hambatan.
Sebagaimana diketahui, hampir segala macam kegiatan warga negara, pasti berhubungan dengan legalitas adminduk. Anda mau buka rekening Bank, siapkan photo copy KK dan KTP.Â
Hendak berangkat haji atau umroh bersama istri, disamping ada KK-KTP, anda juga wajib melampirkan bukti buku nikah. Anak hendak masuk sekolah, pasti akan ditanya photo copy akte kelahiran. Itu semua bisa dipenuhi, jika pernikahan anda sudah punya legalitas. Tanpa itu, misal anda nikah siri apalagi kumpul kebo, dijamin keinginan anda terhambat.
Mengacu pada pentingnya adminduk, keputusan PN Surabaya mengesahkan nikah beda agama adalah tindakan bijak. Sebagai institusi negara, PN wajib memberi kepastian dan jaminan hukum terhadap warga negara Indonesia. Tanpa melihat latar belakang suku, ras dan agama. Apa jadinya jika pernikahan RA dan EDS tidak disahkan. Kedepan, pasti pasangan suami istri tersebut akan mengalami banyak problem.
Dalam sejarah islam, nikah beda agama bukan hal baru. Sudah terjadi sejak jaman Nabi Muhammad SAW dulu. Adalah putri Nabi SAW. Sayyidah Zainab ra yang menikah dengan seorang pemuda quraisy bernama Abul Ash bin ar-Rabi'.Â
Disamping merupakan keponakan Sayyidah Khadijah, menantu Nabi ini terkenal saudagar kaya, pribadi berakhlak, amanah dan pintar berdagang.Â
Karena kelebihan itu, Sayyidah Khadijah usul pada suaminya, Rasulullah SAW, agar menikahkan keponakannya itu dengan putri pertama mereka Sayyidah Zainab. Rasul SAW. setuju.
Memang benar, pernikahan Sayyidah Zainab dengan Abul Ash bin ar-Rabi' terjadi sebelum ada larangan. Diketahui, setelah masuk tahun ke-6 hijrah, tepatnya pasca perdamaian Hudaibiyah, Rosul SAW menerima wahyu dari Allah SWT. Isinya, tentang batasan kaum muslim laki dan perempuan menikah beda agama. Wahyu itu termaktub dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10.
Walhasil, pada akhirnya Abul Ash bin ar-Rabi' masuk islam. Hidup kekal sebagai suami istri bersama Sayyidah Zainab. Namun sebelum itu, kisah nikah beda agama putri Rasul SAW. terpotret penuh keharuan, dramatik sekaligus sarat nilai-nilai kebijaksaan.Â
Hal ini tergambar dari seluruh proses perjalanan Rosul SAW. Baik ketika masih berdakwah di Mekkah. Lalu hijrah dan tinggal menetap di Madinah. Hingga pasca menang perang lawan suku qurasyi. Yang dikenal dengan peristiwa Fathu Mekkah.
Setelah menikah, hidup pasangan suami istri putri dan menantu Rosul SAW tersebut penuh kebahagiaan. Masing-masing saling mencintai satu sama lain. Abul Ash bin ar-Rabi' tidak mau lepas dari Zainab. Demikian pula sebaliknya.Â
Mengikuti latar belakang suaminya, Sayyidah Zainab masuk golongan bangsawan. Namun tetap dermawan, bersahaja dan belas kasih kepada siapapun. Karena beberapa kelebihan tersebut, keluarga ini menjadi terpandang.
Kebahagiaan mereka tetap berjalan hingga Nabi SAW menyampaikan tentang datangnya islam. Bahkan terus berlangsung meskipun pada beberapa waktu kemudian Nabi hijrah ke Madinah. Sebagai kelanjutan dakwah karena keberadaan Nabi di Mekkah terancam. Bangsa qurasyi sebagai penduduk mayoritas dan sekaligus penguasa, tidak sudi Muhammad membawa ajaran baru yang berbeda dibanding keyakinan nenek moyang mereka.
Meski begitu, tidak sedikit penduduk Mekkah yang iman kepada ajaran Nabi SAW. Berikrar mengucap dua kalimat syahadat. Tak terkecuali Sayyidah Zainab. Putri Nabi ini juga masuk islam. Namun tidak dengan suaminya. Abul Ash bin ar-Rabi' kukuh beriman kepada agama nenek moyang suku qurasyi. Dengan kata lain, menantu Nabi ini adalah seorang non muslim.
Di titik ini Sayyidah Zainab telah menjadi seorang muslimah. Sedang suaminya, ketika itu tergolong kelompok kafir. Biarpun lain keyakinan, pasangan ini masih tinggal serumah sebagai suami istri "beda agama".Â
Seperti keluarga pada umumnya yang terikat oleh perkawinan, kehidupan mereka berjalan normal. Mereka tetap bahagia. Tidak terganggu sama sekali oleh keyakinan masing-masing. Hal ini ditambah oleh sikap Rasul SAW yang sangat bijaksana. Beliau sama tidak mengusik kondisi "beda agama" rumah tangga putrinya.
Beda dengan sikap kafir qurasyi. Setelah banyak warga Mekkah ikut ajaran Rasul SAW, orang qurasyi mulai melakukan intimidasi dan ancaman. Berusaha memutus hubungan pernikahan orang-orang yang percaya ajaran Nabi. Terlebih yang terikat perkawinan dengan putri-putri Rosul.Â
Menantu beliau yang bernama Utbah bin Abu Lahab, dibujuk agar menceraikan istrinya Ruqayyah binti Rasul SAW. Utbah dijanjikan wanita lain. Ironisnya, bujukan itu sukses. Utbah akhirnya mencerai Ruqayyah. Lalu menikah lagi dengan anak  Sa'id bin Al-Ash.
Abul Ash bin ar-Rabi' suami Sayyidah Zainab juga dibujuk. Tapi tidak berhasil. Â Meski non muslim, suami idaman ini setia membela cintanya. Tetap kukuh untuk terus membina keluarga bersama Sayyidah Zainab.Â
Saat ditanya oleh orang-orang qurasyi, mengapa tidak mau cerai seperti dilakukan oleh Utbah bin Abu Lahab, menantu Nabi yang bersahaja ini berkata "aku tak tergiur perempuan Quraisy satupun."
Pada perkembangan berikutnya, sering terjadi perang antara umat islam dengan kafir qurasyi. Basis markas kaum muslimin di Madinah. Sementara kafir qurasyi di Mekkah.Â
Pada tahun ke-2 hijriyah, terjadi pertempuran badar. Karena teguh pada agama nenek moyang, suami Sayyidah Zainab ada dipihak kafir qurasyi. Ikut serta menyerang madinah. Yang tak lain dipimpin oleh mertuanya sendiri, Rasul SAW. Ayah dari istrinya.
Sial tak bisa dibendung. Kafir qurasyi kalah. Banyak pasukan qurasyi menjadi tawanan pasukan muslim dan dibawa ke Madinah. Termasuk Abul Ash bin ar-Rabi', menantu Nabi. Agar bisa bebas, para tawanan itu harus ditebus.Â
Sebagai istri setia, Sayyidah Zainab datang ke Madinah. Ingin juga menebus suaminya. Salah satu barang berharga yang dijadikan jaminan oleh putri Nabi ini adalah sebuah kalung. Yang merupakan hadiah pernikahan pemberian sang ibu. Sayyidah Khadijah.
Melihat kalung tebusan itu, hati Rasul SAW tersentuh. Beliau lalu ingat pada istri tercinta. Yang telah banyak berkorban untuk kepentingan dakwah saat Nabi SAW masih berjuang di Mekkah.Â
Sebagai penguasa Madinah, beliau minta pada sahabat agar membebaskan Abul Ash bin ar-Rabi' tanpa tebusan. Dan mengembalikan kalung itu kepada Zainab. Putrinya yang masih tinggal di Makkah.
Sebelum balik ke Mekkah, kepada menantunya itu Nabi minta agar Abul Ash bin ar-Rabi' membolehkan Zainab hijrah ke Madinah. Suami Zainab itu menepati janji.Â
Sampai di Makkah, dia persilakan istrinya untuk menyusul Sang Ayah. Hijrah ke Madinah. Lewat perjuangan yang cukup alot, dibantu oleh suaminya, Sayyidah Zainab akhirnya sukses hijrah ke Madinah.
Meski sudah berjauhan, perjalanan cinta kedua anak manusia beda agama itu masih berlanjut. Pasca hidup tanpa Zainab, kegiatan Abul Ash bin ar-Rabi' tetap seperti biasa. Yakni berdagang. Menjajakan barang ke berbagai daerah hingga jauh keluar Mekkah. Barang yang dibawa adalah milik sendiri.Â
Juga banyak yang merupakan titipan kawan bisnis. Karena termasuk pebisnis yang jujur dan dipercaya, banyak sekali saudagar Mekkah yang mempercayakan dagangannya kepada Abul Ash bin ar-Rabi'.
Suatu ketika, menjelang terjadinya Fathu Mekkah tahun ke-8 hijrah, Abul Ash bin ar-Rabi' melakukan kegiatan bisnis ke negeri Syam. Seperti biasa, bisnisnya sukses besar. Mendapat untung banyak.Â
Sialnya, dalam perjalanan pulang kembali ke Mekkah, dia tertangkap patroli pasukan muslim Madinah. Harta hasil dagangan disita. Beruntung, dia berhasil lari menyelamatkan diri. Tapi tidak langsung pulang ke Mekkah. Dia berusaha untuk bisa merebut kembali harta yang dirampas. Karena disitu ada bagian orang lain. Bukan hanya milik sendiri. Abul Ash bin ar-Rabi' merasa harus bertanggung jawab terhadap barang titipan itu. Apapun resikonya.
Akhirnya dia menyusun strategi. Tunggu waktu yang tepat untuk mengambil kembali harta hasil berdagang. Setelah malam tiba, Abul Ash bin ar-Rabi' menyusup masuk kota Madinah. Lalu diam-diam menemui mantan istrinya, Sayyidah Zainab.Â
Disamping minta perlindungan, Abul Ash bin ar-Rabi' juga mohon agar Zainab bisa bantu mengambil kembali harta yang dirampas pasukan Madinah. Karena ada sebagian darinya merupakan milik teman bisnis.Â
Sayyidah Zainab siap bantu. Hartanya berhasil dibawa pulang kembali ke Makkah. Oleh Abul Ash bin ar-Rabi', keuntungan harta hasil dagangan itu lalu dibagi bersama sesuai kesepakatan.
Setelah menyelesaikan amanahnya, tanpa diduga Abul Ash bin ar-Rabi' justru masuk islam. Dengan berani dan terang-terangan, dia membaca dua kalimah syahadat di depan kaum Qurisyi.Â
Abul Ash bin ar-Rabi' lalu berkata, "Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku untuk masuk Islam di sisi Muhammad (kemarin saat di Madinah), kecuali karena aku khawatir kalian akan menyangka bahwa maksudku masuk Islam hanyalah karena ingin memakan seluruh harta kalian (yang aku bawa). Setelah Allah takdirkan seluruh harta itu sampai pada kalian dan aku terlepas dari tanggung jawab menjaganya, maka aku masuk Islam sekarang".
Singkat ceritera, pada tahun ke-8 hijriyah itu, Abul Ash bin ar-Rabi' dinikahkan kembali oleh Nabi SAW. dengan putrinya Sayyidah Zainab. Nabi SAW menganggap, pernikahan sebelumnya tidak sah. Karena setelah itu, tepatnya pada tahun ke-6 hijriyah turun wahyu tentang larangan menikah antara umat islam dengan non muslim. Sebagaimana termaktub dalam surat Al Mumtahanah ayat 10 diatas tadi.
Kisah perjalanan nikah beda agama putri Nabi sarat inspirasi. Bisa dijadikan pedoman memotret fenomena serupa yang terjadi sekarang ini. Pedoman bisa dicermati dari perbedaan sikap antara kaum qurasyi dan Nabi SAW.Â
Saat pertama kali Nabi menyampaikan kebenaran islam, reaksi kaum qurasyi frontal dan ekstrim. Langsung berupaya memutus ikatan pernikahan keluarga mereka dengan pengikut dan putri-putri Nabi.
Sebaliknya, sikap Nabi sendiri sangat bijaksana. Meskipun menantunya masih menganut agama nenek moyang, Nabi tidak melakukan pemaksaan seperti dilakukan kaum qurasyi.Â
Beliau membiarkan putrinya Sayyidah Zainab tetap dijadikan istri oleh Abul Ash bin ar-Rabi'. Kondisi seperti ini berlangsung cukup lama. Hingga Zainab di ijinkah hijrah oleh suaminya pasca Abul Ash bin ar-Rabi' bebas dari tahanan pasukan Madinah.
Namun demikian, bukan berarti Nabi SAW menyepelekan ketentuan agama. Setelah turun wahyu Al Mumtahanah ayat 10, Nabi melakukan akad ulang terhadap Abul Ash bin ar-Rabi'. Agar ikatan pernikahan dengan putri beliau berlangsung sesuai syariat. Tidak melanggar ajaran islam. Dan rumah tangga yang dibangun tidak bermasalah secara agama. Itu yang saya sebut tadi sejarah perjalanan nikah beda agama putri Rasul SAW. penuh keharuan, dramatik sekaligus sarat nilai-nilai kebijaksaan.
Melihat keberanian PN Surabaya memberi legalitas terhadap pernikahan RA dan EDS, sebaiknya gunakan cermin kisah Sayyidah Zainab dan Abul Ash bin ar-Rabi'. Jangan terburu-buru memberi vonis negatif. Apalagi menyampaikan komentar menyalahkan. Seakan-akan keputusan PN Surabaya itu adalah "bencana" bagi agama tertentu. Dan dianggap ada semacam upaya mengaburkan ajaran agama.
Saya tidak yakin sampai sejauh itu. Mengapa, karena keputusan PN Surabaya tidak an-sich berdiri sendiri. Ada kaitan dengan kewajiban pemerintah dalam hal melayani seluruh rakyat Indonesia. Yakni untuk memberi kepastian dan jaminan hukum. Sebab tanpa hal ini, perjalanan hidup rakyat pasti mengalami masalah. Ujung-ujungnya, nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak bisa dilaksanakan.
Coba pikir, andai pernikahan beda agama antara RA dan EDS tidak memperoleh legalitas sebagai suami istri sah. Bagaimana mungkin mereka dapat meneruskan hidup sebagai suami istri. Kedepan, pasti mengalami banyak kesulitan. Minimal, ada hambatan serius ketika hendak mengakses layanan publik yang difasilitasi negara. Demikian pula, kelak anak-anak yang dilahirkan juga bakal susah. Masa depan mereka suram.
Tanpa legalitas pernikahan, keturunan RA dan EDS tidak akan memperoleh pengakuan. Jika harus masuk sebagai anggota di Kartu Keluarga, nama ayahnya tidak tercantum.Â
Pastinya, ini berdampak pada putusnya ikatan darah antara anak dengan bapak. Kalau nanti ada warisan, jelas nama anaknya tidak bisa dimasukkan sebagai ahli waris.Â
Mungkin ini juga menjadi salah satu faktor keberanian PN Surabaya memutus legalitas perkawinan beda agama RA dan EDS. Daripada membiarkan mereka terlibat masalah, maka pilihan tengahnya adalah mengesahkan permohonan RS dan EDS.
Dalam syariat islam, nikah beda agama dilarang. Saya termasuk yang setuju dengan pendapat ini. Tapi menyikapi pilihan saudara seiman yang mengambil jalan itu, tidak sepatutnya kita lakukan dengan cara vonis berlebihan. Hingga mencaci dan memberi lebel bersalah misalnya.Â
Nikah beda agama adalah pilihan. Itu merupakan hak setiap manusia. Mau ikut ketentuan atau tidak, silahkan saja. Sabda Nabi, "tidak ada paksaan dalam beragama". Cukup kita menyampaikan bahwa itu tidak benar, ya sudah. Selanjutnya, terserah yang bersangkutan.
Ini seumpama kita berseru dakwah agar umat islam rajin solat. Sebagai muslim kita harus tegas menyampaikan bahwa solat adalah wajib. Sebab itu merupakan syariat.Â
Sikap tegas seperti ini sebagaimana gambaran ketika Nabi menikahkan ulang Abul Ash bin ar-Rabi'. Karena setelah turun surat Al Al Mumtahanah ayat 10, akad sebelumnya dianggap tidak sah oleh Nabi.
Tapi juga harus diingat, bahwa kita dilarang melakukan pemaksaan. Apalagi hingga menimbulkan kerugian. Ini sama halnya dengan sikap Nabi yang sangat bijaksana. Membiarkan putrinya tetap menjadi istri Abul Ash bin ar-Rabi'. Meskipun keduanya "beda agama".Â
Padahal, waktu itu beliau sudah menyerukan kepada para sahabat dan kaum qurasyi tentang kewajiban beriman kepada Allah SWT dan mengakui beliau sebagai Nabi terakhir. Kalau mau, Nabi SAW sebenarnya bisa melakukan paksaan, intimidasi dan ancaman seperti dilakukan kaum qurasyi. Namun itu tidak beliau lakukan.
Sikap memaksa tergolong sebagai pelanggaran ajaran agama. Sama melanggarnya juga dengan seorang muslim yang tidak melakukan solat.Â
Jadi, menyikapi masalah beda agama, kita serahkan pada pribadi masing-masing. Karena setelah kita beritahukan tentang ketentuan syariat, tugas kita sudah selesai. Soal mau ikut atau tidak, itu bukan lagi urusan kita. Apa kalau tidak nurut nasihat kita lalu mau ditembak..? Ya tidak mungkin. Maka sikap yang bijaksana adalah biarkan saja. Toh sudah menjadi urusan pribadi yang bersangkutan dengan Allah SWT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H