"Aku belum membuat liputan. Masih ditugaskan sebagai fotografer.." jawabku taktis.
"Hehe.. lagi mau motret apa nich?"
Pertanyaan yang lebih sulit dijawab.
"Mmm.. panorama alam di Puncak.. dari sudut yang lain.." jawabku spontan.
"Puncak?? Ahai.. aku boleh ikut, dong?"
"Apa apaan sih.. aku sedang bertugas, sayangg.."
Kusudahi saja pembicaraan itu dengan tindakan yang amat dibencinya. Menutup sambungan. Tapi aku tahu betul wataknya. Ia keras dan tidak kenal menyerah. Yang jelas, ia cerdas.. dan.. cantik. Karena itu ia sering kupanggil Cercan, artinya.. cerdas dan cantik.
**
Pacarku adalah anak seorang pemimpin sebuah media nasional. Sebenarnya ia sering memaksaku bergabung dengan perusahaan ayahnya. Berkali-kali ia memintaku membuang idealismeku yang segunung itu. Katanya,"Kerja ya kerja. Nasib ya nasib. Kamu tidak KKN meski ayahku menerimamu. Aku tahu kapasitasmu luar dalam.."
Tapi aku tak menggubrisnya. Aku juga mempunyai ego yang tak bisa ditekuk. Meski oleh pacarku sendiri. Anehnya, justru itu yang membuat Cercan semakin tak mau kehilangan diriku. Kalau sudah begitu, kepalaku membesar. Akulah lelaki sejati. Haha..
**