Yang sangat menarik pula bahwa yang berdoa di tempat ini tak hanya umat Islam melainkan lintas agama. Siapapun dan agama apapun dapat berdoa di tempat ini sesuai dengan kepercayaan masing-masing.Â
Menurut Mbah To, siapa saja diperkenankan berdoa kepada Tuhan melalui Eyang Sapu Jagad asalkan dia menaruh percaya dan mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan; tidak boleh jumawa dan bagi perempuan yang tengah berhalangan juga tidak diperkenankan masuk area petilasan.
Komodifikasi Mitos Eyang Sapu Jagad pada Wisata Alam dan ReligiÂ
Keberadaan sumber umbulan ini dikenal oleh masyarakat luar dusun Ubalan sejak tahun 1930-an.
Masyarakat yang mengunjungi area sumber ini memercayai kekuatan magis melalui ritual doa yang dipanjatkan dengan perantaraan Eyang Sapu Jagad.
Segala ujud dari doa atau ‘intensi’ atau harapan masyarakat disampaikan melalui doa dan juga semedi. Ada yang memohon kesembuhan dari penyakit, naik pangkat, rezeki, awet muda, dan kelancaran usaha.
Awalnya hal ini berjalan tanpa terkoordinir sehingga tidak ada pengawasan dan perawatan area sumber umbulan, sedangkan pengunjung mulai semakin banyak berdatangan dan tidak terkendali.
Masyarakat yang datang melaksanakan hajatnya dengan semedi, doa, mandi, membakar dupa, dan menabur bunga di beragam tempat yang membuat kondisi area sumber kurang nyaman dan terkesan kumuh.
Mengantisipasi hal ini pada saat itu, masyarakat dusun Ubalan menunjuk Mbah Gimbal sebagai juru kunci untuk mengatur ketertiban dan kebersihan area petilasan Eyang Sapu Jagad.
Tahun 1990 masyarakat dusun Ubalan dan desa sekitarnya sepakat membangun bangunan untuk semedi atau berdoa serta bilik mandi di area sumber umbulan bagi masyarakat yang melakukan ritual doa di sana.
Selain itu di area kawah zedi juga dibangun musholla dan bilik-bilik kamar mandi yang juga dapat dipergunakan oleh masyarakat yang melakukan ritual doa di sana.
Ada yang menarik, di depan musholla terdapat pohon sawo tua yang dikeramatkan. Pohon ini telah ada sejak Eyang Sapu Jagad tinggal di sana.