“Wah, pisang goreng di mana-mana sama aja lah Neng… Kalian habiskan ya, saya pulang dulu,” Bu Ifah pamit dengan wajahnya yang sumringah.
Mumpung anak-anak konyol ini masih ngorok kucomot sebiji pisang goreng lagi lalu beranjak keluar bangsal sambil mengitari gedung sekolah yang sepi.
Senja menggelap. Kami beruntung mendapat desa yang sudah dialiri listrik. Lampu-lampu perumahan penduduk desa tampak seperti hamparan bintang dari kejauhan. Besok kami harus siap mengajar anak-anak sekolah dasar di sekolah ini.
Pasti seru dan menyenangkan. Tetapi aku tidak menjamin, cowok-cowok konyol itu pasti akan berulah. Dan selalu mengejutkan, gumamku dalam hati.
***
“Selamat pagi Bapak Kepala Sekolah beserta bapak, ibu guru sekalian, nama saya Yohana biasa dipanggil Yona,” kuperkenalkan diri di hadapan Kepala Sekolah dan semua pengajar di SDN 1 Maguan ini.
“Panggil Yono saja Bapak, Ibu ehemmmm,” tiba-tiba Miko memecah suasana formal dengan teriakannya yang konyol.
Kuinjak kaki Rizky yang tepat ada di sisiku, tampak ia menahan sakit tetapi tak melewatkan suasana ini dengan tawanya yang justru paling keras. Pasti mukaku tampak merah seperti kepiting rebus, momen ini adalah kesuksesan cowok-cowok konyol yang berjajar di samping kanan kiriku pagi ini.
Yono, hmmm Cah-Yono… itu nama panggilan buatku selama kuliah. Dan selama ini mereka tak pernah menganggapku sebagai seorang perempuan. Banyak hal konyol yang di luar nalar sudah jadi 1)sego jangan buatku.
Semua tertawa dan seolah mengiyakan, suasana pun berubah menjadi sedikit santai meskipun ada yang nyesek di dadaku. Kupejamkan mata. Inilah yang kutakutkan, dan pasti akan berlanjut hingga tiga puluh enam hari ke depan.