***
Aku sangat menikmati aktivitas baruku mengajar anak-anak SD. Aku dipercaya untuk mengajar di kelas empat yang mayoritas anak-anak perempuan dan mereka sangat lucu dan sopan.
Empat minggu kulalui dengan baik. Semua menyambut kami dengan sangat senang, suasana pedesaan yang kental membangkitkan semangatku untuk terus memberi yang terbaik.
Seminggu setelah kegiatan mengajar, kami melakukan bakti kampus dengan program memperbaiki sarana sekolah yang sudah aus. Selain membetulkan beberapa pintu kelas yang rusak serta atap yang bocor kami juga mengecat ulang diding dan pagar sekolah.
Kami terbagi dalam tiga kelompok dan bekerja berdua-dua. Hanya kelompokku yang bertiga; aku, Rizky, dan Poetoe. Lagi-lagi, aku harus rela manjat-manjat untuk menaiki atap dan mengecat dinding.
Mereka sama sekali tidak menganggap aku perempuan. Segala pekerjaan kami kerjakan merata tanpa pengecualian, termasuk mengaduk 2)luluh, memalu kusen, menaiki atap dan mengecat seluruhnya hingga selesai.
“Mas Rizky…, kasihan Mbak Yona. Biar bantu saya memasak tiwul ya,” teriak Bu Ifah pada Rizky sambil memandangku dari bawah tangga bambu dengan cemas.
“Biarin aja Buk Ifah, nanti malah tiwulnya 3)sangit karena pasti gosong kalau dimasak Yono,” jawab Rizky sambil tertawa disusul tawa keras Poetoe, Miko dan Pak Dadang.
“Rizkiiiiiiiiiii yaaaa…,” kulempar Rizky dengan kanebo yang kugantung di bahu kananku.
***