Dalam hasil Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya karena dianggap permohonan tersebut tidak beralasan hukum. Akan tetapi Mahkamah Konstitusi memberikan pilihan terkait model-model keserentakan pemilu yang dapat dipilih dan dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945 yang diantaranya:
a) Â Â Â Â Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
b) Â Â Â Â Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/WaliKota;
c) Â Â Â Â Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/WaliKota;
d) Â Â Â Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/WaliKota;
e) Â Â Â Â Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak Kabupaten/Kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan WaliKota;
f) Â Â Â Â Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden;
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan dalam tulisan ini, model keserentakan pemilu yang paling ideal adalah Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/WaliKota. Model keserentakan pemilu tersebut dapat menjadi solusi terhadap kekurangan dan permasalahan yang dialami pada pemilu serentak tahun 2019 khususnya pada partisipasi pemilih, kinerja penyelenggara pemilu, serta penguatan sistem presidensial dan penguatan sistem pemerintahan daerah (Amir, 2020).
Dari sisi partisipasi pemilih, model diatas diharapkan mampu untuk menyeimbangakan partisipasi pemilih pada pemilihan presiden dan anggota DPR dan DPD. Dimana pada pemilu 2019 sebelumnya, meskipun persentase pemilih sudah meningkat pada pemilu-pemilu sebelumnya, akan tetapi belum dicapainya keseimbagan antara perolehan suaran dalam pemilihan presiden dan anggota legislatif. Terlalu banyaknya calon yang harus dipilih, sehingga banyak masyarakat asal pilih maupun golput dalam pemilihan legislatif. Pemilih sulit untuk memberikan rasionalitas dalam memberikan suara akibat terlalu banyaknya pilihan atau surat suara. Perhitungan suara yang tidak sah pun menungkat dari 10 % pada pemilu legisltatif 2014, kemudian mengalami kenaikan pada pemilihan umum legislatif 2019 menjadi 11%. Model pemilu serentak diatas, diharapkam mampu untuk mewujudkan kenyamanan pemiih dalam memberikan suara serta menjaga rasionalitas pemilih demi menghasilkan calon terpilih yang berkualitas. Dari sisi penyelenggara pemilu, adanya jeda dan pemisahan pada pemilu nasional untuk memilih Presiden/ Wakil Presiden, dan anggota DPR dan DPRD, kemudian dilanjutakan dengan pemilihan anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/WaliKota. Dengan mekanisme seperti ini memberikan kesempatan untuk penyelenggara pemilu untuk bekerja dengan maksimal karena beban kerja yang tidak terlalu berat dengan tetap mengadopsi model pemilu serentak. Pertimbangan model ini dirasa mampu untuk menekan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada pemilu serentak 2019 khususnya banyak korban jiwa oleh petugas pemilu akibat beban tugas yang terlalu berat.
Dari sisi penguatan sistem pemerintahan presidensil, model pemilu ini tetap dapat menjadi pilihan. Pemilu 2019 menunjukkan bahwa model pemilu serentak untuk memilih Presiden dan DPR terbukti menghasilkan pemerintahan yang kongruen, di mana calon presiden dan wakil presiden mendapat sebagian besar dukungan DPR dari koalisi. Pemerintahan yang kongruen ini yang menjadi modal utama untuk mewujudkan sistem presidensial yang efektif  (Amir, 2020).
Dari sisi penguatan sistem pemerintahan daerah, berdasarkan analisa dari pemilu tahun 2019, dipisahkannya pemilihan anggota DPRD dengan pemilihan kepala daerah provinsi dan Kabupaten/Kota menjadi salah satu penyebab lemahnya pemerintahan daerah dalam memperhatikan tuntutan publik atas isu-isu daerah. Hubungan antara calon kepala daerah dengan anggota DPRD seringkali mendapati jalan buntu dalam setiap kebijakan yang diajukan oleh kepala daerah yang ditolak DPRD. Pemicunya adalah perbedaan terhadap latar politik antara kepala daerah dan DPRD. Dengan model pemilu ini, nantinya diharapkan nantinya DPRD dan kepala daerah provinsi dan Kabupaten/Kota mampu menjalankan fungsinya di pemerintahan daerah dalam menjalankan otonomi daerah (Amir, 2020).