Keputusan MK terbaru -- Lagi viral nih! 16 Oktober 2023, masyarakat Indonesia terutama kabar perpolitikan Indonesia dikejutkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menyatakan bahwa syarat maju menjadi capres-cawapres minimal berusia 40 tahun atau kurang dari itu dengan syarat pernah menjabat sebagai kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih dalam pemilu.
Lantas bagaimana sosiologi klasik menilai dan memandang peristiwa ini? kita akan bahas dalam dua perspektif tokoh klasik Durkheim dan Comte, yuk meluncur!
Keputusan MK Terbaru
Keputusan tersebut cukup kontroversial karena sebelumnya para hakim MK menolak permohonan persyaratan pencalonan capres-cawapres kurang dari 40 tahun dan tiba-tiba berubah ketika ketua MK, Anwar Usman membacakan keputusan final yang ditolak dan diragukan oleh para hakim MK lainnya.
Kontroversi keputusan tersebut berkaitan dengan momen Pemilu 2024 yang akan datang di mana Gibran Rakabuming Raka yang merupakan Walikota Solo dan anak dari Presiden Jokowi digadang-gadang untuk menjadi cawapres dari Prabowo namun terhalang oleh syarat sebelumnya di mana batas minimal pencalonan capres-cawapres minimal 40 tahun.
Keputusan Ketua MK Anwar Usman dianggap mencerminkan sikap yang tidak berpihak pada rakyat dan cenderung memprioritaskan kepentingan keluarga sebagai sarana untuk naik ke puncak kekuasaan, yang kental dengan praktik nepotisme.
Sebagai akibatnya, baik Ketua MK Anwar Usman maupun Presiden Jokowi telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh berbagai pihak atas tuduhan nepotisme.Â
Sementara itu, Anwar Usman sendiri dijadwalkan untuk menghadapi sidang di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait dugaan pelanggaran kode etik. Efek lain dari keputusan MK ini adalah munculnya julukan satir untuk MK sebagai 'Mahkamah Keluarga'.
Keputusan ini jelas menimbulkan kegaduhan dan pada akhirnya Anwar Usman dicopot jabatannya sebagai ketua MK. Mengutip dari berita detik.com Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan untuk mencopot Anwar Usman dari Ketua MK karena pelanggaran kode etik berat.
Emile Durkheim
Dalam perspektif sosiologi mile Durkheim, fenomena manipulasi keputusan hakim dapat dianalisis melalui lensa fungsionalisme, yang merupakan salah satu kontribusi utamanya dalam teori sosiologi.Â
Durkheim melihat masyarakat sebagai sistem yang kompleks dengan berbagai bagian yang bekerja bersama untuk mempertahankan kesatuan dan stabilitas sosial.Â
Setiap bagian dari sistem sosial ini memiliki fungsi tertentu yang berkontribusi pada kesejahteraan keseluruhan masyarakat.
Dalam konteks sistem peradilan, hakim dianggap memegang peranan penting dalam menjaga fungsi hukum dan order sosial. Mereka bertanggung jawab untuk menerapkan hukum secara objektif dan adil, yang pada gilirannya mendukung solidaritas sosial dan mempertahankan konsensus moral.
Jika terjadi manipulasi keputusan oleh hakim, Durkheim mungkin akan melihat ini sebagai bentuk anomie, yaitu keadaan di mana norma-norma dan aturan sosial menjadi lemah atau tidak jelas, sehingga menyebabkan ketidakstabilan dan kekacauan sosial.Â
Manipulasi keputusan hakim mengindikasikan adanya kerusakan pada fungsi sistem peradilan, yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap keadilan dan hukum.Â
Ini bisa mengarah pada penurunan solidaritas sosial dan meningkatkan konflik sosial, karena masyarakat mulai meragukan legitimasi dan efektivitas lembaga-lembaga yang dirancang untuk menjaga order sosial.
Durkheim juga mungkin akan tertarik pada konsekuensi yang lebih luas dari manipulasi ini, termasuk bagaimana hal itu mempengaruhi kolektif kesadaran---kesadaran bersama yang dibagi oleh anggota masyarakat.Â
Jika manipulasi keputusan hakim menjadi diketahui dan dianggap normatif, ini bisa mengubah nilai-nilai dan norma-norma yang mendasari masyarakat, yang pada akhirnya bisa mengubah struktur sosial itu sendiri.
Dalam kasus ekstrem, Durkheim mungkin akan memperingatkan bahwa manipulasi yang berkelanjutan dan tidak ditangani dapat menyebabkan krisis sosial, di mana kepercayaan dan kohesi sosial terkikis sampai titik di mana reformasi atau revolusi menjadi mungkin atau bahkan diinginkan oleh masyarakat.
Konsep Anomie
Durkheim juga memperkenalkan konsep anomie, yang merujuk pada ketidakmampuan masyarakat untuk memberikan orientasi atau norma yang memadai.Â
Dalam situasi manipulasi keputusan hakim, manipulasi ini dapat menciptakan anomie karena masyarakat meragukan sistem hukum dan norma-norma yang harus diikuti.
Dalam pemikiran Durkheim, hukum memiliki peran integratif yang penting dalam masyarakat. Ketika keputusan hakim dimanipulasi, hal ini dapat mengganggu fungsi integratif hukum dalam masyarakat, karena masyarakat mungkin merasa bahwa hukum tidak lagi berfungsi untuk menjaga ketertiban dan keadilan.
Dalam perspektif Durkheim, manipulasi keputusan hakim dapat dianggap sebagai tindakan yang melanggar norma-norma yang diterima dalam masyarakat, dan ini dapat berdampak negatif pada integrasi sosial dan kepercayaan terhadap sistem hukum.Â
Dengan demikian, pemahaman Durkheim tentang norma dan integrasi sosial dapat digunakan untuk menjelaskan konsekuensi sosial dari manipulasi keputusan hakim.
Auguste Comte
Auguste Comte, yang dianggap sebagai bapak sosiologi, mengembangkan pendekatan positivistik dalam memahami masyarakat.Â
Pendekatan ini berdasarkan pada keyakinan bahwa masyarakat dapat dipahami melalui pengamatan ilmiah dan analisis objektif, mirip dengan cara ilmu alam mempelajari fenomena fisik.
Dalam pandangan Comte, masyarakat bergerak melalui tiga tahap intelektual: teologis, metafisik, dan positif. Pada tahap positif, masyarakat menggunakan ilmu pengetahuan dan logika untuk memahami dan mengatur dirinya sendiri.Â
Dalam konteks fenomena manipulasi keputusan hakim, Comte mungkin akan menekankan pentingnya menerapkan metode ilmiah untuk memahami penyebab dan konsekuensi dari perilaku tersebut.
Comte akan melihat sistem peradilan sebagai bagian integral dari struktur sosial yang membantu menjaga order dan stabilitas. Hakim, dalam konteks ini, adalah aktor kunci yang harus mematuhi prinsip-prinsip objektivitas dan rasionalitas.Â
Jika hakim terlibat dalam manipulasi keputusan, ini akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap order dan stabilitas yang harusnya dijaga oleh sistem peradilan.
Dari perspektif Comte, solusinya adalah menerapkan pendekatan ilmiah untuk mereformasi sistem peradilan. Ini mungkin termasuk pelatihan yang lebih ketat untuk hakim, pengembangan prosedur yang lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, dan penerapan hukuman bagi mereka yang melanggar etika profesional.
Comte akan menekankan pentingnya pendidikan dan sosialisasi bagi para hakim untuk memastikan bahwa mereka memahami dan menghargai peran mereka dalam mempertahankan order sosial dan menerapkan hukum secara adil dan tidak bias.
Secara keseluruhan, Comte akan menekankan bahwa untuk mengatasi masalah seperti manipulasi keputusan hakim, masyarakat harus bergerak menuju tahap positif, di mana ilmu pengetahuan dan rasionalitas menjadi dasar bagi organisasi sosial dan tindakan individu.
Demikian artikel mengenai keputusan MK terbaru dalam perspektif tokoh sosiologi klasik. Semoga dapat memberikan sudut pandang baru dan membantu kamu belajar materi sosiologi. Sampai Jumpa!
Sumber Referensi: pintarsosiologi.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H