Mohon tunggu...
Yusuf Senopati Riyanto
Yusuf Senopati Riyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Shut up and dance with me
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saat ini sebagai buruh di perusahaan milik Negara.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Melaksanakan Privatisasi terhadap PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) adalah Salah!

26 Desember 2021   15:11 Diperbarui: 1 Januari 2022   08:51 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rencana privatisasi PT Pertamina (Persero) beserta seluruh anak perusahaannya. Juga terhadap PT PLN(persero) beserta seluruh anak perusahaannya adalah salah. 

Kenapa?, apabila pengelola(operator) adalah pihak oligarki tertentu atau Asing maka otomatis segala isi "perut" dari BUMN tersebut adalah "milik pihak swasta oligarki tersebut atau asing". Hal ini tentu akan mengancam ketahanan dan kedaulatan energi, migas nasional. 

Pada bagian  ini uraian soal privatisasi yang menggunakan kata restrukturisasi pada dua perusahaan Publik utama di Indonesia yang menguasai hajat hidup orang banyak yaitu PT Pertamina(persero) Migas dan PT PLN(persero) Energi.

Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan gas Bumi telah mengubah pola monopoli yang awalnya dimiliki oleh dua BUMN tersebut, PT. PLN (Persero) dan PT. Pertamina (Persero) selaku Badan Usaha Milik Negara BUMN menjadi disamakan kedudukannya dengan badan usaha lain, sehingga memungkinkan peluang terhadap badan usaha lain tersebut masuk dalam setiap kegiatan usaha, tentu saja hal tersebut tidak akan menjadi masalah apabila sistem dibangun sendiri oleh pihak diluar dua BUMN utama yang dimiliki Indonesia (INA), seperti misal apa yang telah dilakukan oleh PT Cikarang Listrindo dimana pembangunan sistem dilakukan sendiri tidak numpang pada Grid PT PLN (persero) demikian juga PT Pertamina (persero) Liberalisasi sistem hulu akan merusak system Verticall Integrated System dari dua BUMN utama INA tersebut. 

Oleh karena itu dalam pembahasan pertama mari kita membahas mengenai, bagaimana peluang Badan Usaha Milik Swasta dalam sektor ketenagalistrikan dan migas apakah berpeluang pula terhadap kegiatan yang berhubungan dengan Public Service Obligation (PSO) yang mana perintah tersebut tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara kepada Badan Usaha Milik Negara UU BUMN .

 Selanjutnya, dalam Pasal 66 ayat 1 UU BUMN menyebutkan bahwa Pemerintah dapat memberikan penugasan PSO kepada BUMN, dalam hal ini adalah PT. PLN (persero) dan PT. Pertamina(persero) yang tujuannya adalah untuk kesejahteraan masyarakat. 

Terlambat ?, tentu belum terlambat apabila kita masyarakat,rakyat Indonesia mau Bersama-sama Menggedor Pintu para penguasa yang jangan hanya disibukan oleh Memperoleh untung sesaat serta Menggonta-ganti Dewan Direksi dan Komisaris, kekuasaan serta sibuk "seolah" menjadi Direksi terbaik versi Asing. 

Tentu saja ini dapat terjadi, karena kita Rakyat INA harus ingat bahwa permintaan untuk Liberalisasi,Privatisasi sektor Energi dan Migas adalah permintaan Lembaga Multilateral IMF dan WB., Disisi lain, sebagai BUMN dengan bentuk Persero, PT. PLN(persero) dan PT. Pertamina(persero) memiliki tujuan untuk mencari keuntungan, tujuan tersebut tertuang pula pada Pasal 1 angka 2 dan Pasal 12 UU BUMN. 

Oleh karena itu, pembahsan kedua, akan  membahas mengenai Apakah ada keselarasan antara tujuan untuk mencari keuntungan dan melaksanakan PSO oleh PT.PLN(persero) dan PT.Pertamina(persero) ?. Pelaksanaan kegiatan PSO bertujuan untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat terhadap migas dan listrik,saling berkaitan hingga kepelosok Indonesia(INA). Dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Pulau Rote . 

Dalam sektor ketenagalistrikan dan sektor migas melalui kegiatan tender terhadap kegiatan PSO tersebut. Dan menghasilkan analisis yaitu, PT. PLN(persero) dan PT. Pertamina (persero) sebagai BUMN yang melaksanakan PSO, dan tujuan untuk mengejar keuntungan sebagai PT. Persero sebenarnya tidak selaras dengan konstitusi, yaitu UUDRI1945, akan selalu terdapat hambatan,kendala yaitu adanya penolakan terhadap liberalisasi sektor Migas,Hulu, dan Liberalisasi sektor pembangkit pada sektor Energi. Tujuan kegiatan PSO maupun kegiatan non-PSO belum dapat berjalan secara beriringan atau selaras. Kenapa?., Karena yang dibutuhkan oleh kedua BUMN tersebut adalah perbaikan Tata Kelola bukan teknis.

Pemerintah Subsidi.

Klaim Pemerintah subsidi energi makin tepat sasaran dan dialihkan untuk belanja yang lebih produktif. Pos subsidi memang dipangkas, tetapi harus kita Masyarakat ketahui bahwa subsidi berubah jadi utang ke BUMN tatkala belanja negara pun tak bisa dibilang produktif. Terlebih ketika apa yang disebut Pandemi Covid-19 datang menimpa negeri ini. Suka atau tidak ini harus kita akui.

Kebutuhan Sehari-Hari.

Energi listrik dan bahan bakar memang merupakan kebutuhan sehari-hari bagi seluruh masyarakat INA. Oleh sebab itu tertuang dalam konstitusi Republik Indonesia. Energi memiliki peranan penting dalam aktivitas kehidupan, termasuk ekonomi. Agar masyarakat Indonesia dapat memperoleh energi dengan terjangkau, maka pemerintah tiap tahunnya menganggarkan subsidi untuk BBM dan listrik.Seharusnya memang demikian. Kenapa?, karena ini merupakan amanah Konstitusi. Ratusan triliun dikeluarkan pemerintah untuk memberikan subsidi. 

Namun subsidi tersebut masih dapat dikatakan belum tepat sasaran. Subsidi tak sepenuhnya menjangkau masyarakat yang dinyatakan layak untuk menerimanya. Sebagian orang, kelompok tertentu  memanfaatkan adanya subsidi dari pemerintah ini untuk meraup keuntungan ?. 

Guna investor  swasta meraup sebanyak-banyaknya keuntungan, tetapi hanya sedikit yang dilakukan, kecuali untuk memperkaya sekelompok kecil orang tertentu dengan mengorbankan banyak orang, dalam hal ini masyarakatlah yang akan menjadi korban. Kenapa demikian?., Karena  Privatisasi energi telah memperlebar jurang ketimpangan dan menunda transisi yang sesungguhnya amat sangat penting yaitu menuju energi terbarukan.

Padahal tiap tahunnya pemerintah harus mengeluarkan dana hingga ratusan triliun hanya untuk subsidi saja. Mari kita coba melihat validitas data pada periode 2011-2014, total subsidi energi yang dikeluarkan oleh pemerintah mencapai plusminus Rp 1.214 triliun.

Tetapi kita lihat kemudian pada periode tahun berikutnya 2015-2019, anggaran untuk subsidi benar-benar telah Pemerintah pangkas. Di periode tersebut pemerintah merogoh kocek sebesar Rp 612 triliun saja untuk subsidi energi.

Dengan capaian tersebut, kembali klaim Pemerintah subsidi semakin tepat sasaran dan uang yang tadinya harus digunakan untuk subsidi dialokasikan untuk belanja produktif. 

Namun benarkah subsidi tepat sasaran dan belanja jadi lebih produktif?. Apabila klaim Pemerintah tersebut benar, maka logika akal sehatnya tidak perlu ada Privatisasi di tubuh Dua BUMN Utama Republik Indonesia tersebut. Jelas dan Tegas. Kecuali memang ada "pesanan dari Kelompok Oligarki tertentu yang memanfaatkan keterlibatan Asing".

Peroleh Keuntungan.

Pada periode dua Tahun berturut-turut. Tahun buku 2019 dan 2020 Kedua perusahaan BUMN tersebut meraih keuntungan luar biasa, meskipun di Tahun buku 2020 PT Pertamina (persero) mengalami penurunan namun secara Korporasi keseluruhan Perusahaan Migas tersebut tetap untung. 

Berbeda dengan PT PLN (persero) dimana pada dua Tahun buku 2019 dan 2020 tersebut Perusahaan listrik tersebut mutlak memperoleh laba Korporasi menyeluruh. Jadi?, quation mark mulai timbul untuk apa dilakukan Privatisasi dengan menggunakan kata Restrukturisasi?,apabila perusahaan telah dinyatakan untung. 

Sementara, Saat ini pemerintah memberikan subsidi BBM seperti premium ( telah dihapus untuk wilayah Jabodetabek), minyak tanah dan bahkan LPG serta listrik. Pemerintah memberikan penugasan kepada BUMN melalui Public Service Obligation (PSO). Jadi?, Apakah Privatisasi tersebut adalah sebuah "Pesanan"?, ataukah?..Apa ini?, Apa itu?

Public Service Obligation(PSO)

Kalau berkata jujur, adanya PSO di Indonesia ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan harga penjualan antara BUMN dan pihak Swasta dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Agar pelayanan produk dan atau jasa terjamin dan terjangkau oleh publik, maka pemerintah menunjuk BUMN untuk menjalankan fungsi tersebut. 

Dua contoh BUMN yang mendapat PSO adalah PT Pertamina(persero) dan PT PLN (persero). Misal Pemerintah menunjuk Pertamina untuk mendistribusikan BBM subsidi seperti premium(untuk Jabodetabek telah dihapus), pertalite(Tahun 2022 akan dihapus), LPG dan minyak tanah. 

Sementara PLN ditugasi pemerintah untuk menyediakan akses listrik yang lebih murah ke masyarakat yang kurang mampu. Dengan tujuan seluruh Indonesia 100% terlistriki dan 100% terpenuhi kebutuhan masyarakat akan Migas. 

Jika setelah melakukan kajian finansial ternyata fungsi tersebut tak memungkinkan, maka pemerintah memberikan kompensasi atas semua biaya yang dikeluarkan oleh BUMN itu termasuk margin yang diinginkan. Kenapa demikian?, karena semua atas dasar, azaz Konstitusi. Jelas.

Pada praktiknya, BUMN dalam hal ini Pertamina dan PLN diminta untuk menalangi kebutuhan tersebut terlebih dahulu. Artinya pemerintah jadi ngutang dulu ke BUMN. Dan ujung-ujungnya utang pemerintah ke BUMN pun tak sedikit. Mari kita lihat, kembali quation mark?, padahal BUMN harus memberikan deviden kepada Pemerintah bukan?.

ApaAdanyaUntukBangsaSendiri.

Mari sama-sama kita lihat posisi utang Pemerintah ke Pertamina pada akhir Tahun 2018 mencapai US$ 2,92 miliar atau setara dengan Rp 41,6 triliun apabila menggunakan asumsi kurs Rp 14.246/US$. Jumlah tersebut selanjutnya naik menjadi US$ 3,11 miliar setara dengan Rp 44,3 triliun pada posisi Juni Tahun berikutnya 2019.
Posisi utang pemerintah ke Pertamina pada 2016 dan 2017 memang telah dilunasi. Tetapi  utang yang tercatat tersebut merupakan saldo dari utang di tahun 2018 dan 2019 yang belum dibayar.

Utang tersebut merupakan belanja yang  harus dibayar dan merupakan kewajiban yang harus segera diselesaikan kepada pihak terutang dalam waktu kurang dari 12 bulan.

Itu artinya Pemerintah masih memiliki anggaran untuk mensubsidi Premium, Pertalite,  meskipun dalam APBN 2018 tidak disebut secara eksplisit.

Maka dari itu, anggapan bahwa sebenarnya pemerintah masih terus menggelontorkan subsidi energi cukup banyak agaknya dapat diterima.

Sementara pada 2018, PLN mencatatkan piutang kompensasi sebesar Rp 23,17 triliun, masih menggunakan asumsi kurs US$ yang sama. Apabila mengutip laporan, keterangan  keuangan PLN, Piutang kompensasi merupakan piutang atas kompensasi dari Pemerintah atas penggantian Biaya Pokok Penyediaan ("BPP") tenaga listrik beberapa golongan pelanggan yang tarif penjualan tenaga listriknya lebih rendah di bandingkan BPP, dan belum diperhitungkan kedalam subsidi yang diakui sebagai pendapatan atas dasar akrual. Oleh sebab itu PLN seharusnya Tata Kelola,penempatan,penerapan hingga penetapan TDL sesuai daya, adalah yang harus di evaluasi.

Kalau pemerintah utang ke BUMN otomatis bayarnya lewat APBN periode berikutnya. Di sini lah letak dan akan timbul potensi masalah. Jika kinerja APBN tak baik, maka pembayaran utang pemerintah ke BUMN tak menutup kemungkinan juga jadi tertunda. Alias maju kena mundur kena. Demikian juga dengan perihal Deviden.

Mari kita ambil contoh realisasi APBN 2019. Penerimaan pajak anjlok dan hanya mencapai level 84% saja dari target APBN. Padahal penerimaan pajak sendiri menyumbang lebih dari 60% total penerimaan negara. Bicara pajak,pajak yang mana?, kita akan bahas pada tulisan selanjutnya mengenai tata kelola pajak. Tetapi, pada tahun buku 2019 PT PLN(persero) dan PT Pertamina(persero) menghasilkan keuntungan signifikan,hal tersebut satu diantaranya dikarenakan PLN  over supply listrik ,sementar bagaimana dengan konsumen alias masyarakat,rakyat keseluruhan?...

Hal tersebut membuat defisit anggaran menjadi melebar ke angka 2,2%, dan  membuat ruang gerak fiskal menjadi terbatas. Artinya utang akan dibayar berapa dan kapan akan sangat tergantung dari kondisi fiskal negara. Apakah hal yang seharusnya mudah tersebut tidak terpikirkan oleh Pemerintah?.

Bersambung..... 

Salam Indonesia Raya Tempat Saya dilahirkan dan Kelak tempat Saya Dikebumikan... 

NB : Diambil kutip sadur dari berbagai sumber, koleksi pribadi Penulis khususnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun