Kelurahan Ledok Kulon bagian tengah, ungkap dia, disebut-sebut basisnya Partai Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU). Sehingga, warga Kelurahan Ledok Kulon bagian tengah ini tak banyak jadi korban.
"Waktu itu, yang menjadi sasaran kan orang-orang PKI dan ada juga PNI. Tapi yang PNI tidak banyak," jelasnya.
Lebih dari itu, kata Basri, tak semua orang yang dibawa lalu dibunuh merupakan orang-orang PKI atau underbouw PKI. Sebab, yang dibunuh itu ada juga yang sekadar dituduh ikut PKI.
"Orang yang dituduh PKI, banyak. Namun, ada juga yang selamat dari pembunuhan," imbuhnya.
Suprapto, salah satu warga Kelurahan Ledok Kulon mengaku bapaknya dituduh sebagai anggota PKI. Beruntung, bapaknya yang pedagang tahu itu tak menjadi korban genosida pasca G30S.
"Justru saya yang menjadi korban. Kalau saya ingat, masih sakit hati saya," jelas pria akrab disapa Prapto itu.
Pada akhir 1970-an, cerita Prapto, dia mendaftar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Setelah melalui aneka tes, dia dinyatakan lolos. Namun, pada sensor ke-PKI-an, dia mendapat kendala.
"Saya terdata anak keluarga PKI karena bapak saya dicatat tentara sebagai PKI. Saya pun gagal jadi PNS," kecewanya.
Sepulang dari tes PNS itu, kenang Prapto, dia langsung mengadu ke bapaknya. Dia juga menyesalkan bapaknya, mengapa dulu bapaknya itu mau dituduh dan mau dicatat sebagai PKI oleh tentara.
"Bapak saya menjawab, hal itu dilakukan karena terpaksa. Supaya tak ada kejadian tak diinginkan," jelas Prapto.
Lebih dari itu, Prapto mendapat informasi dari bapaknya bahwa yang mula-mula menuduh bapaknya sebagai PKI waktu itu adalah salah satu perangkat Kelurahan Ledok Kulon.