Moch. Basri, warga Kelurahan Ledok Kulon lainnya menceritakan hal serupa terkait mayat-mayat orang-orang PKI dan terduga PKI di Bengawan Solo setempat. Mayat-mayat itu, tambah dia, rerata tak utuh.
"Seingat saya, rerata mayat-mayat itu tidak ada kepalanya," jelas lelaki berusia 72 tahun ini.
Pria yang pada akhir 1965 berusia remaja itu meneruskan, mayat-mayat itu tak ada yang dikenali warga setempat. Sebab itu, mayat-mayat itu dibiarkan mengapung dan mengalir di Bengawan Solo.
Terkait sejumlah warga Kelurahan Ledok Kulon yang dibawa segerombol orang dan tak pernah kembali ke rumah, Basri sapaannya juga membenarkan dan pernah menyaksikan hal tersebut.
"Kata bapak, orang-orang itu kemudian dibawa ke tepi Bengawan Solo untuk disembelih, lalu dibuang ke Bengawan Solo," tuturnya.
Namun, kata dia, tak semua orang-orang dibawa itu langsung disembelih di tepi Bengawan Solo. Orang-orang yang dibawa dan langsung disembelih dimaksud, hanya yang tokoh-tokoh.
"Yang orang biasa, dibawa ke Gudang Tembakau Kelurahan Ledok Wetan. Sekarang namanya Gedung Serbaguna," ungkapnya.
Dari Gudang Tembakau itu, lanjut dia, orang-orang tersebut lalu diangkut menggunakan truk-truk tentara ke hutan turut Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro.
"Katanya, mereka dibunuh di hutan itu. Ada lubang besar di hutan itu untuk membuang-mengubur jasad mereka," imbuhnya.
Lebih lanjut, Basri mengemukakan, rerata orang-orang Kelurahan Ledok Kulon yang menjadi korban G30S merupakan warga Kelurahan Ledok Kulon pinggiran. Atau, di tepi Bengawan Solo.
"Wilayah itu disebut-sebut sebagai basis PKI dan sedikit PNI (Partai Nasional Indonesia, red)," terangnya.