"Tak ada yang berani mengambil lalu menguburkan mayat-mayat itu. Warga sini membiarkan saja," imbuhnya.
Lain kengerian di Bengawan Solo itu, lanjut lansia yang kini membuka warung kopi di tepi Bengawan Solo Kelurahan Ledok Kulon ini, kampungnya juga dicekam kengerian saban malam.
"Habis maghrib, orang-orang sini menutup pintu rumah. Kalau ngomong harus berbisik-bisik," tuturnya.
Cukup sering, lanjut Samijah, setiap lepas isya dirinya melihat segerombol orang membawa satu atau dua tetangganya. Pemandangan itu dia lihat dari dalam rumah. Melalui celah-celah.
"Segerombol orang membawa tetangga-tetangga itu berpakaian hitam, bersarung, ada juga bersorban," imbuhnya.
Setelah tetangga-tetangga itu dibawa segerombol orang tersebut, kata Samijah, tetangga-tetangganya tersebut tak pernah kembali pulang ke rumah. Ada yang bilang, tetangga-tetangga itu disembelih.
"Tapi saya tak pernah menyaksikan (penyembelihan, red). Saya tak boleh keluar rumah malam hari," terangnya.
Adapun, ungkap dia, tetangga-tetangga dibawa segerombol orang itu rata-rata merupakan para seniman. Mereka sering terlihat tampil dalam pertunjukan ludruk, wayang orang, atau sandur.
"Yang dibawa, seingat saya laki-laki semua. Tak ada  perempuan. Kata bapak, mereka orang-orang Lekra," tuturnya.
Samijah mafhum akan hal itu. Di kampungnya memang banyak orang-orang Lekra atau Lembaga Kebudayaan Rakyat, underbouw PKI. Sebab, Kelurahan Ledok Kulon merupakan kampung seni.
"Mulai ludruk, wayang orang, dan sandur ada hidup di kampung (Kelurahan Ledok Kulon, red) ini," jelasnya.