Memang betul bahwa secara undang-undang tidak menjadi keharusan bagi seorang Presiden untuk melibatkan KPK, sebab itu adalah hak prerogatif Presiden untuk memilih dan menentukan serta menetapkan siapa yang menjadi pembantunya dalam posisi menteri.Â
Hanya saja, publik memahami bagaimana seorang Jokowi memiliki komitmen dan keseriusan memberangus praktek korupsi di Indonesia yang dianggap telah menjadi wabah kronis dan daya rusaknya sangat dahsyat.Â
Berdasarkan analisis dan berbagai pengamat ada dua alasan utama mengapa Jokowi tidak lagi membutuhkan KPK dalam rangka menetapkan menteri yang akan mengisi Kabinet Kerja jilid II 5 tahun kedepan, yaitu:
Satu, karena pimpinan KPK yang sekarang terdapat perbedaan pandangan terkait dengan pembahasan revisi UU KPK hingga disahkan oleh DPR ditengah-tengah pro dan kontra hingga saat ini.
Hal ini dikemukakan oleh Aditya Perdana, Direktur Pusat Kajian Politik atau Puskapol Universitas Indonesia seperti yang diberitakan oleh kompas.com.
Dua, tidak akurnya Presiden Jokowi dengan Pimpinan KPK yang dipimpin oleh Agus Rahardjo itu, menjadi salah satu penyebab Jokowi tidak meminta KPK terlibat dalam memberikan masukan bagi calon-calon menteri yang akan datang.
Ketidakakuran ini dikemukakan oleh Kuskridho Ambardi, seorang pengamat politik dari UGM Yogjakarta yang hampir sama pendapatnya dengan Direktur Puskapol UI itu.
Akibat yang mungkin akan terjadi adalah apabila menteri yang terpilih itu terlibat dan terjebak bahkan menjadi OTT KPK dikemudian hari hanya karena Jokowi memiliki informasi dan data yang terbatas setiap kandidat menterinya. Tingkat kebersihan setiap kandidat menteri harus terjaga dan terjamin dikemudian hari.
Walaupun tidak melibatkan KPK untuk melakukan evaluasi itu, Jokowi bisa melakukan melalui proses dan proseudr serta sejumlah lembaga yang dimiliki oleh negera ini seperti BPK, PPATK, bahkan BPKP maupun Kejaksaan dan Polisi. Walaupun agak ribet menurut Kuskridho.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!