Menurut kabar yang sangat gencar hingga saat ini, Presiden Jokowi akan segera mengumumkan susunan Kabinet Kerja Jilid II setelah dilantik dan resmi menjadi RI-1 pada hari Minggu petang 20 Oktober 2019.Â
Harusnya momen pelantikan ini adalah sebuah puncak pesta demokrasi, tidak saja bagi seluruh masyarakat Indonesia, tetapi utamanya bagi masyarakat yang mendukung habis bagi kemenangan Jokowi dan Ma'aruf Amin yang memenangkan kontestasi Pilpres 2019.Â
Akan tetapi, Jokowi sudah memerintahkan agar dilakukan dengan sederhana, tanpa pesta apalagi arak-arakan budaya yang sudah disiapkan oleh panitia.
Bagi publik mungkin acara pelantikan yang akan terjadi secara seremonial penuh di gedung legislatif di Senayan dan menjadi gaweannya MPR tidak semenarik berita atau acara pengumuman susunan Kabinet Kerja Jilid II Jokowi dan Amin.Â
Dipastikan bahwa berita ini akan ditunggu oleh seluruh publik, tidak saja orang negeri ini, dunia usaha, dunia industri, pelaku pasar modal dan pasar uang serta dunia internasional. Siapa-siapa saja mereka yang akan menjadi orang pilihan Jokowi ini.
Sangat menarik untuk terus dicermati dan diikuti, karena gonjang ganjing koalisi partai politik, oposisi dalam legislatif, serta berbagai aspek pembagian kekuasaan yang akan disempurnakan oleh susunan kabinet yang akan diumumkan Jokowi.Â
"Bocornya" berkali-kali daftar susunan kabinet Jokowi yang juga selalu dianggap hoaks oleh pihak istana, membuat situasi politik semakin menjadi penuh misteri, dan tanda tanya besar.Â
Misteri ini semakin tidak bisa terbendung ketika hiruk pikuk KPK, mulai dari revisi UU KPK, demo berhari-hari, "marahnya" Jokowi kepada Pimpinan KPK hingga gencarnya KPK melakukan OTT pada sejumlah Kepala Daerah, terakhir kemarin dengan Wali Kota Medan terjerat dan bahkan telah ditetapkan tersangka oleh KPK.
Tetapi yang paling seru adalah kebijakan Presiden untuk tidak lagi meminta penilaian KPK atas orang-orang yang akan masuk dalam Kabinet Kerja jilid II Jokowi-Amin.
Publik sangat penasaran dan menjadi pertanyaan viral, mengapa Jokowi tidak meminta KPK memberikan masukan kepada Presiden seperti yang dilakukan oleh Jokowi lima tahun yang lalu.
Memang betul bahwa secara undang-undang tidak menjadi keharusan bagi seorang Presiden untuk melibatkan KPK, sebab itu adalah hak prerogatif Presiden untuk memilih dan menentukan serta menetapkan siapa yang menjadi pembantunya dalam posisi menteri.Â
Hanya saja, publik memahami bagaimana seorang Jokowi memiliki komitmen dan keseriusan memberangus praktek korupsi di Indonesia yang dianggap telah menjadi wabah kronis dan daya rusaknya sangat dahsyat.Â
Berdasarkan analisis dan berbagai pengamat ada dua alasan utama mengapa Jokowi tidak lagi membutuhkan KPK dalam rangka menetapkan menteri yang akan mengisi Kabinet Kerja jilid II 5 tahun kedepan, yaitu:
Satu, karena pimpinan KPK yang sekarang terdapat perbedaan pandangan terkait dengan pembahasan revisi UU KPK hingga disahkan oleh DPR ditengah-tengah pro dan kontra hingga saat ini.
Hal ini dikemukakan oleh Aditya Perdana, Direktur Pusat Kajian Politik atau Puskapol Universitas Indonesia seperti yang diberitakan oleh kompas.com.
Dua, tidak akurnya Presiden Jokowi dengan Pimpinan KPK yang dipimpin oleh Agus Rahardjo itu, menjadi salah satu penyebab Jokowi tidak meminta KPK terlibat dalam memberikan masukan bagi calon-calon menteri yang akan datang.
Ketidakakuran ini dikemukakan oleh Kuskridho Ambardi, seorang pengamat politik dari UGM Yogjakarta yang hampir sama pendapatnya dengan Direktur Puskapol UI itu.
Akibat yang mungkin akan terjadi adalah apabila menteri yang terpilih itu terlibat dan terjebak bahkan menjadi OTT KPK dikemudian hari hanya karena Jokowi memiliki informasi dan data yang terbatas setiap kandidat menterinya. Tingkat kebersihan setiap kandidat menteri harus terjaga dan terjamin dikemudian hari.
Walaupun tidak melibatkan KPK untuk melakukan evaluasi itu, Jokowi bisa melakukan melalui proses dan proseudr serta sejumlah lembaga yang dimiliki oleh negera ini seperti BPK, PPATK, bahkan BPKP maupun Kejaksaan dan Polisi. Walaupun agak ribet menurut Kuskridho.
Harus diakui bahwa ada kecenderungan kekecewaan publik ketika Jokowi tidak lagi melibatkan KPK sebagai wujud komitmen dukungan penuh kepada KPK sebagai salah satu lembaga atau badan yang masih diharapkan oleh masyarakat untuk melawan dan memberantas tikus-tikus koruptor di Indonesia.
Terlepas dari adanya hiruk pikuk, pro dan kontra seputar pengesahan revisi UU KPK oleh DPR, dan sekarang memasuki 30 hari setelah disahkan sebagai penanda bahwa mulai berlaku, kendati Jokowi belum menandatangani revisi UU KPK itu.
Prerogatif Presiden sepenuhnya memilih dan menetapkan para menterinya, publik paham itu, tetapi komitmen untuk mendukung dan menguatkan KPK juga soal lain, tetapi ketika Jokowi telah meletakkan dasar kuat menyatukan masyarakat dalam semua kebijakannya tentu menjadi sangat mahal saat masyarakat juga mulai bertanya.
Jokowi membutuhkan energi dan sumberdaya baru yang lebih besar lagi untuk meyakinkan dan memulihkan kepercayaan publik yang nampaknya sudah mulai tergerus dengan masalah revisi UU KPK ini serta pro dan kontra Perppu KPK. Membiarkan saja tanpa penjelasan yang baik dan bijak hanya akan menurunkan kapitalisasi politik Jokowi selama lima tahun kedepan.
Semoga analisis ini tidak benar, dan menjadi anomali dalam membangun Indonesia dengan lompatan kemajuan yang diimpikan Jokowi dalam visi Indonesia 2025.
YupG. 17 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H