Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salah Paham Menjadi Sumber Utama Konflik di Tengah Masyarakat

21 Desember 2018   08:13 Diperbarui: 22 Desember 2018   15:54 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I

Salah paham, misunderstanding, kesalahan-pahaman begitu mudah terjadi ditengah-tengah masyarakat yang apabila tidak cepat ditangani bisa menjadi konflik yang berkepanjangan. Bahkan tidak jarang terjadi keadaan menjadi krisis, karena semua pihak berhadapan-hadapan. Akibat lebih jauhnya adalah korban-korban bisa berjatuhan.

Dalam tahun-tahun politik yang sedang dialamai oleh negeri ini, menyebabkan tingkat kesalahpahaman ini semakin tinggi. Publik menjadi sangat sensitif dan mudah tersulut oleh hal-hal yang sangat sepele dan tidak bermanfaat. Ungkapan, kata-kata, lirikan mata, bahasa tubuh, sikap menjadi alat-alat yang menjadi pesan sensitif ditengah-tengah masyarakat.

Cermati berita-berita yang disajikan oleh media televisi tentang maraknya salah paham ini di kelas masyarakat tertentu, hingga terjadi perkelahian, pertengkaran, bahkan hingga menelan korban jiwa dengan sia-sia saja.

II

Pemberitaan di media mencatat di pertengahan Desember, 2018, Polsek Ciracas dibakar massa, termasuk beberapa mobil kepolisian dirusak.

Berita TV itu merupakan lanjutan kejadian sehari sebelumnya ketika penjaga parkir di jalan raya dalam wilayah kantor polisi tersebut memindahkan motor, yang ternyata milik seorang kapten TNI. Pemilik motor tidak senang dan terjadilah pertengkaran mulut, keadaan sepele menjadi salah paham bahkan pertengkaran fisik saling mendorong yang dikerumuni beberapa orang.

Pada waktu itu, seorang anggota TNI lainnya sedang berjalan di jalan di mana terjadi keributan antara kapten dan beberapa petugas parkir, yang menurut koresponden liputan TV ingin melerai. Apa yang terjadi? Bukannnya pertengkaran menjadi tenang, laporan pandangan mata kejadian itu menunjukkan terjadinya pengeroyokan atas kedua anggota TNI.

Tidak dijelaskan dalam berita TV itu, namun mungkin ada petugas parkir kemudian ditahan dikantor Polsek wilayah tersebut, maka kawan-kerabat petugas parkir pada hari berikutnya dengan kekuatan 20 orang memaksa masuk ke kantor Polsek, dan berbuat anarki.

III

Dari berita TV tersebut dapat dianalisa bahwa pertengkaran bisa menjadi krisis pengeroyokan dan perusakan, yang diawali dari cecok mulut, komunikasi terdestorsi. Kaum awam sering berkata "jagalah mulutmu", agar tidak terjadi pertengkaran, namun penulis Semba Biawan dalam bukunya Your Words, Your Power - Berkata Baik dan Benar atau Diam - Meraih Keinginan melalui Teknik Interaksi dan Komunikasi Efektif, menulis di halaman 12-13:

 "Sebenarnya bukanlah mulut yang harus dijaga, seharusnya warna pikiran di otak yang harus dikontrol. Mulut hanya dibawah perintah otak. Jika kondisi emosi yang ada di otak, yang dalam bahasa awam diistilahkan dengan suasana hati tidak menyenangkan, maka ucapan yang keluar melalui mulut tidak menyenangkan pula."

Mulut sebagai alat pengantar pesan dari otak, sangat rentan terhadap kekeliruan dan kesalahan, sehingga gara-gara mulut orang bisa salah paham, bertengkar, bahkan bisa saling membunuh.

Maka orang mengatakan bahwa diantara bagian tubuh yang kita miliki, mulutlah yang sangat berpotensi menimbulkan keonaran. 

Di halaman 17, selanjutnya Semba Biawan menulis: Warna pikiran di otak secara otomatis mewarnai cara berbicara. Otomatis artinya kita tidak bisa mengintervensi hubungan tersebut, kecuali sumbernya kita ubah, yaitu warna pikiran otak dan suasana hati.

Lebih lanjut Semba menuliskan bahwa warna pikiran sebagai induk semangnya adalah kondisi emosi yang ada di salah satu satu bagian otak yang disebut suasana hati. Warna pikiran dan suasana hati tercermin pada nada suara dan pemilihan kata-kata yang diucapkan. Reaksi dan respons komunikasi verbal dan non-verbal (gerakt ubuh) memberi penekanan sehingga secara otomatis keluar kata-kata kasar, muka menjadi merah, kemudian tangan digerakkan nuntuk menggebrak atau memukul. Terjadilah fighting.

Teori Walter Cannon sebagai fight or flight dapat diartikan sebgai bertarung akibat rangsangan kuat emosi yang timbul atau flight, menghindar. Fight (tulisan tanpa huruh "l") lebih mudah tercetus dalam kondisi banyaknya orang yang ikut menyaksikan, peristiwa kejadian dikisahkan ini terjadi di jalan raya yang ramai.

Kedua belah pihak dalam peristiwa tersebut mengalami tertekan, karena rangsangan warna otak dan suasana hati,  merasa tidak nyaman, maka timbullah emosi, yang biasanya disebut "naik darah", maka terjadilah tindakan pemukulan dan berlanjut menjadi perkelahian.

Secara ilmiah sebenarnya mudah cara mengatasinya; namun bila dipicu dengan keadaan lingkungan yang ramai, banyak orang tertarik menyaksikan, tidak bisa lagi mengambil tindakan tenang; kecuali warna otak dan suasana hati mereka yang terpicu keadaan tidak nyaman sangat kuat dapat menjaga dan menguasai untuk melawan emosi negatif.

IV

Kehidupan sosial yang sangat beragam nan majemuk menjadi lahan yang sangat subur terjadinya salah paham. Apalagi kalau kelas publiknya memiliki tingkat pendidikan yang sangat rendah, maka salah paham ini sangat mudah terjadi.

Belum lagi apabila masyarakatnya berada dalam kelas ekonomi terpuruk, sebutkan miskin, akan melengkapi situasi yang sangat potensial terjadi kesalahanpahaman. Ini bisa dilihat dari berbagai fenomena yang terjadi, dimana yang jadi korban adalah kelas masyarakat yang marginal ini.

Masih ingat beberapa bulan yang lalu, dua orang tukang becak berantam hingga makan korban, hanya karena berbeda pilihan politik, berbeda pilihan calon presiden maka mereka berhadap-hadapan, mereka bertengkar, mereka berkelahi, dan selesai dengan korban jiwa. Ini kejadian yang sangat memelas, memprihatinkan dan tentu saja tidak boleh dibiarkan terus terjadi.

Pemimpin dan para pemimpin, dalam segala level dan arena masing-masing, memiliki tanggungjawab besar terhadap bagaimana mengelola krisis sosial ditengah-tengah masyarakat. Hanya mereka yang memiliki kewenangan, sebutkan para penguasa dan kekusaan yang bisa mengelola dengan cepat situasi kesalahpahaman ini.

Menjadi orang "kuat" sebenarnya tuntutan mereka yang menjabat sebagai pimpinan, baik diantara kelompok tertentu sebagai supervisor, juga guru, dosen termasuk pelatih, dan pengamat di kelompok yang lebih besar atau tanggung jawab mereka lebih tinggi sebagai manajer, dan pasti sebagai pimpinan pucuk atau direktur perlu; sekali dapat mengelola emosi agar tidak timbul salah paham yang memicu kekerasan dan menimbulkan krisis.

Artikel yang menarik dan bermanfaat ini dikirim dan minta dipublikasi oleh sahabat baik saya, Mr. Ludwig Suparno, seorang pakar dan berpengalaman panjang dibidang Crisis and Stress Managemenet Specialist. Juga penulis buku-buku, antara lain berjudul  Manajemen Stres agar Tidak Stres, dan buku berjudul Manajemen Krisis, Isu, dan Risiko

Yupiter Gulo, 21 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun