"Sebenarnya bukanlah mulut yang harus dijaga, seharusnya warna pikiran di otak yang harus dikontrol. Mulut hanya dibawah perintah otak. Jika kondisi emosi yang ada di otak, yang dalam bahasa awam diistilahkan dengan suasana hati tidak menyenangkan, maka ucapan yang keluar melalui mulut tidak menyenangkan pula."
Mulut sebagai alat pengantar pesan dari otak, sangat rentan terhadap kekeliruan dan kesalahan, sehingga gara-gara mulut orang bisa salah paham, bertengkar, bahkan bisa saling membunuh.
Maka orang mengatakan bahwa diantara bagian tubuh yang kita miliki, mulutlah yang sangat berpotensi menimbulkan keonaran.Â
Di halaman 17, selanjutnya Semba Biawan menulis: Warna pikiran di otak secara otomatis mewarnai cara berbicara. Otomatis artinya kita tidak bisa mengintervensi hubungan tersebut, kecuali sumbernya kita ubah, yaitu warna pikiran otak dan suasana hati.
Lebih lanjut Semba menuliskan bahwa warna pikiran sebagai induk semangnya adalah kondisi emosi yang ada di salah satu satu bagian otak yang disebut suasana hati. Warna pikiran dan suasana hati tercermin pada nada suara dan pemilihan kata-kata yang diucapkan. Reaksi dan respons komunikasi verbal dan non-verbal (gerakt ubuh) memberi penekanan sehingga secara otomatis keluar kata-kata kasar, muka menjadi merah, kemudian tangan digerakkan nuntuk menggebrak atau memukul. Terjadilah fighting.
Teori Walter Cannon sebagai fight or flight dapat diartikan sebgai bertarung akibat rangsangan kuat emosi yang timbul atau flight, menghindar. Fight (tulisan tanpa huruh "l") lebih mudah tercetus dalam kondisi banyaknya orang yang ikut menyaksikan, peristiwa kejadian dikisahkan ini terjadi di jalan raya yang ramai.
Kedua belah pihak dalam peristiwa tersebut mengalami tertekan, karena rangsangan warna otak dan suasana hati, merasa tidak nyaman, maka timbullah emosi, yang biasanya disebut "naik darah", maka terjadilah tindakan pemukulan dan berlanjut menjadi perkelahian.
Secara ilmiah sebenarnya mudah cara mengatasinya; namun bila dipicu dengan keadaan lingkungan yang ramai, banyak orang tertarik menyaksikan, tidak bisa lagi mengambil tindakan tenang; kecuali warna otak dan suasana hati mereka yang terpicu keadaan tidak nyaman sangat kuat dapat menjaga dan menguasai untuk melawan emosi negatif.
IV
Kehidupan sosial yang sangat beragam nan majemuk menjadi lahan yang sangat subur terjadinya salah paham. Apalagi kalau kelas publiknya memiliki tingkat pendidikan yang sangat rendah, maka salah paham ini sangat mudah terjadi.
Belum lagi apabila masyarakatnya berada dalam kelas ekonomi terpuruk, sebutkan miskin, akan melengkapi situasi yang sangat potensial terjadi kesalahanpahaman. Ini bisa dilihat dari berbagai fenomena yang terjadi, dimana yang jadi korban adalah kelas masyarakat yang marginal ini.