I.Tampang Boyolali
Pidato Prabowo Subianto tentang "tampang Boyolali" yang disampaikannya pada saat meresmikian Posko Badan Pemenangan Prabowo-Sandiaga Uno di Kabupaten Boyolali telah menjadi berita yang viral di hampir semua pemberitaan, baik media online, sosial media, televise dan bahkan koran majalah. Isu atau lebih tepatnya polemic tentang "tampang Boyolali" memiliki nilai berita yang sangat luar biasa.
Bahkan, "tampang Boyolali" telah menjadi "komoditas" politik yang tidak pro sama sekali dengan Prabowo-Sandi. Ibarat mendapatkan "amunisi" baru, lalu polemic tampang boyolali menjadi alasan untuk melakukan berbagai aksi, termasuk protes keras dari masyarakat dan komunitas Boyolali yang merasa di hina dan direndahkan oleh pernyataan yang sungguh menggangu itu.
Sangat mudah dimengerti reaksi dan dinamika yang muncul, baik yang secara spontasitas maupun yang memang betul-betul terencana dilakukan. Artinya, maknanya sangat kental dengan kepentingan kontestasi politik, pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2019 yang akan datang.
Pemahaman, telaahan, kajian dan semua percakapan sekarang menunjukkan bahwa pernyataan Prabowo ini bagaikan senjata makan tuannya sendiri. Karena, tim pemenangan akan sangat capek, dan menguras sumber daya, energy mereka untuk mengkaunter dan menjelaskan makna dari pernyataan Prabowo tersebut.
Nampaknya, mirip dengan kasus hoaks yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet beberapa bulan yang lalu. Sungguh sebuah strategi dan cara yang sangat tidak efektif dalam memenangkan sebuah kontestasi besar pemilu yang akan datang ini.
II. Komunikasi Tidak Nyambung
Dalam teori budaya komunikasi yang dilakukan oleh Prabowo adalah komunikasi dengan menggunakan High Context Culture, sementara public meresponsenya dengan menggunakan Low-Context Culture. Pesan yang disampaikan oleh Prabowo dengan Budaya Konteks Tinggi tidak difahami oleh publik karena menggunakan Budaya Konteks Rendah.
Jadi, tidak nyambung antara pesan yang disampaikan dengan pesan yang diterima. Bahkan, bukan saja tidak nyambung, masyarakat ptrotes, marah, geram dan mau memperkarakan pesan yang menurut mereka "menghina" masyarakat Boyolali itu.
Mengapa tidak nyambung, karena si pemberi pesan tidak mampu menjelaskan dengan baik, logis -- aragumentatif, berdasarkan fakta dan informasi yang akurat, menyeluruh dan tidak multi interpertasi.
Sementara itu publik memahami pesan itu dengan negatif, merendahkan martabat dan harga diri masyarakat karena dianggap "tampang Boyolali" dan bukan tampang, seperti, orang kaya, orang berpendidikan atau tampang metropolitan.
Ketika gap dan ruang yang ada semakin lebar tanpa ada komunikasi langsung dengan si pengirim pesan dengan penerima pesan, maka ketidaknyambung-nya pesan ini semakin besar dan semakin melebar dan semakin menjadi persoalan. Apalagi kalau sudah masuk diwilayah hukum akan menjadi tidak produktif bagi siapa saja.
Sesungguhnya, komunikasi yang tidak nyambung ini hampir selalu terjadi ditengah-tengah masyarakat bahkan didalam keluarga atau dalam organisasi perusahaan, komunikasi tidak nyambung muncul. Memang, kalau tidak disadari dan dibiarkan maka akan melahirkan banyak masalah yang hanya membuat kinerja organisasi, kinerja karyawan atau siapa saja yang terlibat tidak maksimal.
Itu sebabnya, dibtuhkan skill komunikasi yang benar, dibutuhkan kemampuan manajerial untuk mengelola komunikasi yang tidak nyambung itu, agar dampaknya tidak kemana-mana.
Salah cara mengurangi komunikasi yang tak nyambung, mis-communication dan mis-understanding dalam komunikasi, dengan memahami makna High-Context Culture versus Low-Context Culture.
III. High-Context Culture versus Low-Context Culture.
Didalam banyak buku literature dijelaskan dengan sederhana tentang salah satu dimensi dalam budaya organisasi adalah High-Context Culture dan Low-Context Culture.Â
Keduanya menjelaskan bagaimana seseorang pemimpin menyampaikan pesan sesuai dengan koteks dan situasi organisasi atau orang yang di pimpinnnya. Artinya, seseorang harus memahami dengan tepat saat menyampaikan pesan. Pesan harus sesuai dengan koteksnya dan cara menyampaikannnya.
High-context Culture atau Budaya Konteks Tinggi sering difahami sebagai perkataan atau pernyataan yang hanya sekedar basa basi atau kata yang sekedar candaan yang tidak memberi arti yang serius, dan suka berputar-putar ketika menyampaikan pernyataan sebelum sampai pada makasud dan arti yang sesungguhnya. Â
Komunikasi dengan menggunakan High Context membutuhkan informasi-informasi tambahan untuk memahami arti dari isi atau pesan komunikasinya karena pesannya sering tidak to the point atau tidak langsung pada pesannnya, karena semuanya dibungkus dengan tersirat saja.
Sedangkan Low Context Culture merupakan komunikasi yang dilakjukan dimana perkataan atau sebuah pernyataan yang tidak mengandung candaan dan langsung menjelaskan maksud atau arti sebenarnya yang diinginkan atau dikehendaki kepad si penerima pesan.
Sehingga dengan menggunakan komunikasi yang Low-context, maka sangat mudah bagi pendengar untuk menginterpretasikan atau mencerna dan memahami setiap kata-kata yang disampaikan, karena didalamnya menampilkan makna tersurat dengan jelas, tidak bermakna mendua dan ganda sehingga si pendengar tidak perlu banyak usaha untuk mengartikannya lagi.
To the point, langsung ke maknanya itulah yang dilakukan oleh seorang pemimpin saat memberi pesan kepada bawahannya dengan gaya Low-context culture.
Mengapa harus ada dua jenis pola komunikas high dan low comntext ini? Jawabannya sangat sederhana, yaitu karena komunitas atau masyarakat itu berbeda-beda budayanya, kebiasaannya dan sistem nilai-nilai yang ada ditengah-tengah mereka. Sistem nilai itu menjadi penjaga dan perawat pesatuan dan interaksi sosial yang harus dijalankan diantara mereka.
Dengan budaya yang dirawat dengan baik, maka lahirlah harmonisasi diantara semua anggotanya. Dan itu menjadi sumber energy, sumber kekayaan membangun komunitas dengan sinergisitas yang terus menerus meningkat.
Sangat berbahaya ketika tiba-tiba ada interuksi dengan pesan-pesan yang memporak-porakkan sistem nilai yang ada. Mereka tidak mau itu terjadi, sehingga ketika ada pesan yang datang dan bertentangan dengan yang diyakini mereka maka penolakan akan terjadi dengan sendirinya. Menolak dan melawan habis-habisan karena akan merusak harmonisasi yang sudah dibangun turun temurun.
IV. Pilih yang Baik: High-context atau Low-Context?
Tidak ada yang terbaik atau yang terburuk antara budaya konteks tigggi atau budaya konteks rendah, karena masing-masing memiliki konteks yang berbeda. Bahkan hasil-hasil penelitian memperlihatkan bahwa setiap negara di dunia memiliki ciri yang berbeda. Maksudnya ada negara yang cenderung menganut High-context Culture, dan ada juga sejumlah negara cenderung kebiasaan mereka adalah Low-Context Culture.
High-context Culture :
Sebenanrnya high contex ini memperlihtakan pengelompokkan kebiasaan orang cenderung pada aktifitas sosial kemaasyarakatan, persahabatan dan mereka berada pada level berpikir terbuka, ya open mind, tanpa ada pengalang terjahdap masalah yang dihadapi. Segalanya dilihat dalam situasi yang terbuka untuk dipertimbangkan.
Berkaitan dengan high context culture ini, paling tidak ada 5 karakteristik yang bisa menjeskan implementasinya, yaitu :
1. Â Â Â Dalam proses pengambilan keputusan terhadap sebuah masalah cenderung lamban dan bahkan diperlambat. Tentu bukan dalam arti mengulur-ulur waktu dan juga bukan karena mereka tidak pinter dan cerdas tetapi karena sikap toleransi menjaga agar orang lain tidak tersinggung.
2. Â Â Â Sering keluar dalam konteks ketika sebuah situasi problematic dihadapi. Pembahasan sering lari dan menyimpang kemana-mana sehingga menjadi tidak efisien dan membosankan.
3. Â Â Â Menggunakan high context dalam negosiasi menjadi sangat lambat karena tidak langsung kepada point problemnya. Ini sangat mengganggu dan banyak berbahayanya. Walaupun ada baiknya juga ketika yang dihadapi menggunakan pendekatan yang sama.
4. Â Â Â Sering dicampur adukkan antara masalah personal dengan masalah pekerjaan bagi yang menggunakan high context culture ini. Nampak kurang profesional dalam interaksinya.
5. Â Â Â Dalam organisasi, pmipinan yang menggunakan pendekatan high context culture ini menciptakan jarak antara bawahan dengan atasan, yang dalam banyak hal tidak productive.
Dengan demikian, dalam pola komunikasi dengan pendekatan konteks tinggi ini, biasanya sangat singkat, penuh makna dan terkadang puitis, dan dengan demikian pada umumnya sangat cocok dilakukan hanya dalam kelompok atau group sendiri saja dan bukan untuk keluar atau outsider. Kalau keluar maka menjadi aneh dan lucu dan bisa menjadi sumber konflik bila salah diartikan.
Orang-orang yang berbudaya konteks tinggi lebih menekankan pada isyarat kontekstual sehingga ekspresi pada wajahnya, tensinya, bahkan gerakan tubuh serta kecepatan dalam interaksi lebih memiliki makna. Menarik juga, karena mereka menuntut orang lain lebih memahami suasana hati yang tidak terucapakan, isyarat halus dan isyarat lingkungan.
Low-context Culture :
Pendekatan Low-context culture merupakan kebalikan dari semua karakteristik dan ciri yang dimiliki oleh high-contex culture. Artinya bahwa low context ini akan cenderung pada individualitas dan professionalitas, sehingga setiap orang akan sibuk fokus pada tujuan yang dimiliki. Â Dengan menggunakan Low context maka akan cenderung terkotak-kotak dalam memilah suatu masalah sehingga tidak ada ruang bagi masalah lain untuk mempengaruhi masalah yang lain. Disana sangat kental dengan ketegasan, kejelasan, sistemik dan tuntas.
Dalam implementasi manajerial organisasional, akan memperlihatkan beberapa hal yang menajdi ciri dari penggunaan low-context culture ini, yaitu :
1. Â Â Â Pengambilan keputan menjadi sangat cepat, terfokus dan efisien. Namun cenderung tidak terlalu memperdulikan perasaan orang lain karena terbiasa dengan to the point saja, tanpa basa-basi.
2. Â Â Â Dalam menyelesaikan masalah atau problem solving, biasanya tidak bertele-tele karena langsung menukik pada inti dan esensi masalah yang dihadapi. Dengan demikian, tidak melebar dan menciptakan masalah lain yang tidak perlu.
3.    Menggunakan pendekatan low-context culture alam bernegosisasi akan cepat tuntas karena tidak lagi melebar kemana-mana, namun biasanya dilakukan dengan semua dokumen dan bukti yang terdokumentasi dengan baik  dan kuat.
4. Â Â Â Menggunakan low context dalam menjalankan kegiatan bisnis menjadi sangat mengutamakan professionaltas karena tidak mencampuradukan dengan masalah-masalah pribadi dengan pekerjaan yang dikelola
5. Â Â Â Menjadi sangat menarik karena hubungan antara atasan dengan bawahan terbuka dan tidak terlalu fokus pada sapaan kehormatan atau sapaan basa-basi.
V. Indonesia itu High context atau Low context
Menurut Anda, apakah Indonesia termasuk dalam kutub yang mana, high atau low context?
Hasil-hasil penelitian menunujukkan juga bawa kedua kutub ini hanyalah kecenerungan semata. Artinya, suatu negara atau suatu komunitas biasanya kedua kutub ini selalau hadir. Hanya saja ada yang dominan dan konteksnya berbeda. MIsalnya, didalam Indonesia sendiri, dengan beragam suku dan daerah maka masing-masing berbeda.
Suku Jawa misalnya cenderung pada High-context culture, sementara Suku Batak cenderung pada Low-context culture. Demikian juga dengan suku-suka lainnya yang ada di seluruh tanah air.
Orang Jepang dalam berhubungan dengan keluarga cenderung menggunakan high-context, sementara orang Jepang kalau berhubungan dengan orang luar cenderung menggunakan low-context.
Pesan kuat dan pentingnya adalah setiap orang harus menyadari dan memahami sebuah lingkungan baik besar maupun kecil, ketika hendak berkomunikasi dengan orang lain. Agar tidak muncul mis-communication dan mis-understanding yang menlahirkan banyak masalah, konflik antara komunitas dan kekacauan interaksi sosial.
Jangan menggunakan High-context culture ditengah publik yang menggunakan Low-context culture, tidak nyambung dan menciptakan kegaduhan!
Yupiter Gulo, 6 November 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H