Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya "High Context", Pidato Prabowo tentang "Tampang Boyolali" Menjadi Tidak Nyambung

6 November 2018   10:34 Diperbarui: 6 November 2018   19:08 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

To the point, langsung ke maknanya itulah yang dilakukan oleh seorang pemimpin saat memberi pesan kepada bawahannya dengan gaya Low-context culture.

Mengapa harus ada dua jenis pola komunikas high dan low comntext ini? Jawabannya sangat sederhana, yaitu karena komunitas atau masyarakat itu berbeda-beda budayanya, kebiasaannya dan sistem nilai-nilai yang ada ditengah-tengah mereka. Sistem nilai itu menjadi penjaga dan perawat pesatuan dan interaksi sosial yang harus dijalankan diantara mereka.

Dengan budaya yang dirawat dengan baik, maka lahirlah harmonisasi diantara semua anggotanya. Dan itu menjadi sumber energy, sumber kekayaan membangun komunitas dengan sinergisitas yang terus menerus meningkat.

Sangat berbahaya ketika tiba-tiba ada interuksi dengan pesan-pesan yang memporak-porakkan sistem nilai yang ada. Mereka tidak mau itu terjadi, sehingga ketika ada pesan yang datang dan bertentangan dengan yang diyakini mereka maka penolakan akan terjadi dengan sendirinya. Menolak dan melawan habis-habisan karena akan merusak harmonisasi yang sudah dibangun turun temurun.

IV. Pilih yang Baik: High-context atau Low-Context?

Tidak ada yang terbaik atau yang terburuk antara budaya konteks tigggi atau budaya konteks rendah, karena masing-masing memiliki konteks yang berbeda. Bahkan hasil-hasil penelitian memperlihatkan bahwa setiap negara di dunia memiliki ciri yang berbeda. Maksudnya ada negara yang cenderung menganut High-context Culture, dan ada juga sejumlah negara cenderung kebiasaan mereka adalah Low-Context Culture.

High-context Culture :

Sebenanrnya high contex ini memperlihtakan pengelompokkan kebiasaan orang cenderung pada aktifitas sosial kemaasyarakatan, persahabatan dan mereka berada pada level berpikir terbuka, ya open mind, tanpa ada pengalang terjahdap masalah yang dihadapi. Segalanya dilihat dalam situasi yang terbuka untuk dipertimbangkan.

Berkaitan dengan high context culture ini, paling tidak ada 5 karakteristik yang bisa menjeskan implementasinya, yaitu :

1.      Dalam proses pengambilan keputusan terhadap sebuah masalah cenderung lamban dan bahkan diperlambat. Tentu bukan dalam arti mengulur-ulur waktu dan juga bukan karena mereka tidak pinter dan cerdas tetapi karena sikap toleransi menjaga agar orang lain tidak tersinggung.

2.      Sering keluar dalam konteks ketika sebuah situasi problematic dihadapi. Pembahasan sering lari dan menyimpang kemana-mana sehingga menjadi tidak efisien dan membosankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun