Mohon tunggu...
Yuniar Khairani
Yuniar Khairani Mohon Tunggu... lainnya -

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aroma Kesedihan

2 April 2015   11:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:38 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu seolah memang begitulah yang telah ditulis dalam Buku Nasib, setiap pertemuan bersama Naira adalah saat langit membuka dan menderaskan air yang menghujan bumi.

Dihadapanku, Naira berdiri seperti sebatang pohon yang melengkung setelah badai menerpa. Hatiku teriris melihatnya. Ia tak lagi sama dengan Naira yang pertama kali kulihat menantang hujan. Ia berbeda dengan Naira yang membuatku mengira terbuat dari bongkahan gunung es atautebing batu karang.

Ia menunduk sambil mengusap perutnya dengan lembut.

Aku menunduk ke arah yang sama dan menyadari kalau lengkungan tubuhnya mungkin karena bebannya pada bagian tubuh yang dielusnya.

“Ada apa?” suaraku terdengar cemas. Aku sendiri merasa tak sabar atas sikapku. Aku ingin segera tahu apa yang terjadi. Begitu Naira menutup teleponnya tadi, aku melesat seolah terbang ke tempat ini.

Naira menatapku dengan wajahnya yang bergurat, dan cekungan dalam di bawah matanya.

“Aku akan mengatakan padanya kalau ini sudah berakhir.” Naira mengatakannya perlahan, seolah aku tak akan memahaminya jika ia berkata lebih cepat.

“Aku wanita yang punya harga diri! Aku tak akan membiarkan diriku terus berada bersamanya. Aku manusia yang ingin bahagia.” Naira menegaskan kata-katanya, dan mengulanginya beberapa kali. Tubuhnya gemetar. “Entah kenapa aku merasa harus mengatakannya padamu,” isaknya, “kurasa aku hanya membutuhkan kekuatan.”

Aku memegang kedua lengannya dan mengangguk untuk menguatkannya. “Ya. Lakukan apapun yang kau inginkan, Naira. Apapun...” ujarku.

“Aku tak ingin bayiku tumbuh bersama seorang ayah yang penyiksa,” suaranya bergelombang.

Aku terkejut, tapi mulai memahami situasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun