Mohon tunggu...
Yuniar Khairani
Yuniar Khairani Mohon Tunggu... lainnya -

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aroma Kesedihan

2 April 2015   11:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:38 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memalingkan wajah ke atas. Berpura-pura sangat tertarik memandangi langit-langit restoran. Lalu kudengar dia berkata dengan suaranya yang ringan. “Seandainya saja aku bisa terus bersamamu...”

Kata-katanya terdengar seperti paduan orkestra di panggung yang megah. Hingga aku bisa mengingat detik-detik ketika ia mengucapkannya telah membuat kegelisahanku terurai seketika. Sejak itu namanya sering kusebut diam-diam saat malam-malam berdetak panjang.

“Menurutmu, kenapa manusia harus menjalani keberadaannya di dunia?” Naira tiba-tiba bertanya pada suatu senja. Kami berdua memutuskan berjalan sepulang jam kantor. Sebelum perempatan di depan ada sebuah bangku panjang berwarna hijau tepat di tepi taman. Jika kami beruntung, mungkin kami bisa duduk disana untuk berbicara apa saja.

Jackpot! Bangku itu kosong!” kuraih telapak tangannya dan membawanya berlari kecil mengejar bangku yang duduk dengan anggun menunggu kedatangan kami. Aku sangat gembira mendapati bangku ini lengang.

“Kau tak menjawab pertanyaanku,” setengah merutuk, setengah terengah karena berlari, ia menuntut jawabanku.

“Kurasa manusia harus menjalani hidupnya untuk menyempurnakan kesadaran dirinya,” ujarku.

Naira menghela nafas lirih. “Lalu jika ada seseorang tak bahagia, apakah berarti kesadaran dirinya tak sempurna?”

“Aku tak yakin,” aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Dalam pembicaraan ini aku menangkap matanya yang luka. Luka yang tak kuketahui darimana asalnya. Dan aku ingin pembicaraan ini segera beralih langsung ke inti pembicaraan saja. Maka aku berkata, “Seorang filsuf bernama Heidegger mengatakan setiap bayi yang lahir membawa kesadaran akan kematiannya. Karena justru kematian seseorang yang membuatnya bermakna dan membawanya pada kebahagiaan.”

“Berarti Heidegger keliru,” gumamnya. “Aku tak ingin mati untuk mendapatkan kebahagiaan. Aku ingin hidup dan bahagia di dalamnya.”

“Kau bahagia, bukan?” tanyaku canggung. Merasa terpojok tiba-tiba karena merasa tak benar-benar mengenalnya.

Naira menatap ke arahku. Lekat. Sebelum akhirnya setetes air matanya jatuh di pipi kiri, lalu setetes lagi di pipi kanan. “Kalau aku bahagia, aku tak perlu menangis di bawah hujan saat itu agar tak seorangpun tahu.” Suaranya berderak pelan, dan pecah perlahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun