(Cerpen ini pernah dimuat di majalah Femina)
Barangkali hingga kini Naira tak pernah tahu kalau bayangannya menyisakan belenggu dalam kehidupanku. Kepergian Naira di senja kala itu, seperti ujung belati yang siap menusukku berkali-kali, yang meskipun aku mati belati itu tak akan berhenti menusukku. Setiap kali aku menoleh ke belakang atas sebab apapun, aku selalu merasa apapun yang kulihat akan tampak untuk terakhir kalinya bagiku. Seperti waktu itu.
Aku tak akan pernah lupa.
***
Naira adalah Account Executive di kantor yang sama dengan tempatku bekerja.Tadinya aku hanya mengenalnya sebagai rekan kerja, kalau saja pertemuan malam itu tak terjadi.
Malam itu ketika aku keluar dari sebuah restoran Jepang, hujan turun dengan deras. Semua orang terlihat berlari menepi mencari perlindungan, kecuali seorang gadis yang berdiri di tengah derasnya timpahan hujan.
Kukira tadinya ia akan berlari menepi menghindari ribuan tusukan, tapi ternyata tidak. Ia justru menengadahkan wajahnya menantang langit. Membiarkan semua membasahi hingga mata kaki. Ia tak berusaha merapatkan jaket suedenya, seolah berusaha agar jumpsuit di dalamnya ikut basah lebih cepat. Dari belakang ia tampak seperti seorang yang berniat terjun dari bibir jurang.
Entah kenapa pikiran itu yang menyelinap di benakku. Membuat perutku melilit dan jantungku berhenti berdetak. Antara ingin berteriak menahannya, atau diam-diam mendatangi dan memeluknya dari belakang. Pikiran ini membuatku gila.
Aku tak tahan melihatnya, dan mulai berjalan ke arahnya dengan berbekal payung. Sungguh ini bukan karena aku lelaki sok romantis. Aku bahkan saat itu tak merasa mengenalnya. Semua kulakukan lebih karena aku kesal dan khawatir melihat kekeraskepalaannya.
“Kurasa payung ini tak ada gunanya untukmu,” sesalku tiba-tiba, merasa bodoh karena menaungkan payung di atas kepala seseorang yang sepenuhnya telahkuyup. Aku menoleh menatapnya, dan terkejut saat menyadari kalau ia adalah Naira.
Meski kaget karena tiba-tiba Manager HRD yang selama ini hanya ditemuinya di kantor berdiri di bawah payung berdua dengannya, ia menoleh ke arahku tanpa suara. Di bawahcahaya lampu jalanan harus kuakui ia sangat cantik. Wajahnya lembut, dengan sepasang mata yang menatap tenang. Entah kenapa aku baru menyadarinya sekarang.
“Malam ini aku sedang membutuhkan hujan. Sendirian.” Ia berkata lirih, namun tegas.