Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengurai Rasa ( 1)

11 Mei 2020   08:27 Diperbarui: 11 Mei 2020   08:30 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                                  Sumber : metrowestdailynews.com

            Sinta membuka jendela apartemen yang baru dihuni  selama musim semi ini. Semilir angin dingin menerpa wajahnya. Sweet smell of spring menyebar  bersamanya. Aroma pollen, serbuk sari bunga-bunga, adalah bau  khas   musim semi yang selalu dirindukannya.  Dihirupnya sesaat sebelum matanya menangkap  pemandangan  di seberang jalan. Pohon blossom chery berjajar rapi di kanan kiri jalan mengakhiri hamparan rumput  yang terbentang dari sisi luar pagar apartemen. Daunnya datar  sebesar telapak tangan berwarna hijau.  Bergoyang pelan seirama tiupan angin. Blossom Chery berdaun pink  menjadi sesuatu yang sangat  istimewa karena hanya ada di Wolcott Park dan sebagian kecil wilayah Connecticut. Orang-orang datang ke sana hanya untuk melihatnya.

         "Minggu ini aku dapat shift pagi," suara Ratri terdengar dari ambang pintu kamarnya. Sinta mengenalnya hampir setahun sejak mereka masih tinggal di Pittsburgh tetapi baru setelah pindah ke Hartford  mereka tinggal satu apartemen.

          Sinta dan Ratri bekerja di  Dan's Shell. Itu semacam jaringan mini market di sekitar area pompa bensin. Di sana Ratri  menjadi pelayan toko yang sering juga disebut convenience store oleh penduduk lokal.  Dia  melayani pembeli yang memerlukan snack , minuman  atau rokok.  Biasanya mereka ke sana setelah mengisi bensin. Sementara itu Sinta  bertugas di pompa bensin. Dia tak akan mau melakukan pekerjaan seperti itu  di  Indonesia apalagi di Yogya, tempat keluarganya tinggal sekarang. Tetapi di sini tidak ada pilihan lain.

         Sama seperti dirinya, Ratri yang berasal dari  sebuah kota kecil di Jawa Timur datang ke Amerika dengan tujuan berburu dollar  untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Bedanya Ratri  belum menikah meski usianya tiga lima sedangkan Sinta sudah berkeluarga.  Sinta tiba di New York City setahun yang lalu dengan visa turis yang hanya berlaku selama enam bulan  atau paling lama setahun. Padahal  sejak awal dia  berniat mendapatkan  pekerjaan di Amerika yang akan memberinya banyak uang. Menurut perhitungannya setelah enam bulan dia bisa membawa Suami dan anaknya untuk tinggal di negeri impiannya. Harapan itu kelihatannya makin jauh dari jangkauannya. Sebagai pekerja illegal dia  berpindah-pindah tempat memburu bayaran yang  sepadan untuk low skill job.  Dari New York,  Ohio , Pittsburgh  lantas ke Hartford setelah mendapat telpon dari kenalannya sesama pekerja illegal dari Indonesia. Tetapi low skill job hanya akan mendapatkan low payment. Baik Sinta maupun Ratri harus rela

dibayar rendah meskipun masih terbilang tinggi dibandingkan bayaran rata-rata pekerja di Indonesia. Setiap bulan  mereka bisa mengirim uang  secara rutin kepada keluarganya. Setidaknya  Sinta bisa meringankan beban Eko dalam membesarkan Dina. Suaminya itu hanya bergantung pada jasa servis elektronik yang dibuka setiap hari di sekitar Pasar Demangan Yogya. Penghasilannya tidak menentu padahal kebutuhan sehari-hari tak  bisa menunggu.  Seiring pertambahan usia  kebutuhan Dina juga meningkat. Apalagi sekarang sudah kelas enam yang artinya membutuhkan lebih banyak biaya untuk ikut  les-les sebagai persiapan menghadapi ujian akhir sekolah.

            "Aku nanti shift siang," kata Sinta kemudian sambil merapikan meja di ruang tengah. Gelas dan mangkok yang tertinggal di sana dibawanya ke bak cuci. Ratri akan mencucinya nanti sebelum mandi. "Tapi jam sembilan ini aku jadi nanny . Lumayan buat nambah-nambah."

            "Berapa jam ?" Ratri mulai menghampiri bak cuci ketika bertanya.

            "Empat," jawab Sinta yang kini mulai menyedot debu dari karpet ruang tengah dengan vacuum cleaner tangan. Agak bising tapi masih kalah dengan suara musik dari kamar Ratri. " Kecilkan suara tape-nya Tri !  Ingat ini di Amerika. Kalau ada yang complaint  lalu menelpon polisi kita bisa mendapat masalah." Ratri menurut meskipun setengah bersungut-sungut.  Teriakan lagu Jamrud terdengar samar-samar di antara suara vacuum cleaner.

           "Mbak, aku ditawari kerja di restoran. Bayarannya lebih besar. Mungkin bulan depan aku mulai kerja di sana."

           "Bagus itu. Masih ada lowongan lagi?"

          "Ingin pindah kerja juga Mbak? Mungkin bisa menjadi koki."

          "Aku nggak bisa masakan western," keluh Sinta. "Jadi tukang cuci piring juga nggak apa-apa kalau bayarannya besar.

          "Ini restoran Cina dan masakan Asia. Boleh dicoba, Mbak."

          "Kamu dulu, gimana kondisinya, nanti aku bisa menyusul."

          Selesai membersihkan ruang, Sinta ingin segera mandi. Satu jam lagi dia akan chatting dengan Eko dan Dina untuk mengetahui keadaan mereka. Perbedaan waktu  dua belas jam antara Amerika dan Indonesia memudahkan mereka berkomunikasi. Eko dan Dina sudah di rumah pada malam hari sedangkan Sinta di sini punya waktu beberapa saat untuk berbicara  dengan mereka sebelum berangkat kerja.

          Seperangkat komputer   yang dibeli patungan dengan Ratri  diletakkan di ruang tengah. Dengan begitu mereka  bisa dipakai  bersama secara bergantian. Mungkin lebih baik membeli laptop supaya bisa membawanya ke kamar  agar lebih bebas membicarakan hal-hal pribadi. Tetapi masih bisa menunggu dua atau tiga bulan ke depan. Biasanya shift kerjanya berlawanan dengan Ratri sehingga dia bebas menggunakan komputer itu ketika Ratri pergi. Begitu juga sebaliknya  dengan Ratri  yang lebih sering  menggunakan komputer  pada waktu malam. Berkomunikasi dengan teman dan anggota keluarganya di samping juga menjelajah dunia maya untuk mendapatkan teman-teman baru dan informasi-informasi penting lainnya. Mencari pekerjaan pun bisa dilakukan dengan mudah lewat internet.

             Ketika Sinta menghidupkan komputer itu, Ratri membawakan sandwich dan secangkir  teh panas. Sandwich berisi telur ceplok  ditambah selada dan tomat tanpa irisan timun dan bawang Bombay. Sedikit saos tomat  dan mayonnaise sebagai perasa untuk semua bahan yang masih terasa tawar. Tehnya masih mengepulkan asap tapi Sinta sudah menduga kalau rasanya pasti terlalu manis. Sinta sudah empat puluh tiga sehingga merasa harus mengurangi yang manis-manis. Diabetes menjadi ancaman serius bagi kebanyakan perempuan Indonesia di atas empat puluh. Meskipun bukan keturunan penderita diabetes, Sinta tetap harus berhati-hati menjaga pola makannya.

             "Bagaimana kabar keluarga Mbak?" Ratri sedang berbasa-basi ketika duduk   di seberang meja komputer itu.

             "Mas Eko mulai kewalahan mengurus Dina. Sudah ABG . Mulai sering main ke luar rumah dengan teman-temannya."

             "Tapi  masih ada Bude  kan yang bisa membantu Mas Eko mengurus Dina?" Ratri menenangkan.

             "Bagaimana Bapak Ibu dan adik-adikmu ?" ganti Sinta bertanya mengimbangi kepedulian Ratri kepada keluarganya.

             "Bapak Ibu sehat. Orang desa banyak kerja di sawah jadi nggak pernah sakit  cuma nggak punya duit," Ratri tertawa kecil  lalu melanjutkan kalimatnya, " Adikku yang bungsu mau kuliah tahun ini. Juli nanti. Zahra , adikku yang nomor dua akan dilamar Desember nanti. Dapat orang Batak, Mbak."

            "Baguslah. Jangan cuma mau sama orang  Jawa , " Sinta berkomentar sambil tetap menatap layar monitor komputer. Dia merasa perlu membalikkan badan untuk memperhatikan reaksi Ratri ketika mengajukan pertanyaan lain. "Gimana kamu Tri? Sudah dapat bule belum. Waktu di Pittsburgh kelihatannya kamu  dekat dengan Mark. Bagaimana kelanjutannya?"

            "Kita cuma berteman kok Mbak. Teman Mark yang sebenarnya suka sama aku tapi aku masih belum menanggapi."

            "Nah, rugi sendiri kan? Sekarang di mana dia?"

            "Nggak tahu, Mbak. Nggak pernah kontak lagi. Dia dan Mark sama-sama kuliah di Carnegie Mellon University.  Lagipula  apa untungnya dapat mahasiswa. Nggak ada duitnya , Mbak."

           "Siapa tahu kalau kamu kerja di restoran Cina itu nanti ketemu jodoh. Mau bule apa Asia?"

          "Aku lebih suka Asia, Mbak.  Tapi kalau dapat bule juga nggak apa-apa."

          Jam dinding di ruang itu berdentang  tujuh kali. Ratri beranjak dari tempat duduknya menuju rak sepatu di dekat pintu. Setelah bersepatu dan menyandang tas tangan dia  segera berangkat kerja.  Perjalanan yang harus ditempuh tidak lebih  dari lima menit tetapi dia ingin datang lebih awal supaya tidak mendapat omelan dari  kasir yang sepertinya merasa sebagai pemilik Dan's Shell. Suka mengawasi semua pelayan dan mengontrol hampir semuanya.

          Sinta masih bisa menghabiskan setengah jam lagi di depan komputer.  Rumah  Bu Nancy yang memintanya menjadi nanny hanya   dua puluh menit naik bis dari halte terdekat. Lima menit jalan kaki dari apartemen ke halte itu. Bu Nancy akan menghadiri seminar di  Yale University  yang terletak di New Haven . Karena mengambil session ke dua maka seminar akan mulai jam sepuluh tetapi kalau tidak salah perjalanan ke sana bisa makan waktu sampai empat puluh lima menit. Sebelum jam sembilan Sinta diharapkan sudah tiba di rumahnya. Pesan Bu Nancy membuatnya segera mematikan komputer setelah  berpesan pada Dina agar selalu minta ijin ke Ayah atau Bude kalau mau main dengan teman-temannya supaya mereka tidak khawatir.

          Menjadi nanny  bukan pengalaman pertama buat Sinta. Semasa di Ohio dia lebih sering menjadi nanny dan  tukang cuci piring di restoran. Kadang-kadang mendapat tawaran pekerjaan di bagian cleaning service perkantoran atau mall. Karena semua orang bekerja, termasuk mahasiswa dan pelajar , Sinta tidak pernah merasa malu atau rendah karena pekerjaannya. Digaji per jam membuatnya lebih mudah menentukan pilihan ketika dihadapkan pada berbagai tawaran low skill job.

          Anak yang akan dijaganya selama lima jam nanti adalah Camia. Dia baru  tiga tahun tetapi sangat pintar.  Sebulan yang lalu untuk pertama kalinya Sinta bertemu dengannya. Menjaganya dari sore hingga tengah malam. Bu Nancy dan Pak David menghadiri  pesta pernikahan anak teman mereka di salah satu hotel di New Hartford. Selama ditinggalkan bersamanya,  Camia bermain piano dan menonton film-film kartun dari VCD koleksinya. Dia mengajak Sinta membuat pop corn yang dimakannya sambil menonton film kartun. Ketika sudah kelelahan dan mengantuk, dia minta ditemani tidur sambil dinyanyikan beberapa lagu. Bahkan dia meminta Sinta menyanyi lagu anak-anak di Indonesia. Keluarga mereka pernah tinggal di Jakarta selama dua tahun  tetapi Camia terlalu kecil untuk bisa mengingat banyak hal. Dia hanya ingat lagu Topi Saya Bundar dan ingin Sinta menyanyikannya.

          Selama perjalanan menggunakan bis, ada sesuatu yang menarik perhatian Sinta. Seorang mahasiswa yang duduk di  deretan kursi  di sebelahnya terlihat mencuri-curi pandang ke arahnya beberapa kali.  Menurut perkiraannya lelaki muda itu sekitar dua puluhan umurnya. Hanya saja badannya tinggi besar. Dia berambut kecoklatan atau orang-orang biasa menyebutnya dirty blonde, bukan pirang pucat tetapi coklat kehitaman. Matanya yang berwarna biru sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Dia mengingatkan pada boneka mainan  Dina ketika masih di play group  yang  berambut pirang dan memiliki sepasang mata biru. Lelaki mata biru itu kelihatan tidak tenang duduknya. Bergeser ke kanan dan ke kiri dengan leluasa karena tidak ada teman duduknya. Sesekali dia menggoyang-goyangkan kedua kakinya yang terlipat. Dia turun di halte dekat komplek pertokoan. Di situ juga berderet beberapa restoran. Barangkali restoran Cina yang diceritakan Ratri tadi pagi juga berada di situ.

          Bu Nancy sedang memanaskan mobilnya ketika Sinta sampai di depan pintu pagarnya. Dia menyambutnya dengan gembira. Setengah terburu-buru dia masuk  ke mobil setelah berpamitan kepada Camia dan Sinta.  Lima menit kemudian Sinta menerima SMS yang mengingatkannya agar memberikan obat kepada Camia sesudah makan siang. Ada sup sayur, pasta dan lasagna  untuk makan siang. Kalau ada kentang goreng, akan lebih baik untuk Sinta. Tapi mau bagaimana lagi, dia terpaksa makan apa yang sudah disediakan Bu Nancy. 

          Efek obat bagi Camia adalah mengantuk lalu tidur. Pekerjaan Sinta  menjadi lebih ringan. Bisa bersantai di ruang keluarga sambil membaca koran atau menonton TV.  Setiap menghadapi koran lokal dia selalu tergerak berburu pekerjaan. Dia terbiasa melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu. Pekerjaan part time selalu menarik minatnya. Mengumpulkan lebih banyak uang agar bisa mengirimkan lebih banyak ke Yogya. Edi harus membayar pinjaman ke Bank setiap bulan. Uang pinjaman itu digunakan untuk membiayai keberangkatan Sinta ke Amerika. Rumah tempat tinggalnya sebagai agunan pinjaman itu. Kalau tidak bisa melunasi pinjamannya dalam waktu lima tahun rumah itu akan menjadi milik Bank. Sinta tidak bisa tinggal diam di sini. Bekerja, bekerja dan uang itu yang selalu berputar-putar dalam pikirannya.

          Jam dua kurang lima menit ketika mobil Bu Nancy sampai depan pintu pagar, Sinta  sudah menunggu di teras.  Camia masih tidur pulas di kamarnya sehingga dia tidak perlu berpamitan  setelah jam kerjanya berakhir. Begitu mendengar suara mobil, Sinta segera berlari  membukakan pagar. Bu Nancy turun dari mobil dengan wajah letih  namun berusaha tersenyum. Dia mengeluarkan uang dari dompetnya untuk membayar jasa Sinta sebagai nanny sambil mengucapkan terima kasih.

          "Dia sudah minum obat?" Bu Nancy mencoba mengecek apakah pesannya  tadi dilakukan oleh Sinta.

          "Sudah. Dia masih tidur sekarang."

          "Oke. Terima kasih," ucapnya lagi sebelum dia menghilang di balik pintu. Membiarkan Sinta meninggalkan rumahnya. Dia tahu kalau Sinta akan kembali menutup pintu pagar rumahnya tanpa harus diingatkan. Tidak seperti perempuan-perempuan muda yang pernah bekerja sebagai nanny di rumahnya. Mereka lebih sering menjengkelkan  dengan membiarkan pagar terbuka dan rumah berantakan.

          Ketika menunggu bis datang, HP-nya berdering. Ratri menelponnya pada jam  yang seharusnya dia  belum selesai dengan shift paginya. Sungguh di luar kebiasaan. Pasti ada sesuatu yang luar biasa untuknya. Mudah-mudahan dia tidak sedang terlibat dalam masalah. Dengan dada berdebar-debar, Sinta menjawab panggilan di HP-nya.

          "Mbak, aku berhenti bekerja," terengah-engah suara  Ratri.

          "Ada apa Tri?"

          "Kasir itu membuat aku nggak tahan lagi. Tadi aku ke toilet sebentar pas kembali  didampratnya habis-habisan."

          Kasir itu namanya Nadia. Mungkin seumuran Sinta atau malah lebih muda. Dia perempuan yang selalu ramah kepada pembeli tetapi mudah marah menghadapi para pelayan toko yang dinilainya lamban melayani pembeli. Sinta jarang berinteraksi dengannya. Hanya kadang-kadang berbicara untuk urusan pekerjaan . Dia nampak berusaha menjaga jarak dengan semua orang di Dan's Shell supaya tetap mendapat penghormatan. Menurut gosip yang beredar dia masih kerabatnya Mr. Dan, pendiri Dan's Shell yang sampai saat ini mempunyai 10 gas stasion  yang tersebar di beberapa negara bagian.

           "Kamu mau langsung ke restoran Cina itu ?"

          " Iya, Mbak. Mau ke mana lagi? Nganggur nggak dapat uang."

          Sinta sama sekali tidak terganggu dengan berhentinya Ratri. Tidak ada yang perlu disesali atau dikhawatirkan.  Ratri bisa mulai bekerja di restoran Cina besok pagi  sehingga tidak harus menganggur. Mereka masih tetap satu apartemen.

         Ketika tiba di pompa bensin kasir sudah ganti shift.  Seorang perempuan yang lebih muda menggantikan Nadia. Kelihatannya mulai bekerja di sana hampir bersamaan dengan masuknya Ratri dan Sinta. Dia terlihat cekatan dengan tubuh kerempeng dan mata yang selalu berbinar-binar setiap kali bertatapan dengan pembeli. Bahkan Sinta pun menerima tatapan yang sama ketika membeli permen dan snack di sela-sela jam kerjanya.

         Malam harinya Sinta pulang agak terlambat  tetapi Ratri belum juga tiba di rumah sampai dini hari. Kekhawatiran menghinggapinya hingga membuatnya tak bisa tidur.  HP Ratri tak bisa dihubungi mungkin mati karena kehabisan baterei. Pagi harinya  ketika bangun dan melihat sepasang sepatu yang biasa dipakai Ratri ke Dan's Shell terletak di rak sepatu seperti semula kekhawatirannya pun segera lenyap. Dia begitu ingin  segera mendengar  dari mulut Ratri  sendiri apa yang telah terjadi semalam tetapi hingga tiba waktu dia harus berangkat kerja Ratri masih belum juga bangun.

       Hanya lewat SMS Ratri menceritakan kenapa dia pulang hingga  menjelang pagi. Sebelum  meninggalkan  Dan's Shell dia  bertemu teman lamanya semasa SMP sedang mengisi bensin.  Temannya itu menikah dengan  laki-laki Belanda tetapi tinggal di Hartford sejak tiga tahun yang lalu. Maya, temannya itu, mengajaknya makan siang lalu memintanya ikut ke rumahnya. Sebetulnya Maya lebih suka kalau Ratri menginap tetapi Ratri tidak merasa nyaman dengan lima anjing di rumah itu. Dua ekor schipperke atau yang dijuluki  little black devil adalah anjing  Belgia yang sangat agresif..  Dua ekor lagi adalah Tibetan Mastiff yang sangat protektif dan tidak  suka ada tamu di kediamannya. Selalu menggonggong kepada orang asing yang belum dikenalnya. Hanya seekor anjing yang nampak manis. Anjing Viking atau menurut Maya masuk dalam jenis Swedish Vallhund karena berasal dari Swedia . Maya  kelihatannya sangat terhibur dengan lima ekor anjing yang tinggal bersamanya.  Salah satu  cara untuk  bisa tetap  merasa bahagia tanpa anak  adalah memiliki binatang peliharan. Meskipun demikian kehadiran seorang anak masih tetap menjadi harapannya hingga kini.

              Setelah bekerja di restoran Cina, Ratri  menjadi lebih sering pulang terlambat. Di akhir pekan., dia kerap diminta  bekerja lembur karena  banyak pengunjung yang datang ke restoran. Sinta menjadi sering sendirian di apartemen kalau sedang tidak bekerja. Biasanya dia akan chatting dengan Dina atau Eko menggunakan webcam dan speaker. Kadang  saudara-saudaranya yang lain jika kebetulan ke rumahnya akan ikut ngobrol juga bersama mereka.  Kegiatan saling berbagi cerita di antara mereka menjadi lebih leluasa tanpa harus Sinta merasa sungkan pada Ratri.

             Sesudah sekitar sebulan bekerja di restoran Cina , pada suatu malam Ratri datang bersama seorang bule laki-laki.  Sinta sedang menonton TV ketika keduanya masuk. Sejenak dia mengalihkan perhatian kepada lelaki yang bersama Ratri.  Sekejap kemudian Sinta tak percaya pada penglihatannya sendiri. Mata biru dirty blonde dengan tubuh tinggi besar. Sinta teringat pada lelaki yang duduk gelisah sambil mencuri-curi pandang ke arahnya di dalam bis yang membawanya ke rumah Bu Nancy.  Benar. Dia adalah lelaki itu.

            "Dennis," dia menyebutkan namanya ketika bersalaman dengan Sinta. Tersenyum lebar berusaha untuk ramah kepadanya. Entah kenapa Sinta pun membalas senyum itu dengan keramahan khas Indonesia.

            Dennis  masih kuliah sehingga hanya bisa bekerja part time di restoran Cina tempat Ratri bekerja. Di sanalah keduanya bertemu dan berkenalan. Kalau sekarang Dennis ikut Ratri sampai ke apartemen  pasti ada sesuatu yang istimewa di antara mereka. Ratri tidak akan sembarangan mengajak teman lelaki ke apartemen.  

           "Kamu pacaran dengan Dennis ?" selidik Sinta keesokan harinya.

          "Nggak, Mbak," elaknya  walau tak berhasil membuat Sinta percaya. .

          "Ah, jangan bohong. Kalau kamu suka akui saja biar nggak diambil orang lain atau ngilang kayak temannya Mark . Nyesel lho nanti," Sinta

memperingatkan dengan nada bercanda.

          "Memangnya Mbak mau sama dia?" goda Ratri membalasnya.

          "Apa pantas aku pacaran dengan berondong?" sergahnya.

          "Iya, siapa tahu butuh selingan dari pada kesepian jauh dari Suami," Ratri semakin berani menggodanya.

          Sebaris kalimat itu ternyata meresahkan hatinya sepanjang sisa hari itu. Sudah setahun lebih dia hidup berjauhan dengan  Suaminya.  Jarak ribuan kilo meter  antara Indonesia dan Amerika memisahkan mereka. Bisa mendengar suaranya bahkan juga melihatnya ketika chatting menggunakan YM tetapi tak bisa menyentuh apalagi menciumnya. Tubuh mas Eko yang menebarkan  keharuman cendana hanya tinggal dalam angan-angannya.

           Sinta bimbang antara memilih setia atau mencari selingan di sini.  Beberapa kenalan sesama perempuan Indonesia yang tinggal di negara  ini  terjebak dalam hubungan instan dengan lelaki lain padahal mereka punya Suami. Hidup terpisah bagi  Suami Istri merupakan siksaan  sehingga  sangat rentan  terhadap godaan untuk mencari selingan. Kesetiaan sungguh sulit dipertahankan dalam keadaan seperti itu. Masalahnya adalah Sinta hanya mengenal sedikit lelaki di sini. Mereka adalah orang-orang yang ditemuinya di tempat kerja. Interaksinya terbatas selama jam kerja saja.

           Sinta digoda oleh keinginan aneh yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Ingin dipeluk dan didekap kehangatan tubuh lelaki. Tidak begitu saja bisa diabaikan atau dienyahkan. Semakin ingin menghindari semakin  sakit dia menjaga  kesetiaan.  Dari hari ke hari  dia pun melihat  Ratri  tidak seperti biasanya. Menjadi pendiam dan cepat tidur begitu pulang dari restoran. Berulangkali Sinta menahan diri untuk tidak menanyakan penyebabnya sampai suatu malam dia mendengar isak tangis dari kamar  Ratri .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun